Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari)
Kata fitrah sebenarnya ada beberapa pengertian, tidak selamanya diartikan seperti kertas putih yang tidak ada noda. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Hasan Langgulung (Allahyarham), bahwa Allah menyertakan kepada anak yang baru lahir itu “fithrah“, yang diartikannya sebagai potensi. Jadi menurutnya, bahwa anak manusia tidak lahir dalam keadaan kosong, melainkan membawa potensi-potensi. Potensi-potensi tersebut adalah 99% kemungkinan Asmaul Husna. Misalnya, Ar-Rahman (Maha Pengasih). Kalau yang dikembangkan bersama-sama dengan keluarga dan masyarakatnya adalah Ar-Rahman, maka Ar-Rahman itulah yang kemudian tampil dalam kehidupannya. Tetapi jika yang dikembangkan adalah Al-Qahhar (Maha Perkasa), maka kemungkinan anak tersebut akan menjadi orang yang keras.
Sejak kita berada di dalam rahim, Allah telah menanamkan ketauhidan kepada kita. Allah juga merekam semua apa yang kita kerjakan di dalam hidup ini. Suatu saat nanti, semua yang telah kita lakukan itu akan diperlihatkan kepada kita.
Di dalam Surah Al-Israa disebutkan:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan),” (Q.S. Al-A’raaf: 172)
Ketika berada di dalam rahim itu 120 hari, maka ditiupkan ruh. Terjadi konsepsi kehidupan manusia. Pada saat itu ruh itu ditanya: Bukankah Aku ini Tuhanmu?
Kita memang tidak sadar ketika itu, dan memang dibuat kita tidak merasa, karena kalau kita sadar, maka yang kasihan adalah si ibu. Allah menjadikan kita tidak sadar di dalam rahim agar tidak menyengsarakan si ibu. Tetapi terjadi dialog itu.
Kemudian kita dibekali berbagai potensi. Ketika kita lahir, yang pertama diberikan oleh Allah adalah “al-gharizah” (insting). Insting tersebut yaitu berupa tangisan. Tangisan merupakan hidayah Allah yang pertama kali diberikan kepada kita. Ketika ada seorang anak manusia yang terlahir tidak ada suaranya, maka itu merupakan tidak adanya tanda-tanda kehidupan. Tangisan pada bayi menunjukkan adanya kehidupan.
Tetapi, insting ini sangat terbatas. Insting adalah sesuatu yang bisa dikerjakan tanpa dipelajari.
Dalam tafsirnya, Prof. Dr. Ahmad Mustafa Al-Maraghi menyatakan, bahwa Allah memberikan kepada manusia lima hidayah sebagai modal hidup, yaitu:
Pertama, gharizah (insting).
Dibandingkan dengan manusia, ternyata ada hewan yang instingnya lebih hebat daripada manusia. Misalkan, bebek ketika lahir langsung bisa berenang. Jadi, kalau kita mengandalkan insting, maka kita kalah dengan hewan. Jadi, kita tidak bisa hanya mengandalkan insting.
Kedua, indera.
Di dalam psikologi, ternyata indera itu tidak hanya sebanyak lima, melainkan banyak. Antara lain ada indera keseimbangan yang berada di lorong telinga, dan juga indera kinestetik yang berada di persendian. Karena itulah, kita bisa duduk dan bisa berdiri karena indera kinestetik kita bekerja. Kalau indera kinestetik ini tidak bekerja, maka kita tidak bisa berdiri, tidak bisa berjalan, dan sebagainya. Karena itulah, orang yang sedang pingsan, maka ia akan terjatuh, karena indera kinestetisnya tidak bekerja. Dan masih banyak lagi.
Indera diperlukan. Tapi kalau hanya indera saja yang diandalkan, maka kita kalah dengan binatang. Indera penglihatan tikus dan elang lebih hebat dari kita. Indera penciuman anjing juga lebih hebat dari manusia. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan indera saja.
Ketiga, akal.
Akalpun ternyata tidak bisa diandalkan. Manusia diberikan akal oleh Allah, dan dikatakan juga bahwa hewan tidak diberikan akal oleh Allah. Tetapi di dalam ilmu psikologi disebutkan, bahwa inteligensi hewan itu ada, namun sangat kecil dan sangat rendah dibandingkan dengan manusia. Yang paling tinggi dan mendekati manusia tingkat inteligensinya adalah simpanse. Di Ragunan, satu-satunya hewan yang mempunyai meja makan, ada piringnya, dan juga ada kursinya adalah simpanse. Di Jerman ada seorang dokter yang mempekerjakan simpanse untuk memberi kartu kepada pasien-pasiennya yang datang. Di Perancis ada simpanse yang dipekerjakan untuk memunguti telur-telur ayam pada suatu peternakan. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh simpanse itu tidaklah seperti apa yang bisa dilakukan oleh manusia. Tapi dalam hal ini, simpanse lebih tinggi inteligensinya dibandingkan dengan hewan yang lain.
Kalau kita mengandalkan akal pikiran, ternyata tidak semuanya bisa dijawab. Misalkan ditanyakan, angka berapa yang paling kecil? Ada yang mengatakan 1, ada juga yang mengatakan bahwa 0 lebih kecil dari 1. Kalau ditanyakan, lebih kecil mana dibandingkan dengan -1, maka akan ada yang mengatakan bahwa -1 lebih kecil dari 0. Jadi, minus berapakah yang paling kecil? Tenyata tidak terbatas. Akal kita tidak mampu menjawab ini. Artinya, bahwa tidak segala-galanya akal manusia itu mampu menyelesaikan masalah. Karena itulah, Allah memberikan kita hidayah yang keempat, yaitu hati (qalb).
Keempat, hati (qalb).
Hati (qalb) yaitu sebuah institusi yang ada dalam diri manusia, namun kita tidak tahu tempatnya di mana. Qalb inilah yang tak pernah membohongi manusia. Karena itulah, orang beriman harus dengan hati, karena indera sering membohongi manusia.
Kalau seseorang melakukan suatu keburukan ataupun kejahatan, mungkin bisa disembunyikan dengan tingkah laku, tapi hati tak bisa dibohongi. Hati kita pasti berkata, “Aku berbohong.” Hanya qalb yang merupakan institusi yang tak pernah membohongi manusia. Di dalam hadis Rasulullah dikatakan:
Indikator suatu dosa itu dapat dilihat dari dua faktor: pertama, membuat suatu rasa yang lain di dalam hati. Setelah melakukan suatu dosa, kita pasti ada rasa yang lain, yaitu rasa bersalah di hati, karena hati tak pernah membohongi manusia. Karena itulah, Allah senantiasa melihat qalb manusia, bukanlah pada penampilannya. Rasulullah menyatakan:
Allah tidak melihat mukamu, bukan melihat bentuk tubuhmu, tetapi yang dilihat adalah hatimu.
Tidak ada yang tahu hati kita, meskipun sebenarnya pada kehidupan kita biasanya kalau ada pohon yang rindang, maka akarnya itu kuat. Kalau ada orang yang amal ibadahnya bagus, istiqamah, konsisten, maka pasti di dalamnya juga bagus. Kalau kita konsisten melakukan amal ibadah, insya Allah iman yang bersemi di dalam hati kita ini memang kuat. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa qalb itu adalah sesuatu yang bergerak. Disebut qalb yang itu adalah sesuatu yang bergerak, karena qalb itu biasanya bolak-balik. Tetapi bagaimana caranya agar qalb itu tidak bolak balik? Bagaimanakah caranya agar seperti kompas, di mana saja selalu menunjuk ke utara? Bagaimanakah caranya agar hati itu terus mu-allafun bil masajid? Bagaimanakah caranya agar hati itu selalu menghadap ke kiblat? Bagaimanakah caranya agar hati itu selalu terpaut (terikat) dengan masjid?
Qalb hanya dimiliki oleh manusia. Di dalam ilmu psikologi, perbedaan antara manusia dengan hewan itu bukan hanya pada akalnya, tetapi juga pada beberapa hal. Pertama, bahwa manusia mempunyai kepekaan sosial, sedangkan hewan tidak mempunyai kepekaan sosial. Munculnya kepekaan sosial itu karena ada hati (perasaan) kita. Kalau ada orang yang tidak mempunyai kepekaan sosial terhadap sesama manusia, berarti orang tersebut tidak mempunyai hati.
Kedua, manusia mempunyai usaha dan perjuangan, yang ini juga merupakan hal yang membdakan manusia dengan hewan. Dari dulu, sarang yang dibuat oleh hewan itu selalu sama seperti itu saja bentuknya. Sedangkan manusia selalu terjadi perkembangan. Dahulunya manusia mungkin bertempat tinggal di gua, kemudian berkembang dengan membuat rumah di pohon, kemudian berkembang lagi dengan membuat rumah ataupun tempat tinggal yang nyaman lagi hingga seperti sekarang. Bahkan suatu saat nanti mungkin saja manusia akan tinggal di bulan ataupun ruang angkasa.
Kelima, agama (ad-din).
Kalau hanya hati saja, maka keatika dia merasa kasihan terhadap orang lain, bisa jadi semua hartanya diberikan kepada orang tersebut. Tetapi agama mengatakan, bahwa memberi sumbangan itu ada batas-batasnya, tidak boleh terlalu boros, juga tidak boleh terlalu kikir, melainkan berada di tengah-tengahnya. Agama lah yang mengatur demikian. Maka manusia diberi hidayah yang ke lima, yaitu hidayatul adyan (hidayah agama). Agama lah yang menjadi wasit (hakim).
Dalam hal ini, Alquran merupakan pedoman bagi umat manusia. Kalau Alquran tidak difungsikan, maka dia tidak berbicara dan tidak bermakna apa-apa.
Sama halnya dengan alat-alat elektronik yang terdapat buku panduan (manual) nya, yang jika kita mengikuti aturan di dalam buku panduannya, maka insya Allah barang-barang elektronik kita akan awet. Yang paling tahu mengenai alat-alat elektronik tersebut adalah pabriknya. Begitu juga dengan manusia, lahir mengarungi kehidupan di dunia ini menjaid khalifah disertakan dengan manual (buku petunjuk). Buku petunjuknya adalah Alquran. Sepanjang kita mengikuti aturan-aturan di dalamnya, maka kehidupan kita takkan tersesat. Yang paling mengetahui bahwa kehidupan manusia takkan tersesat adalah penciptanya, yaitu Allah.
Persoalannya, kita tidak mungkin memahami semua makna Alquran. Karena itulah, ada usaha yang bisa kita lakukan seperti dengan mengikuti pengajian. Kalau kita mau belajar sendiri, kadang-kadang kita tidak bisa sepenuhnya untuk memahami isi Alquran.
Alquran menjadi wasit (hakim), pedoman hidup, sehingga bisa membahagiakan kehidupan dunia dan akhirat.
Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari)
Setelah Allah memberikan modal bagi manusia, maka selanjutnya adalah peranan orang tua dan lingkungan membentuk manusia tersebut. Karena kehidupan kita bukan hanya potensi yang dibawa ketika lahir, melainkan persentuhan antara lingkungan juga akan mewarnai dalam kehidupan. Allah tidak memberikan kepada kita ketika lahir langsung diwajibkan salat. Diberikan waktu untuk belajar, yaitu sampai masa baligh.
Oleh karena itu, mulai saat lahir (bahkan sebelumnya), kita sudah harus memberikan rangsangan-rangsangan keagamaan kepada anak kita. Allah sudah menyediakan potensi-potensi, maka fungsi selanjutnya adalah tugas kita membentuk potensi-potensi tersebut.
Kini ada ilmu yang dinamakan Ilmu Haptonomi (sedang dikembangkan di Eropa). Menurut ilmu ini, bahwa anak yang masih berada di dalam kandungan mesti sudah diberikan rangsangan-rangsangan pendidikan (termasuk juga rangsangan keagamaan).
Seorang ahli Haptonomi mengatakan, bahwa ketika janin sudah berusia 7 bulan, maka sudah boleh diajak main “petak-umpet”. Maksudnya yaitu dengan memberikan rangsangan-rangsangan kasih sayang, juga berbicara dengan si janin yang masih berada di kandungan itu.
Menurut para ahli psikologi, meskipun janin tersebut belum bisa berkomunikasi, belum ada reaksi, tetapi sebetulnya hal yang dilakukan itu bisa berpengaruh terhadap anak tersebut. Sama halnya ketika memandikan bayi, maka bayi tersebut tak ada salahnya untuk diajak berbicara (berkomunikasi). Jadi salah kalau ada yang mengatakan, bahwa bayi baru boleh diberikan rangsangan ketika sudah bisa berbicara, karena hal tersebut sudah terlambat sekali.
Ada buku yang ditulis oleh seorang pakar di Jepang menyatakan, bahwa memberikan pendidikan pada anak pada usia TK sudah sangat terlambat.
Islam dalam hal ini menuntun kita, bahwa begitu lahir, maka diazankan di telinga kanannya, diiqamahkan di telinga kirinya. Ada ulama yang menyatakan bahwa hadis ini tidak begitu kuat. Tapi tak apa-apa. Hal ini sesuai dengan penelitian psikologi, bahwa memperdengarkan kepada anak sesuatu yang berharga, maka itu akan diserap, walaupun belum ada reaksi secara langsung yang kita lihat.
Diazankan dan diiqamahkan adalah kalimah tauhid yang pertama kali kita perdengarkan, dan itu bisa berpengaruh. Sampai-sampai orang-orang barat itu waktu masih di dalam rahim dianjurkan untuk memperdengarkan alunan musik klasik, katanya bisa mempengaruhi otak. Bagi orang Islam, mungkin yang lebih baik adalah lantunan ayat-ayat suci Alquran.
Kemudian anak tersebut diaqiqahkan. Ini sebenarnya hanya sunnah muakkad. Diaqiqahkan untuk menginformasikan, bahwa telah lahir seorang anggota masyarakat muslim yang baru.
Setelah itu, anak tersebut juga diajarkan Alquran, akhlak, dan juga berbagi dengan orang lain. Berbagi itu merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan. Karena itulah, seorang anak kecil sudah harus dibiasakan berbagi dengan orang lain.
Tidurnya dipisah dengan ayah dan ibunya setelah maksimum berumur 10 tahun. Kalau ajaran Islam menyatakan, maksimum usia anak 10 tahun.
Banyak sekali yang terjadi kini, namun jarang sekali terungkap, yaitu inses (hubungan seks sedarah). Ini mungkin karena tidak dibiasakan tidurnya dipisah dengan orang tuanya.
Di dalam Surah An-Nuur disebutkan, bahwa ada tiga aurat yang seorang anak tidak boleh masuk sembarangan ke dalam kamar orang tuanya: pertama, sesudah dzuhur (mungkin karena akan istirahat siang). Kedua, salat ashar. Ketiga, pada waktu subuh.
Hal ini bahkan bagi anak yang belum baligh, apalagi yang sudah baligh.
Dalam mempersiapkan masa aqil baligh, orang tua harus memberikan penjelasan-penjelasan tentang menjelang masa kedewasaan. Kalau anak laki-laki, maka ayahnya yang memberikan penjelasan. Kalau akan perempuan, ibunya yang menjelaskan. Dan yang paling penting dicamkan ketika mereka sudah aqil baligh itu, bahwa pada masa itu mereka sudah harus bertanggung jawab secara individual kepada Allah.
Mungkin pada masa kita dahulu orang tua kita tidak menjelaskan hal-hal seperti ini. Maka sekarang kalau kita mempunyai anak, maka kita harus menjelaskan kepada anak kita, baik itu cara pencegahannya, cara mandi besarnya, harus membatasi penglihatannya dengan lawan jenis, dan sebagainya.
Inilah yang terpenting dalam kehidupan masa remaja anak-anak kita. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab akan hal ini. Orang tua lah yang membentuk anak itu menjadi hitam atau putih.
Di dalam Alquran ada pengecualian untuk ini, yaitu ada dua contoh yang disebutkan oleh Allah. Dua contoh tersebut adalah dua anak manusia yang hidup di alam yang berbeda, tetapi hasilnya juga berbeda. Ada Qanaan yang merupakan anaknya Nabi Nuh, yang satu lagi Ibrahim anaknya Azar. Qanaan, walaupun anak Nabi, tapi kemudian Qanaan menjadi kafir. Ibrahim, walaupun ia lahir di tengah-tengah penyembah berhala, ayahnya merupakan pembuat patung yang disembah-sembah oleh orang ketika itu, tetapi Ibrahim kemudian menjadi orang yang bertauhid.
Yang harus kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin. Ketika nanti ternyata hasilnya berbeda dengan yang kita usahakan, maka kita sudah bebas tanggung jawab. Tapi kalau kita tidak berusaha, kemudian hasilnya tidak baik, berarti usaha yang kita lakukan tidak maksimal, dan itulah yang dinilai oleh Allah.
Paman Rasululah (Abu Thalib) ketika akhir hayatnya tidak sempat mengucapkan dua kalimah syahadah. Ketika pamannya wafat, Rasulullah mendoakannya, yang kemudian turun ayat:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Q.S. Al-Qashash: 56)
Jadi, kita jangan gampang menghukumi orang. Ada orang yang bapaknya begitu alim dan baik, kemudian anaknya menjadi jahat. Kalau bapaknya sudah berusaha keras, ternyata anaknya masih juga menjauhi jalan yang benar, maka tinggal diserahkan kepada Allah. Kewajiban kita hanya berusaha menyampaikan dengan sejelas-jelasnya. []
Disarikan dari Pengajian Tasawwuf yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Darwis Hude, M.Si. pada tanggal 28 Januari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar