Tampilkan postingan dengan label tugas kuliah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tugas kuliah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 April 2013

UTS Metodologi Studi Islam

Di bawah ini adalah UTS Metode Studi Islam:
Dosen Dr. Saepul Bahri, MA pada Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta

Soal:
  1. Jelaskan secara singkat perbedaan yang mendasar antara metodologi studi keislaman dari perspektif Islamologi (Barat) dan perspektif internal umat Islam!
Dapat kita asumsikan sementara bahwa studi Islam di dunia Arab kaya dengan materi tetapi lemah di bidang metodologi. Sementara di sisi lain, studi Islam di Barat miskin materi tetapi kaya dalam metodologi. Benarkah Barat lebih baik dari segi metodologi? Kalau secara materi, itu sudah dapat diduga, di dunia Arab lebih baik ketimbang di Barat. Secara materi, Barat sampai saat ini tidak mampu mengeluarkan sarjana-sarjana yang menguasai bidang-bidang tertentu dari ilmu Islam, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli bahasa, ahli sejarah, dan sebagainya. Selain itu, karya ilmiah yang dihasilkan oleh orientalis dalam bidang keislaman belum terlihat berarti dibanding karya-karya yang ditinggalkan ulama. Yang dilakukan oleh Barat / kaum orientalis pada umumnya ialah mengumpulkan manuskrip, memberi komentar buku-buku klasik dan menerjemahkannya ke bahasa-bahasa Eropa. Yang agak bernilai dari karya mereka adalah ensiklopedi hadits (Al-Mu'tazilah'jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits) dan sejarah sastra Arab (Tarikh al-Adab al-'Arabi) karya Karl Brockelmann. Karya yang pertama memang bermanfaat bagi orang-orang yang baru mengenal hadits. Tetapi, dia bukanlah segala-galanya dalam dunia hadits. Kitab-kitab ensiklopedi hadits yang lebih lengkap telah lebih dahulu diwariskan oleh ulama-ulama hadits. Hanya saja metodenya berbeda. Bahkan, kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karya orientalis itu cukup banyak dan dihimpun dalam buku Adhwa 'ala Akhtha' al-Mustasyriqin oleh Dr. Sa'ad al-Murshafi. Sebagian besar karya-karya orientalis diwarnai oleh sikap-sikap seperti memutarbalikkan fakta, memalsukan sejarah, menyalahpahami teks, serta menyusupkan kebohongan dan fitnah. Tetapi, secara umum karya-karya sebagian orientalis yang jujur itu kita hargai dan bermanfaat bagi sebagian peneliti, khususnya pemula. Tetapi, porsinya harus dilihat secara objektif, tanpa dilebih-lebihkan. Sebab, Semua itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan karya ulama-ulama kita yang klasik ataupun yang modern, yang tidak tertampung oleh perpustakaan mana pun di dunia ini, karena banyaknya. Berbicara tentang sikap "objektif" dan "bebas" (tidak memihak) yang merupakan karakteristik ilmiah, maka para peneliti Barat dalam tulisan dan kajian mereka tentang Islam sulit sekali ditemukan sikap netral dan objektif ini. Mereka hanya mau bebas (dalam artian tidak memihak) ketika berhadapan dengan materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian keislaman. Adapun terhadap kajian-kajian Islam, mereka tidak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai nonmuslim. Barat hingga saat ini masih menyimpan gambaran suram dan jelek tentang Islam dan umatnya. Sebuah warisan "hitam" yang meracuni pemikiran mereka, yang mereka warisi sejak "Perang Salib" dan belum membuangnya hingga saat ini. Ini diakui sendiri oleh pemikir mereka, seperti Gustav Lobon, filsuf Perancis dan "moyangnya" kaum sosiolog dan sejarawan Barat di abad kesembilan belas. Ia menerangkan dalam bukunya, Peradaban Islam, bahwa peneliti-peneliti Barat dalam menerangkan masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam akan menanggalkan sikap netral dan objektif . Peneliti Barat, tanpa disadarinya, pasti akan memihak dan intoleran. Buku inilah, kalau boleh dibilang "moderat", yang paling moderat yang ditulis oleh ilmuwan Barat tentang Islam dan peradabannya. Oleh karena itu pula, Gustav Lobon tidak dihargai, bahkan dibenci oleh orientalis Barat. Sikap penulis Barat yang tidak jujur pernah juga dibeberkan belakangan oleh Motegomery Watt, orientalis Inggris, dalam buku Apakah Islam?
  1. Apakah Kendala dan masalah utama yang dihadapi dalam kajian / studi Islam secara umum? Apakah yang mungkin bisa dilakukan sebagai solusi terhadap masalah tersebut?
Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainya yang kehadiranya sama-sama penting. Apabila islam hanya dilihat dari satu sisi saja,maka akibat yang ditimbulkanya pun mudah ditebak, yaitu reduksi dan distorsi makna. Sebagai akibatnya gambaran islam yang utuh-tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim sepihak rasanya akan sulit dicapai. 
Perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia,menjadi sebuah tuntutan untuk memahami agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan tologis-normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara oprasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Sebaiknya umat islam tidak hanya memahami islam melalui pendekatan teologis saja,agar pemahaman tentang islam menjadi integral,universal,dan komprehensif. 
  1. Pendekatan sosiologis merupakan salah satu dari beberapa pendekatan dalam kajian studi Islam. Jelaskan lebih lanjut hal tersebut!
Sosiologi merupakan ilmu yang tergolong masih muda walaupun telah mengalami perkembangan cukup lama, yaitu sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban.Dalam kehidupannya, manusia telah banyak menaruh perhatian dan minat terhadap sosiologi. Suatu keadaan yang terjadi dalam masyarakat seperti, kejahatan perang, penguasaan golongan yang satu terhadap golongan lainnya, kepercayaan dan sebagainya. Melalui perhatian tersebut lalu muncul teori-teori yang berkenaan dengan kemasyarakatan yang kemudian teori-teori tersebut digunakan utuk mengkaji agama.
Beberapa objek pendekatan sosiologi yang digunakan oleh para sosiolog ternyata menghasilkan cara unntuk memahami agama dengan mudah. Selain itu memang menurut beberapa sosiolog dan ahli metodelogi studi-studi ke-Islaman bahwa agama Islam itu sendiri sangat mementingkan peranan aspek sosial dalam kehidupan beragama.
Pendekatan sosiologis dalam kajian-kajian aspek agama Islam sebenarnya bukanlah sebuah tradisi yang benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan ini telah lama digunakan dalam tradisi intelektual Islam, seperti penelitian para periwayat hadist yang dilakukan oleh imam-imam Hadist, akan tetapi Ibn Khaldunlah yang kemudian memakai pendekatan ini dengan metode yang lebih sistematis.
Pendekatan Sosiologi mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup studi Islam. Dengan begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi intelektual Islam tentu saja akan sangat besar.

By: Asep Iwan 

UAS : Metode Studi Islam

Di bawah ini adalah UAS Metode Studi Islam:
Dosen Dr. Saepul Bahri, MA pada Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta
Soal:
  1. Jelaskan titik tekan kajian studi Islam dengan pendekatan Islamologi serta karakteristik dasar kajian tersebut!
Metodologi Ulumul Tafsir Tafsir adalah sebuah ilmu yang berperan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an kepada manusia, agar dapat lebih dipahami. Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Penelitian Tafsir
Pada saat Al-Qur’an diturunkan lima belas abad yang lalu, Nabi Muhammad SAW yang berfungsi sebagai pemberi penjelasan telah menjelaskan arti dan kandungan al-Qur’an kepada para sahabtnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya . Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Setelah Nabi wafat tidak ada lagi tempat bertanya langsung bagi para sahabat, sehingga mereka melakukan ijtihad. Pada mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas, namun dengan berkembangbangnya masyarakat, maka semakin berkembang pula porsi peranan akal atau ijtihad  dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an , sehingga bermuncullah kitab-kitab tafsir  yang beraneka ragam coraknya.
Macam-Macam Metode Penafsiran
1. Metode Tahlily
Metode tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari segi seluruh aspek. Kelebihan metode ini menurut Taufik Adnan Amal, antara lain adalah potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadao kosa kata ayat, syair-syair kuno, dan kaidah-kaodah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek dan analisis ayat dilakukan secara mendalam sesuai dengan keahlian mufassir.
2. Metode Ijmaly
Metode ijmali atau juga disebut juga dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menunjukkan kandungan makna pada suatu ayat secara global.
3. Metode Muqarin
Yang dimaksud metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang ditulis oleh sejumlah penafsir. Dalam hal ini, seorang penafsir menghimpun sejumlah ayat al-Quran, lalu ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka.
4. Metode Mawadhu’i
Metode mawadhu’i adalah cara menafsirkan al Quran dengan menghimpun ayat-ayatnya  yang mempunyai maksud yang sama atau ayat-ayat yang membicarakan tentang topik yang sama dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab-sebab turunnya tersebut.

b. Metodologi Ulumul Hadist
Menurut bahasa hadist berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata hadatsa, hadtsan. Haditsan  dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut misalnya, dapatv  berarti jadiid atau sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al Qadim yang berarti sesuatu yang sudah kuno atau klasik.Secara terminologi  hadist adalah perkatan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhamad yang disandarkan pada para sahabat atau tabi’in.
{   Model Penelitian Hadist
Menurut Abuddi Nata terdapat beberapa model penelitian hadist pada periode belakangan ini, antara lain:
1. Model Penelitian Quraish Shihab
2. Model Penelitian Musthafa al-Siba’iy
3. Model penelitian Muhammad al Ghazali

c) Metodologi  Filsafat
Menurut Harun Natution yang dikutip Zuhairini, dkk,. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata “ philein” dalam arti cinta dan “sophos” dalam arti hikmat ( wisdom). Selanjutnya beliau menjelaskan filsafat sebagai berikut:
  • Pengetahuan tentang hikamt
  • Pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar
  •  Mencari kebenaran
  • Membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas.
Selain itu filsafat juda bisa diartikan mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman pengalaman manusia
Secara umum filsafat islam bisa diartikan sebagai filsafat yang berdasarkan dan bersumberkan dari ajaran agama Islam ( al-Quran dan Hadits)
{  Model Penelitian Filsafat
1.  Model M. Amin abdullah
2.  Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry dan harun Nasution



  1. Tulis dengan singkat tentang pendekatan Sejarah dalam kajian studi Islam!
Sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat meyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga. Pendekatan sejarah bertujuan untuk menentukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain. Dalam menggunakan data historis maka akan dapat menyajikan secara detail dari situasi sejarah tentang sebab akibat dari suatu persoalan agama.
Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Disini seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konsep historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Misalnya seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an secara benar maka ia harus mempelajari sejarah turunnya Al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-Qur’an.
Dengan pendekatan historis ini masyarakat diharapkan mampu memahami nilai sejarah adanya agama Islam. Sehingga terbentuk manusia yang sadar akan historisitas keberadaan islam dan mampu memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
  1. Apa saja metode yang dipakai dalam pendekatan antopologi pada kajian studi Islam? Apa kelebihan dan kekurangan pendekatan ini?
Metode yang dipakai dalam pendekatan antropologi lebih bersifat pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif. Metode penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat messianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang yang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
 
  1. Ada berapa dampak yang mungkin bisa ditimbulkan dari pendekatan psikologis dalam kajian studi Islam. Bagaimana solusi masalah tersebut?

  1. Apa yang anda tahu tentang hermeneutika sebagai tawaran metode baru dalam kajian studi Islam? Bagaimana menurut Anda?

UTS dan UAS Sejarah Pemikiran Islam

Ini merupakan tugas UTS dan UAS Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam 
Dosen Dr. Saepul Bahri, MA

Tugas:
Buatlah makalah dari topik berikut ini:
  1. Munculnya firqah-firqah dalam Islam dan cara menyikapinya
  2. Antara Kemahakuasaan dan Keadilan Tuhan
  3. Antara Wahyu dan Akal Manusia
  4. Menyikapi anthropormorfisme (Musyabihah)
  5. Eskatologis dalam Pandangan Islam
  6. Relevansi Tasawuf pada Masa Kini
  7. Antara Maqamat dan Ahwal
Jawaban:
Di bawah ini link inblog yang mengarah ke sana: 
Tinggal klik saja judul di bawah ini, maka anda akan diarahkan ke link makalahnya

Antara Firqoh dan Ormas | Aliran Pemikiran dalam Islam

Postingan kali ini merupakan salah satu tugas kuliah penulis untuk mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam di Institut PTIQ Jakarta, dengan judul :

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Orang-orang Yahudi terpecah kedalam 71 atau 72 golongan, demikian juga orang-orang Nasrani, dan umatku akan terbagi kedalam 73 golongan.” (HR. Sunan Abu Daud)

“Umatku akan menyerupai Bani Israil selangkah demi selangkah. Bahkan jika seseorang dari mereka menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, seseorang dari umatku juga akan mengikutinya. Kaum Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan. Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka, hanya satu yang masuk surga.” (HR Imam Tirmizi).

Dari sini dapat kita lihat betapa benarnya Islam, agama yang dibawa oleh Raulullah. Subhanallah, Nabi kita telah mengetahui jika kelak akan muncul berbagai aliran atau golongan umat islam.

Lalu siapakah satu golongan yang masuk surga tersebut?? Rasullullah bersabda: “Kami (para shahabat) bertanya, “Yang mana yang selamat ?” Rasulullah Saw menjawab, “ Yang mengikutiku dan para shahabatku.” (HR Imam Tirmizi)

Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, ”Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk Syurga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya para Sahabat: “Siapakah (yang tidak masuk Neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah.”

Sejarah munculnya aliran-aliran dalam Islam

Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.

Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.

Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.

Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.

Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.

Awal Munculnya perselisihan dipengaruhi oleh Politik
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.

Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.

Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi–di masa pemerintahan Khalifah Usman–yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.

Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.

Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.

”Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,” kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara.

Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi.

Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.

Penjelasan singkat aliran-aliran teologi Islam

Pada pembahasan ini akan kami sampaikan beberapa contoh aliran teologi islam diantaranya yaitu:
1. Aliran Syi’ah
Aliran yang mendukung Ali dan keturunannya
2. Aliran Khawarij
Aliran yang keluar dan memisahkan diri dari barisan Ali. Mereka telah memandang Ali telah melakukan kesalahan besar. Mereka juga telah mengkafirkan Ali karena melakukan dosa besar sehingga Ali termasuk keluar dari Islam dan wajib di bunuh.
3. Aliran Murjiah
Aliran yang berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah Allah mengampuni atau menghukumnya.
4. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini tidak menerima kedua pendapat diatas (b dan c). bagi mereka orang yang berdosa bukan kafir juga bukan mukmin tetapi ditengah-tengah antara keduanya (almanzilah bainal manzilatain). Aliran ini merupakan aliran terbesar dan tertua. Dan juga ikut memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Ajaran – ajaran pokok aliran ini yaitu; Ke – Esa – an, Keadilan, Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat, dan yang terakhir yaitu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran.
5. Aliran Jabariyah
Kaum ini berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Jadi segala yang dilakukan oleh manusia adalah kehendak tuhan atau sudan menjadi qada dan qadar tuhan secara penuh
6. Aliran Qadariah
Kaum ini sebalkiknya dengan kaum jabariyah, yaitu manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Jadi segala sesuatu yang dilakukan manusia memang atas kehendak dan kekuatan dari menusia tersebut.
7. Ahli sunnah dan jama`ah
Golongan ini timbul atas reaksi paham-paham golongan sebelumnya seperti Mu`tazilah dan qadariyah dan yang lainnya. Golongan ini, salah satunya menjunjung tinggi qaidah attasamukh (toleran) yaitu tidak seperti mu`tazilah yang begitu keras dalam menyiarkan agama. Ahl Sunnah dan Jamaah tidak menjunjung tinggi-tinggi kekuatan manusia dan juga tidak meyerahkan kekuatan sepenuhnya kepada Tuhan.

Ormas itu Bukan Firqoh
Pengertian Ormas
Organisasi massa atau disingkat ormas adalah suatu istilah yang digunakan di Indonesia untuk bentukorganisasi berbasis massa yang tidak bertujuan politis. Bentuk organisasi ini digunakan sebagai lawan dari istilah partai politik. Ormas dapat dibentuk berdasarkan beberapa kesamaan atau tujuan, misalnya:agama, pendidikan, sosial.

Pasca reformasi tampak muncul banyak organiasi kemasyarakatan, “bak jamur dimusim hujan”, dalam hal ini penulis mengkaian dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar 1945 amandemen keempat. Pasal mengenai Hak Asasi Manusia menjiwai ketetapan-ketepan Pasal 28 C tentang hak memajukan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28 E (2) tentang kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan bersikap seusai hati nurani, (2) hak berserikat, berkumpul dan berpendapat. Pasal 28 F tentang hak berkomunikasi untuk mengembangkan pribadi & lingkungan. Sebelum UUD ’45 diamandemen bolak-balik, kita telah memiliki aturan tentang organisasi yang didirikan masyarakat atau yang dewasa ini dikenal dengan NGO (Non Goverment Organization), yaitu Undang-undang R.I Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Mari kita menelaah lebih dalam organisasi kemasyarakat dengan dasar Undang-undang R.I Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Definisi organisasi kemasyarakatan ditetapkan dalam Pasal 1:
Yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Asas Ormas ditetapkan kembali dalam Pasal 2:
Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara).

Didalam penjelasan Undang-undang ini menetapkan bahwa penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Organisasi Kemasyarakatan tidaklah berarti Pancasila akan menggantikan agama, dan agama tidak mungkin di-Pancasilakan; antara keduanya tidak ada pertentangan nilai

Tujuan Ormas sesuai kekhususannya diatur dalam Pasal 3:
Kekhususan Ormas seperti yang ada saat ini, missal dalam bidang lingkungan hidup (Walhi, Kalhi, dll), hukum (Bina Kesadaran Hukum Indonesia, Rifka Annisa, LBH Apik), Agama (FPUB, Institut Dialog Antar Iman Di Indonesia), Budaya, Kesehatan, dll.

Dijelaskan bahwa Organisasi Kemasyarakatan dapat mempunyai satu atau lebih dari satu sifat kekhususan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, yaitu kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Salah satu fungsi berdasar Pasal 5 d:
Sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.

Harus memiliki AD/ART sesuai Pasal 7.

2. Jenis aliran/ormas Islam di Indonesia menrut MUI
Aliran sesat seperti Ahmadiyah dll
Aliran tidak sesat seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, NU dll

3. Faktor munculnya perbedaan ormas

Kebolehan berikhtilaf dikalangan masyarakat muslim dibolehkan dalam agama, bahkan dikatakan bahwa ikhtilaf itu juga rahmat. Sebuah hadis menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad akan terpecanh menjadi 73 golongan. Dalam kenyataan masyarakat Indonesia sekarang, ikhtilaf itu nampaknya tidak membawa rahmat tetapi justru menjadi factor pengganggu ketentraman kehidupan beragama umat.

Secara garis besar ikhtilaf yang kita lihat dalam sejarah ada tiga macam, yaitu: ikhtilaf dalam soal-soal fikih dan furuiyah, ikhtilaf dalam soal kalam, dan ikhtilaf dalam sosal ijtihad politik. Ikhtilaf dalam soal-soal furuiyah telah terjadi sejak zaman Islam klasik hingga sekarang, bahkan telah melahirkan macam-macam mazhab dalam Islam. Pada zaman modern sekarang, ikhtilaf dalam bidang ini hampir tidak lagi membawa pertentangan atau perpecahan masyarakat, kecuali riak-riak kecil dan pada masa lalu. Kematangan ini terjadi karena meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Islam. Adapun ikhtilaf dalam bidang teologi ternyata telah mengakibatkan sejumlah kekerasan, seperti kasus khawarij dan mihnah pada zaman Islam klasik. Pada zaman modern, kekerasan sektarianisme ini juga masih terjadi di sejumlah Negara muslim. Sedangkan ikhtilaf dalam ijtihad politik, tentu lebih banyak lagi contohnya yang berujung kepada kekerasan, baik pada masa klasik maupun modern.

4. Ikhtilaf di Indonesia
Sesungguhnya di Indonesia ikhtilaf itu terjadi pada ketiga-tiga kategori tersebut di atas: ikhtilaf furuiyah, ikhtilaf teologi, dan ikhtilaf politik. Dalam ikhtilaf furuiyah, hampir tidak ada masalah lagi sekarang kecuali percikan di berbagai tempat. Ikhtilaf teologi, sesungguhnya sedang berkembang sekarang berhubung semakin berkembangnya faham Syiah di Indonesia, sementara 99% penduduk Indonesia penganut Islam Sunni dan sebagian terbesarnya penganut Syafiiyah. Kita juga pernah punya masalah dengan LDII, tetapi sekarang LDII telah bergabung dengan umat Islam mainstream dengan pernyataannya pada tahun 2007 sebagai hasil Munas/Kongresnya. Kita juga pernah mempunyai masalah akibat munculnya gerakan Ahmad Musadeq yang mengaku sebagai nabi, tetapi telah dapat diselesaikan dengan pembubaran gerakan sesat komunal itu. Sekarang mulai muncul pula masalah dengan kelompok-kelompok yang mengaku diri Salafi yang seringkali bersifat puritan dan cenderung memaksakan pendapatnya kepada pihak lain, meskipun problem ini boleh dikatakan tidak berarti. Tentu saja perpecahan teologis yang paling actual adalah masalah Ahmadiyah di Indonesia yang oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah diberikan fatwa sesat dan pengikutnya dihukumi murtad. Khusus tentang masalah Ahmadiyah ini akan kita uraikan lebih lanjut. Adapun ikhtilaf ijtihad politik, kekerasan yang ditimbulkan telah terbukti dengan gerakan Darul Islam Kartosuwiryo, gerakan NII, dan Bom Bali I dan II. Ada pula ikhtilaf ijtihad politik yang sejauh ini belum menimbulkan kekerasan yaitu pendapat yang mengatakan perlunya dibangun sistim khilafah di negeri ini, menggantikan sistim yang ada. Jika itu berarti harus menghapus NKRI maka pendapat ini akan dapat menimbulkan malapetaka politik yang besar, apalagi jika aliran ini bergerak bukan hanya pada tataran opini tetapi melakukan tindakan atau gerakan kekerasan misalnya

Selasa, 02 April 2013

Antara Maqamat dan Ahwal


Secara bahasa maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, dikalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-farg, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-farg,al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.

a. Al-Taubah
Al-Taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memehon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut yang disertai dengan amal kebaikan. Harun Nasution mengatakan taubat yang dimaksud sufi adalah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak membawa kepada dosa lagi. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
Didalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat. Diantaranya sebagai berikut :
وَ الَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ ) ال عمران : ١٣۵(
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (QS. Ali ‘Imran, 3:135).
وَتُوْبُوْا ِالَى اللهِ جَمِيْعًا اَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ) النور : ٣١(
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur, 24:31).

b. Al-Zuhud
Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution Zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup diakhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat al-Qur’an sebagai berikut:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌ وَاْلاَخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ التَّقَى وَلاَ تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً ) النساء : ۷(
Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun (QS. Al-Nisa’, 4:77).
وَماَ الْحَيَوةُ الدُّنْياَ اِلاَّ لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ اْلاَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ ( الانعام : ٣۲)
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-An’am, 6:32).
فَمَا مَتاَعُ الْحَيَوةِ الدُّنْياَ فِى اْلاَخِرَةِ اِلاَّ قَلِيْلٌ ) التوبة : ٣۸(
Padahal kenikmatan hidup didunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit. (QS. al-Taubah, 9:38).
            Sikap zuhud sebagaimana telah disebutkan diatas, menurut Harun Nasution, adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi. Sikap ini dalam sejarah pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Muawiyah misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk. Demikian pula dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin misalnya, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ibu kandungnya sendiri, Zubaidah, menyebelah kepihak Al-Ma’mun, ketika antara kedua saudara ini timbul pertikaian tentang siapa yang menjadi khalifah.
Berkenaan dengan keadaan demikian itu, maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kufahlah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golongan Mu’awiyah. Mereka itu seperti Sufyan al-Tsauri (w. 135 H), Abu Hasyim (w. 150 H), dan Jabir Ibn Hasyim (w. 190 H). Di Basrah muncul Hasan Basri (w. 110 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah. Di Persia timbullah Ibrahim Ibn Adham (w. 162 H) dan muridnya Syafiq al-Balkhi (w. 194 H), dan di Madinah muncul Ja’far al-Sadig (w. 148).[16]

c. Al-Wara’
Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) antara halal dan haram. Al-Muhasibi menolak segala makanan yang dalamnya terdapat syubhat. Tangan Bishr al-Hafi, tiap ada makanan yang dalamnya terdapat syubhat tak dapat diulurkannya untuk mengambil makanan itu.
Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi:
فَمَنِ التَّقَى مِنَ الشُّبْهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ مِنَ اْلحَرَامِ )رواه البخارى(
Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram. (HR. Bukhari).

d. Al-Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
e. Al-Shabr
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad.
 Dikalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.
Sikap sabar sangat dianjurkan Allah sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
فاَصْبِرْ كَماَ صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلاَ تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ )الاحقاف : ٣۵(
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (QS. al-Ahqaf, 46:35).
وَاصْبِرْ وَماَ صَبْرُكَ اِلاَّ بِاللهِ وَلاَ تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلاَ تَكُ فِىْ ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُوْنَ )النحل : ۱۲۷(
Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. al-Nahl, 16:127).

f. Al-Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya didalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah. Percaya pada janji Allah. Menyerah kepada Allah, dengan Allah dan karena Allah.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah, diantaranya Allah berfirman:
وَاتَّقُوا اللهَ وَعَلىَ اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ ) المائدة : ۱۱(
Dan bertawakkallah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal. (QS. al-Maidah, 5:11).

g. Al-Ridha
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. Menerima qada dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya qada dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan qadar, malahan perasaan cinta bergelora ketika turunnya bala’ (cobaan yang berat).
Beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan Akhlak yang mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Hal yang demikian identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat yang buruk dengan taubat dan menghiasi diri dengan sifat yang baik, dan hal ini disebut dengan istilah tahalli, sebagaimana dikemukakan dalam tasauf akhlaki.

2.      Pengertian dan macam-macam Ahwal.

Menurut sufi, ahwal adalah bentuk jamak dari hal, dalam bahasa Inggris disebut state adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Datangnya situasi atau kondisi spikis itu tidak menentu, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih. Ada pula yang datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama, disebut bawadih. Apabila keadaan mental itu telah terkondisi dan menjadi kepribadian, itulah yang disebut hal. Menurut al-Qusyairi, hal selalu bergerak naik setahap demi setahap sampai ketingkat puncak kesempurnaan rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak dan selalu beralih berganti itulah ia disebut hal.
Para sufi atau ahli tasawuf menggambarkan hal atau ahwal sebagai perasaan, keadaan, atau suasana hati yang masih bersifat temporal (tidak tetap), yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang berjuang keras menjalani kehidupan kesufian.
Kalau maqam adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup yang hasilnya dapat dilihat dari prilaku seseorang, maka kondisi mental al-hal bersifat abstrak. Ia tidak dapat dilihat dengan mata, hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilikinya. Oleh karena itu tidak dapat diinformasikan melalui bahasa tulisan atau lisan.

Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
v  Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya.[16] Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
v  Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan  bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
v  Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
v  Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf  adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan  terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
v  Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.[17] Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun dasar paham  mahabbah antara lain dalam firman Allah:
 “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” Q. S. al-Maidah : 54
 “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Q. S. Ali Imran : 31.
Adapun tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu; 1) di dalam hati sang pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti. 2) ia tidak boleh cenderung pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah. 3) ia mesti lebih mencintai sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi kepada Allah dan tidak menentang perintahNya. 6) apapun pilhannya pandangannya selalu mengharapkan keridhaan Allah. 7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit sifat syauq, dan ketakjuban.
Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
v  Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
v  Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf  musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki,  musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
v  Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .

Demikian penjelasan selintas Antara Maqamat dan Ahwal. Semoga jadi referensi keilmuan kita. Amin

Relevansi Tasawuf pada Masa Kini


Pada abad kelima Hijriyah Imam Al-Ghazali menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf  kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis  Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz  min Al-Dhalal, sebagai berikut:
Sejak tampilnya Al-Ghazali, pengaruh tasawuf  Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf Al-Ghazali.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathathat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan pada amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, tersingkapnya tirai, dan kesaksian Allah. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari hasil pikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri. Dengan demikian, al-Ghazali menolak sufi falsafi, meskipu dia mau memaafkan al-Hallaj dan Yazid al-Bustami.
Setelah tasawwuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf sunni tersebut, maka pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan denagn tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan tidak juga bisa dikatakan filsafat.
Ibn Khaldun dalam Muqoddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat objek pertama, yaitu :

  1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya.
  2. Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
  3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
  4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathathat).[9]

Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan sekandal melanda dan menghancurkan reputasi baiknya. Tak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dengan tokoh-tokoh sufi dikembangkan, dan massa awam segera menyambut tipu muslihat itu, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. Khurofat dan takhayyul, klenik dan hidup memalukan merupakan jalan mulus menuju ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan.
Bersamaan dengan itu, muncullah pendekar ortodox, Ibn Taimiyah dengan lantang menyerang penyelewangan-penyelewengan tersebut. Ia melancarkan kritik yanng tajam terhadap ajaran Ittihad, Hulul, dan wahdat al-Wujud sebagai ajaran menuju kekufuran (atheisme). Ia lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullahsaw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti thoriqoh-thoriqoh tertentu

Eskatologis dalam Pandangan Islam


Eskatologis dalam Pandangan Islam. Kata ‘eskatologi’ itu sendiri dalam bahasa Inggris berarti cabang ilmu ke Tuhanan yang menyangkut tentang kematian, pengadilan Tuhan, surga dan neraka (Oxford English Dictionary). Dalam bahasa agamanya, kata ini bisa diartikan sebagai hari pembalasan bagi umat manusia dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia atau ‘yaumil akhir’. Dan salah satu esensi ajaran Islam (rukun iman) adalah beriman kepada yaumil akhir ini.

Ide pokok ajaran eskatologi dalam al Qur’an menceritakan akan tiba satu saat dimana setiap manusia memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialami sebelumnya mengenai amal perbuatannya semasa hidup. Dalam al Qur’an banyak ayat yang menggandengkan keimanan kepada Allah SWT dan yaumil akhir. Dan masalah eskatologi inilah yang kemudian menjadi sumber pertentangan dan penolakan bangsa ‘Arab terhadap seruan Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi sebelumnya. Rasulullah SAW tidak mengalami kesulitan ketika memperkenalkan Allah SWT sebagai Tuhan pencipta alam. Sebagaimana gambarkan dalam surah Luqman ayat 25, “ Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?’.Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’. Katakanlah,’ Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tak mengetahui ”.

Akan tetapi ketika Nabi SAW menyampaikan prinsip-prinsip eskatologi, bahwa suatu hari nanti manusia akan dibangkitkan kembali dan diminta pertanggungan jawabnya atas segala perbuatannya di dunia, mereka tidak menerimanya. Sesuatu hal yang mustahil. Menurut mereka, tulang belulang yang telah hancur lebur tidak mungkin akan dibangkitkan dan dihimpun kemudian diminta pertanggungan jawab. Bagi masyarakat ‘Arab, riba (membungakan uang) itu wajar . Hidup dengan berfoya-foya, bersenang-senang dengan cara yang berlebihan adalah penunjukkan jati dirinya sebagai orang yang sukses. Bagi orang kaya dikalangan mereka, tak ada sesuatu yang dipandang hina yang harus dijauhi. Karena dengan membawa sesajen (persembahan), segala dosa dan kejahatan mereka sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan anak apanah (qidh) di depan ‘Hubal’ (tuhan berhala mereka) sebelum ia melakukan suatu tindakan. Tanda yang diberikan anak panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Agar semua dosa dan kejahatan yang dilakukan diampuni, ia cukup menyembelih binatang untuk berhala-berhala itu. Siapapun boleh melakukan pelanggaran, kejahatan, perzinahan, perampokan, perampasan. Tak ada larangan selama mereka mampu menebusnya dengan korban-korban dan penyembelihan.

Sebenarnya penolakan masyarakat ‘Arab jahiliyah terhadap ajaran kebangkitan juga tidak terlepas dari sikap sosial politik dan ekonomi mereka yang despotik (lalim) dan eksploitatif. Sebagai kaum aristokrat dan pemegang aset ekonomi, mereka menjalankan kehidupan dengan segala cara untuk memperkuat kedudukan dalam masyarakat. Mereka menindas dan mengeksploitasi masyarakat jelata, tidak kenal hukum yang membatasi aktivitas mereka.

Dan itupulah sebabnya, ketika Nabi SAW menyampaikan bahwa perbuatan mereka di dunia akan dibalas, mereka membantahnya. Mereka menganggap, ancaman Nabi SAW cuma gertak sambal belaka, untuk mengungkung kebebasan mereka mengumpulkan harta dan kekuasaan. Paham dan ajaran Nabi SAW mereka anggap dapat merusak struktur kekuasaan politik dan ekonomi yang mereka miliki.

Dan kalau kita refleksikan semua itu dengan keadaan bangsa kita sekarang, prilaku masyarakat ‘Arab jahiliyah tak jauh beda dengan prilaku sebagian besar anak bangsa ini. Mereka, meski mengaku beriman kepada Allah SWT dan yaumil akhir, tetapi tak mampu menjabarkan keimanannya itu kedalam kehidupan praktis. Ada suatu keterpisahan antara pemahaman keagamaan dan sikap keseharian. Dari hari ke hari kita menyaksikan berbagai sekandal politik dan ekonomi (kasus Bank Centuri, kasus Adi Condro hilang bigitu saja, harga harga kebutuhan pokok yang melambung, kelangkaan BBM dan Gas, PLN yang sesuka-kanya mematikan aliran, Air Tirtanadi yang hitam menetes-netes. Sedang kasus-kasus sosial, buruh yang terus ditekan dan diperas tenaganya, pendidikan, kesehatan, agama (masalah haji, masjid yang digusur) semuanya hamper tak pernah terselesaikan secara tuntas. Suatu masalah ditutup begitu saja dengan memunculkan masalah baru lainnya, demikian seterusnya, sehingga masyarakat pun merasa apatis, skeptis dan gondok melihat prilaku mereka.

Mungkin yang bisa membedakan antara elit bangsa kita dan masyarakat ‘Arab Jahiliyah, adalah penentangan mereka terhadap ajaran ekskatologis yang bersifat terang-terangan (terbuka). Sedangkan pada kalangan elit bangsa ini, ajaran ekskatalogis, masih diimani, tetapi tidak membekas dalam kehidupan nya. Itu sebabnya kekerasan, korupsi, prilaku politik yang tak sehat-saling sikut, memback up pembalakan hutan, terima suap, memback up perjudian dan pelacuran terselubung, mafia tanah dan perizinan, serta segudang perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang melanggar etika dan moral agama sangat permisif dilakukan.

Jika orang yang benar-benar beriman kepada yaumil akhir tak akan mungkin berani berbuat cela dan hina, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, karena semua itu merupakan amanah. Bagaimana mungkin ia akan menyalahgunakan uang negara, kalau ia yakin uang itu adalah milik rakyat, dan di yaumil akhir nanti rakyat akan menuntut balik hak dan milik mereka. Bagaimana mungkin ia akan bersikap kasar dan kejam terhadap rakyat, kalau ia yakin nanti jutaan rakyat akan menuntut balas atas darah dan kehormatan mereka. Bagaimana mungkin ia berani melakukan tindakan-tindakan kebohongan kepada rakyat pemilihnya, kalau ia yakin dan tertanam dalam hatinya bahwa asekecil apapun perbuatan manusia nanti akan diminta pertanggungan jawabnya. Bagaimana mungkin ia melakukan semua itu kalau ia sadar akan ancaman Allah dengan siksaan api neraka yang maha dahsyat akan menimpa dirinya, dan sebelumnya ia akan mengalami siksa qubur yang akan dideritanya.

Jangan pernah berpikir seperti masyarakat ‘Arab masa Nabi SAW, yang menganggap dapat menebus segala perbuatan dosa dengan pengorbanan dan penyembelihan. Jangan pernah berangan-angan, kalau menyembelih qurban, pergi haji, membangun tempat-tempat ibadah, lalu hapuslah segala dosa. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan, “ al kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’da al maut, wa al ‘aajizu manit-taba’a hawaha wa tamanna ‘alallah al amaani ”./ Orang yang sempurna akalnya ialah orang yang mengkoreksi dirinya dan ber’amal untuk menghadapi mati, sementara orang yang bodoh ialah yang selalu mengikuti keinginannya dan mengharap berbagai macam harapan/angan-angan dari Allah.

Di dunia mungkin orang bisa lari dari peradilan manusia dan menutup-nutupi kesalahan dengan berbagai dalih. Tapi dialam qubur dan diakhirat nanti, semua nya tak dapat dipungkiri. Pada hari itu, mulut sebagai sumber dusta akan dikunci Allah. Yang berbicara adalah tangan, kaki dan pikiran dan seluruh indra manusia. Semuanya bersaksi atas apa yang telah dilakukan seseorang selama hidupnya di dunia, seperti penjelasan ayat pembuka di atas.

Karena itu, orang yang benar-benar beriman terhadap Allah dan hari akhirat pasti akan berusaha menjalankan kehidupannya di dunia dengan baik.
Ibnu Athailah berkata dalam al Hikamnya, ‘Allah merobah-robah keadaanmu dari sedih kegembira, dari sehat kesakit, dari kaya ke miskin, dari terang ke gelap, agar engkau mengerti bahwa engkau tidak bebas dari hukum ketentua Nya’. Wallahu a’lam.

sumber: http://www.waspada.co.id/

Menyikapi Antropomorfis (Musyabihah)

Mutasyabihat merupakan bentuk isim fi’il, berasal dari kata tasyabaha, akar katanya syabiha ditambah dengan huruf ta sebelum fa fi’il, alif setelah fa al-fi’il dan tad’if pada ain al-fi’il, yang berarti samar atau tidak jelas.

Para ahli bahasa menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan persekutuan dalam persamaan yang menyebabkan keruwetan dan kekacauan. Dikatakan tasyabah dan isti’abah atau menyerupai sesuatu dengan yang lain sehingga menjadi samar.

Kata mutasyabih bisa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syibhah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain. Karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak.

Istilah mutasyabihat sebagai lawan kata muhkamat dalam khazanah ilmu tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an, muncul sebagai interpretasi atas Firman Allah pada QS. Al-Imran [3]: 7:

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخرمتشابهات .

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. QS. Ali-Imran [3]: 7.

Secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan mutasyabihat. Al-Suyuti misalnya telah mengemukakan 18 definisi atas makna muhkam dan mutasyabih yang diberikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan sebelas definisi pula yang sebagian dikutip dari al-Suyuti. Di antara pendapat yang dikemukakan al-Zarqani ialah sebagai berikut:

  1. Mutasyabihat ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya.
  2. Mutasyabihat ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna ta’wil.
  3. Mutasyabihat ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya.
  4. Mutasyabihat ialah ayat yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan, kadang-kadang diterangkan dengan ayat-ayat atau keterangan yang lain karena terjadinya perbedaan dalam menta’wilnya.
  5. Mutasyabihat ialah ayat yang seharusnya tidak dijangkau dari segi bahasa, kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya, sepeti lafaz mustarak yang masuk dalam pengertian ini.
  6. Mutasyabihat ialah ayat yang terdiri dari isim (kata-kata benda), musytarak dan lafaz-lafaz mubhamat (samar-samar).
  7. Mutasyabihat ialah ayat yang maknanya tidak kuat, yaitu lafaz mujmal muawwal yang muskil. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Razi.
Abdullah al-Harari (selanjutnya disebut al-Harari) mengemukakan bahwa mutasyabihat secara terminologi ialah dalil-dalil yang pengertiannya belum jelas, serta membutuhkan pemahaman bahasa arab secara mendalam dan juga membutuhkan pengertian makna yang dimaksud dalam pandangan yang khusus serta penalaran makna yang mendalam, dan tidak semua manusia bisa memberikan pembacaan dan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Seperti dalam QS. Taha [20]: 5, lafaz “istawa ”dimaknai dengan “al-qahr” dan “al-Istila”(menguasai dan menundukan).

Masih menurut al-Harari sebagaimana pemahaman ulama salaf, penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna “zahir”ayat tersebut, sehingga metode penafsiran dan pemahaman yang diterapkan ulama salaf terhadap ayat-ayat sifat dengan menggunakan metode ta’wil tafsili dengan mengalihkan makna tekstual, yaitu memaknainya sesuai dengan sifat-sifat keagungan yang dimiliki Allah dan tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya.

Dengan kata lain pengertian mutasyabihat adalah nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang dalam bahasa Arab mempunyai lebih dari satu makna dan tidak dimaknai secara “zahir” (makna tekstual), karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan mahluknya). Akan tetapi wajib dikembalikan maknanya kepada Allah, berbeda dengan ayat-ayat muhkamat yang maknanya sesuai dengan makna zahir, sehingga ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan maknanya kepada Allah untuk menghindari penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya (tasybih)”ليس كمثله شيئ “.

Menurut pemahaman ulama salaf (baca: Ibn ‘Abbas), ayat mengenai”istawa” tidak ditafsirkan “duduk” (jalasa) atau bersemayam dan berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya, tidak pula diartikan Allah duduk dengan makna lain, karena ulama salaf berpendapat, bahwa segala sesuatu yang duduk dan bersemayam termasuk khusus sifat benda. Lafaz istawa, dita’wil ibn ‘Abbas dengan saida amruhu (naik akan perintah-Nya).

Menurut al-Fayyumi, kata istawa dalam bahasa Arab mempunyai lima belas makna, dengan demikian kata istawa dalam al-Qur’an di-ta’wil dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat yang muhkamat. Dari lima belas makna ini yang selaras dengan sifat Allah adalah qahara (menundukkan atau menguasai). Sebagaimana interpretasi Imam ‘Ali RA dalam memaknai lafaz istawa dengan mengatakan: ”Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” .

Penafsiran Qahara (menundukan dan menguasai) dari lafaz istawa adalah pendapat ulama salaf dan khalaf. Penetapan makna ini (qahara) oleh ulama salaf dinilai sesuai dengan sifat Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dan tidak menginterpretasikan makna secara tekstual, serta dengan makna ini dinilai tidak terjebak pada paham Antropomorfisme.

Pengertian lain tentang ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang dapat mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, keluarnya dajjal, tentang surga, neraka dan lain-lain.

Terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat-sifat Allah, para mufassir Salaf meletakkan pentingnya metode ta’wil ijmali yaitu dengan memberi ungkapanيليق به تعالى (dengan pemberian makna yang sesuai dengan keagungan-Nya) sebagai bentuk penyerahan makna pada Tuhan. Namun, di sisi lain ulama salaf juga menggunakan metode ta’wil tafsili yaitu dengan menentukan makna yang sesuai keagungan Allah. Adapun makna ayat-ayat mutasyabihat “yang tidak dapat dipahami” ialah dalam perkara-perkara yang dirahasiakan Allah, seperti kejadian hari kiamat, huruf muqata’ah dan lainnya.

Adapun ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, bukanlah termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya dirahasiakan Allah. Menurut ulama salaf, tidak logis jika sifat-sifat Allah hanya diketahui Allah semata, padahal fungsi Nabi diutus untuk memberikan keterangan dan pemahaman tentang hal yang tidak diketahui umatnya mengenai al-Qur’an tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam al-Qur’an, bahwa kitab ini diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.

Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian mutasyabihat dan penerapan ulama terhadap ta’wil, diketahui bahwa ta’wil sudah berkembang sejak masa sahabat, seperti yang dipraktikkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Abbas, hal ini sesuai dengan do’a Nabi atas ‘Abdullah ibn ‘Abbas “) “اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويلYa Allah pandaikanlah dia dalam urusan agama dan ajarilah dia tentang ta’wil). Karena inilah ibn ‘Abbas dikenal sebagai sahabat pertama dalam hal ta’wil dan dia sendiri mengomentari dirinya dengan:”انا من الرا سخين في العلم”. Karakteristik dan aplikasinya dalam penafsiran diikuti oleh generasi-generasi setelahnya.

Lingkup Pembahasan Ayat-ayat Mutasyabihat Tentang Sifat Allah.
Dalam al-Qur’an atau Hadis banyak nas-nas yang mengandung pengertian sifat-sifat Tuhan, seperti lafaz “al-wajh” disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua belas kali. Penyebutan kenyataan bahwa “Dia berbicara/ mengatakan….”muncul lebih dari lima kali, penyebutan bahwa seseorang atau sesuatu “berada dalam pengawasan-Nya” terjadi sebanyak lima kali. Allah sebagai Sami (Maha Mendengar) disebutkan lebih dari empat puluh kali dan Basir (Maha Melihat) juga lebih dari empat puluh kali. Wajah orang-orang yang takwa akan memperoleh kebahagian karena dapat memandang-Nya di akhirat kelak. Seringnya penyebutan ini mengangkat makna penting subyek, dan ungkapan-ungkapan seperti ini memperteguh keberadaan sifat-sifat itu pada Dzat Allah.

Kajian mengenai ayat-ayat sifat Allah, baik yang lahir dari ayat-ayat muhkamat maupun mutasyabihat, selalu menjadi perdebatan oleh para teolog (Mu’tazilah, Musyabbihah, Ahlussunnah) dalam memahami sifat Allah pada ayat-ayat tentang sifat tersebut. Mayoritas ulama mempertahankan keabsolutan sifat-sifat qadim Allah, seperti Mengetahui, Berkuasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Maha Menerima pujian, Maha Pemberi, Maha Pemurah, dan Maha gagah. Sedangkan pada bagian lain tidak menetapkan pemahaman tentang sifat sebagaimana makna literal dalam ayat-ayat sifat Tuhan, seperti “dua tangan dan “wajah”. Dari sinilah lahir pembahasan terhadap ayat-ayat Mutasyabihat tentang sifat, seperti ketika mengatakan bahwa tangan Allah ada di atas tangan orang-orang yang membaiat Nabi Muhammad SAW, secara literal ayat ini bermakna bahwa Tuhan mempunyai tangan, padahal mustahil Tuhan mempunyai tangan. Interpretasi yang diberikan ulama Salaf bukanlah dengan tangan seperti makna literal lafaz “al-yad”, tetapi lafaz “al-yad”di-ta’wil dengan perjanjian atau kekuasaan yang harus disikapi sebagai kepatuhan kepada Tuhan, dan akan sangat logis bila lafaz “al-yad” mempunyai makna yang sifatnya transendental. Seperti juga lafaz “istawa”, secara lahiriyah ia bermakna “bersemayam”, ulama Salaf melakukan ta’wil guna memahami kandungan ayat tersebut. Di sini, lafaz “istawa” dita’wil sebagai sifat kekuasaan-Nya.

Selanjutnya, Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani memberikan pengertian terhadap makna “al-Sifat”, adalah sifat yang wajib adanya bagi Tuhan, seperti kalangan ulama salaf mereka menetapkan adanya sifat Allah yang azali dari sifat: “al-Ilm, al-qudrah, al-Hayat, al-Iradah, al-Sama, al-Basar, al-Kalam, al-Jalal, al-Ikram, al-Jad, al-In’am, al-Izzah, al-Uzmah”. Mereka juga tidak membedakan antara sifat-sifat zat (esensi) dan sifat-sifat al-fi’il (operatif), tetapi mereka menempuhnya dengan cara yang sama, begitu juga menetapkan “al-sifat al-Khabariyah” seperti lafaz”al-Yadain” dan “al-Wajh”. Dengan hal ini mereka sebagian tidak merincinya, tetapi menetapkan sesuatu yang tersirat dalam al-Qur’an, dan mereka menyebutnya sebagai sifat-sifat yang diwahyukan atau dinamakan sebagai “al-sifat al-khabariyyah”.

Penyerupaan Allah dengan mahluk sebenarnya sudah tertolak dengan penolakan pengertian adanya anggota badan bagi Allah dari ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung pengertian sifat Allah, sedangkan yang menjadi dasar pendapat para teolog tersebut biasanya dikutip saat menolak pendapat kaum Antropomorfis.

ليس كمثله شئ وهو السميع البصير ( الشورى 11)

Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS al-Syura:11).

Ayat di atas merangkum semua isu sentral yang banyak dibahas dalam karya-karya teologi Islam.”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” menetapkan Allah sebagai yang Unik dan berada dari semua mahluk.” Dia bukanlah sebuah substansi (jawhar), kesatuan unsur (jism), atau aksiden (arad), tidak bertempat, atau berada dalam waktu. Dia-lah yang Awal dan tak ada sesuatu sebelum Dia yang Akhir dan tak ada sesuatu yang bisa dikatakan muncul setelah Dia”. Ungkapan ini seperti dikatakan sayf al-Din al-Amidi (w.631 H) dalam bab tentang penolakan atas Antropomorfisme, ibtal al-tasybih dalam bukunya Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam. Jisim, jawhar dan ard adalah tiga bagian wujud yang diciptakan oleh Allah, ketiganya bersifat baru (muhdas\at), sehingga mustahil Allah menyerupai ketiganya.

Pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat sifat cukup beragam. Secara garis besar interpretasi menyikapi sifat-sifat Allah terbagi dalam tiga pemahaman dengan tiga golongan yang mewakilinya. Yaitu:
  1. Komunitas yang menolak sifat-sifat Allah, nafi al-sifat, atas dasar bahwa sifat-sifat itu akan mengurangi keesaan-Nya. Inilah pendapat kaum Mu’tazilah yang oleh para penentangnya dijuluki sebagai ta’til.
  2. Pendapat kaum Antropomorfis yang terkenal sebagai tasbih/tajsim.
  3. Pendapat orang-orang yang mengambil jalan tengah yang diwakili oleh ahl al-Hadis (yakni mereka yang menjadikan Hadis Nabi sebagai dasar argumen) dan kaum Asy’ariyah.
Kaum Antropomorfis memaknai ayat-ayat sifat secara literal sebagaimana adanya, seperti sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat merupakan dua sifat yang bisa membawa kepada paham Antropomorfisme. Kaum Mu’tazilah menolak sifat-sifat (nafi al-Sifat), dan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang selain esensinya, dan bahwa al-Sami’ dan al-Basir merupakan nama-nama Allah seperti halnya al-Rahman dan al-Rahim.. Kaum Asy’ariyah menegaskan adanya keberadaan sifat-sifat, dan berbeda dengan pendapat kaum Antropomorfisme, mereka tetap berada dalam prinsip”tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”dan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan hanya layak untuknya saja, dan bukanlah seperti sifat mahluk-mahluk-Nya: Pendengaran-Nya tidak seperti pendengaran mereka dan Penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan mereka.

Sedangkan mengenai ungkapan-ungkapan yang melibatkan Wajah Allah, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Wajah Allah mengandung arti Allah sendiri (berbeda dengan Antropomorfis yang menyatakan sebagai wajah fisik Tuhan), mengingat sudah lazim dalam bahasa Arab penggunaan kata “wajah” dengan maksud orang yang bersangkutan. Sebaliknya, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa Dia sungguh-sungguh memiliki wajah, bahwa wajah-Nya, merupakan sebuah sifat yang bertalian dengan esensi-Nya, sifat Dzat. Berdasarkan prinsip tanzih/mukhalafat li al-Hawadis\ bahwa “tidak ada sesuatu yang berlaku bagi mahluk yang boleh dinisbatkan kepada Allah dalam pengertian yang sama. Kaum Asy’ariyah, berbeda dengan kaum Mu’tazilah menganggap bahwa mereka tidak menyimpangkan makna dalam ungkapan al-Qur’an, sehingga juga tidak seperti kaum Musyabbihah, mereka tidak terjerumus ke dalam bahaya antropomorfisme.

Asy’ariyah dalam memberikan interpretasi menyimpulkan pendapat ahl al-Hadis yang menyatakan: “Kami tidak mempunyai pendapat apapun mengenai hal ini kecuali apa yang telah difirmankan Allah yang Maha kuasa dan apa yang disabdakan oleh Nabi, karena itu kami katakan: Dia betul-betul memiliki wajah, tanpa memberikan perinciannya”.

Dari beberapa pernyataan tentang sifat Tuhan dan interpretasinya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, peneliti merangkum, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabihat mempunyai paham terhadap adanya sifat Tuhan, seperti Ahlusunnah secara umum percaya kepada adanya sifat-sifat Tuhan tanpa merinci bagaimana, dan pendapat kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Khawarij yang menolak sifat-sifat Tuhan. Pemahaman ketiga golongan tersebut berbeda antar satu golongan dengan golongan yang lain, tergantung pembacaan mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis.

Pengaruh Mutasyabih At al-Sifat terhadap Perkembangan Firqah-firqah dalam Islam
Pemahaman yang beragam pada ayat-ayat sifat merupakan salah satu pemicu munculnya perpecahan dalam Islam, di samping pertikaian yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah ‘Us\man ibn ‘Affan yang berujung pada pada pertikaian antara Muawiyah dan ‘Ali ibn Abi Talib. Perpecahan itu memunculkan firqah-firqah dalam sejarah Islam. Muncul pertentangan dan perdebatan di antaranya: Mu’tazilah dengan konsepnya peniadaaan sifat-sifat Tuhan. Dengan mempertahankan satu atribut tentang kemahaesaan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan adalah Maha Esa dan Maha adil. Dalam usaha memurnikan paham keesaan Tuhan, mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik atau politeisme. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat banyak unsur, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur yang melekat kepada zat. Dan bila Tuhan dikatakan mempunyai 20 sifat, maka Tuhan akan tersusun dari 21 unsur, bila 40 sifat, maka unsur-Nya akan berjumlah 41 dan bila dikatakan Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang Qadim, sedang menurut Mu’tazilah dalam paham teologi, Qadim itu esa. Apabila Iman dalam ajaran biasa ialah: Tiada Tuhan selain Allah, maka iman dalam bahasa teologi mengambil bentuk: Tiada yang Qadim selain dari Allah. Jika sifat-sifat itu Qadim, maka secara tidak langsung sifat-sifat itu adalah sekutu Allah. Paham ini akan membawa kepada syirik, dan menurutnya syirik dalam Islam adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Tuhan.

Untuk mengatasi paham syirik inilah, maka Wasil mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini tidak berarti bahwa Wasil dan pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir dan sebagainya seperti halnya Ahlussunnah dan Musyabbihah, mereka menerima kebenaran ayat-ayat itu sebagaimana kebenaran seluruh ayat lainnya. Bagi Mu’tazilah, al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir, al-Al pemuka kedua Mu’tazilah: Tuhan Maha Tahu dengan pengetahuan dan pengetahuan Tuhan adalah zat-Nya.

Mengenai teks al-Qur’an, menurut Mu’tazilah tidak selamanya mesti dimaknai secara literal. Ayat-ayat al-Qur’an di samping mengandung arti harfiah, juga mengandung arti metaforis. Selanjutnya mereka berkeyakinan bahwa antara pendapat akal yang benar dan wahyu tidak ada pertentangan. Karena, apabila arti secara lafaz ditinggalkan dan diambil arti majazi atau metaforis, maka pertentangan yang ada akan hilang dengan sendirinya. Perumpamaan mereka ditujukan kepada teks al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tangan dan kursi, sedangkan akal berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tangan dan kursi, karena Tuhan tidak berbentuk jasmani dan sebagainya. Dengan demikian mereka mengambil arti metaforis, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Dari uraian di atas diketahui sebenarnya Mu’tazilah mempraktekan ta’wil, hanya saja cara menjelaskan tentang sifat dan zat berbeda. Praktik penta’wilan mereka adalah dengan pemakaian makna metaforis terhadap ayat-ayat yang ambigu (mutasyabihat).

Ketika pemahaman Mu’tazilah tentang sifat Tuhan sudah terbentuk, muncul kelompok ekstrem dari kalangan Syi’ah, yaitu golongan Muhaddis, golongan Haswiyyah, mengakui paham Antropomorfisme yang merupakan paham yang sangat kontra dengan paham Mu’tazilah. Menurut mereka Tuhan memiliki bentuk dan mempunyai anggota tubuh dan bagian-bagian yang bisa bersifat spritual maupun fisik, sehingga memungkinkan bagi Tuhan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, turun-naik, tetap atau benar-benar duduk. Hal ini diriwayatkan olah Asy’ari berdasarkan otoritas (informasi berita dari) Muhammad ibn Isa bahwa Mudar, Kuhmus, dan Ahmad al-Hujaimi memperkenalkan kemungkinan manusia menyentuh Tuhan dan menjabat tangan-Nya di dunia maupun di akhirat, asal saja dalam ikhtiar spritual, mereka mencapai sebuah tingkatan kesucian hati yang memadai serta penyatuan yang murni dengan Tuhan. Ka’bi meriwayatkan bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, bahkan dalam kehidupan ini, dan bahwa Tuhan dengan manusia bisa saling menziarahi. Pemahaman-pemahaman yang muncul ini merupakan implikasi dari pemahaman ayat-ayat sifat Tuhan. Lebih ekstrem lagi ketika Dawud al-Jawaribi diberitakan telah mengatakan:

“Jangan engkau tanyakan kepadaku tentang kelamin wanita atau janggut, tetapi engkau boleh menanyaiku tentang sesuatu yang lain. Ia juga mengatakan Tuhan adalah jisim, daging, dan darah. Dia mempunyai anggota tubuh, seperti dua tangan dan dua kaki, kepala dan lidah, dua mata dan dua telinga, meskipun demikian, Dia adalah sebuah jisim yang berbeda dengan jisim-jisim yang lainnya, daging yang berbeda dengan daging lainnya, dan darah yang berbeda dengan darah lainnya. Demikian pada sifat-sifatnya yang lain. Dia tidak menyerupai mahluk apa pun, demikian pula mahluk tersebut tidak menyerupainya. Ia juga mengatakan Tuhan adalah lembah dari atas hingga dada-Nya, sedangkan sisa dari-Nya adalah tanah juga. Dia memiliki rambut yang panjang, hitam dan ikal”.

Sedangkan mengenai lafaz-lafaz dalam al-Qur’an (mutasyabih ayat al-sifat) seperti istawa (bersemayam), wajh (wajah), yadain (dua tangan), janb (sisi), maji (datang), ityan (datang), fauqiyah (berada di atas) dan sejenisnya dipahami oleh golongan Musyabbihah secara literal, yaitu sebagaimana kata-kata tersebut dipahami ketika digunakan dalam konteks jisim. Demikian pula kata-kata yang ditemukan dalam hadis, seperti surah (bentuk) dalam sabda Nabi “Adam diciptakan dalam bentuk Tuhan yang Maha pengasih”, Tuhan membentuk tanah liat Adam dengan tangan-Nya selama empat puluh hari”, “Tuhan meletakkan tangan-Nya atau telapak tangan-Nya di bahuku”, “Sampai aku merasakan dinginnya jemari tangan-Nya di bahuku. “Kalimat-kalimat di atas mereka pahami secara literal sebagaimana pemahama mereka tentang jisim.

Al-Syahrastani berpendapat, bahwa interpretasi Musyabbihah telah menciptakan kebohongan dan menghadirkan hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi umumnya hadis-hadis itu diambil dari orang-orang Yahudi, di mana Antropomorfisme dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Mereka lebih jauh mengatakan bahwa kedua mata Tuhan sakit dan para Malaikat datang menghibur-Nya bahwa Dia menangisi banjir Nuh hingga matanya menjadi merah bahwa Arsy di bawah-Nya berbunyi seperti sadel baru di atas unta. Golongan Musyabbihah juga meriwayatkan bahwa Nabi bersabda,” Tuhan menemuiku, berjabat tangan denganku, bergumul denganku, dan meletakkan tangan-Nya di antara pundaku hingga aku merasakan dingin jemari tangan-Nya”.

Doktrin lain dari interpretasi Musyabbihah, mereka berkeyakinan bahwa suku kata, suara dan karakter yang tertulis dari al-Qur’an semua sudah ada sebelumnya (pre-eksis) dan bersifat Qadim-azali. Menurut mereka sebuah ucapan yang tidak tersusun melalui huruf-huruf atau kata-kata tidak bisa dipahami. Untuk mendukung pendapat ini, mereka menggunakan hadis-hadis, misalkan mereka mengutip sebuah sabda bahwa Musa biasa mendengar perkataan-perkataan Allah yang mirip dengan suara rantai yang diseret. Mereka juga mempertahankan bahwa umat Islam terdahulu percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak diciptakan dan bahwa barang siapa yang mengatakan bahwa kitab tersebut diciptakan, berarti ia tidak beriman kepada Allah. Dari beberapa interpretasi ayat-ayat sifat, kaum Musyabbihah memberikan pengaruh sangat signifikan, sehingga interpretasi terhadap ayat-ayat sifat (mutasyabih ayat al-sifat) secara literal lebih dominan dengan dalil dari Hadis yang dijadikan sebagai alat nalar dalam nuansa eksegesisnya.

Hal ini berbeda ini dengan Ahlussunnah (selanjutnya disebut Asy’ariyah) yang menggambarkan manusia mempunyai tingkatan dalam menginterpretasi tentang diri dan penciptanya. Ketika manusia belum mengenal siapa diri dan Tuhannya, tentu dia akan mencoba menginterpretasi secara bertahap. Pertama ia akan mengenal dirinya setelah itu ia akan mencoba mencari siapa pencipta mereka. Setelah melalui perenungan mereka berpendapat bahwa penciptaan dilakukan oleh suatu zat yang di luar dirinya, yang Maha Pengasih, Maha Memberi, Maha kuasa, serta sifat-sifat Maha lainya. Dan zat itu mereka sebut dengan Tuhan. Oleh karena Tuhan (Allah) dapat dikenali dari tindakan-tindakan yang merupakan penjelmaan dari sifatnya sifat-sifat ini tidak dapat ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukkan bahwa Dia Maha Pengasih, Mahakuasa dan Maha Berkehendak.

Oleh karena itu, Asy’ariyah mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang bisa dikenal dari tindakan-tindakan-Nya: sifat-sifat ini tidak bisa ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan Maha Berkehendak, demikian pula tindakan-tindakan itu menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan berkehendak. Menurutnya pula, tidak ada perbedaan dalam hal keabsahan mengenai apa yang disimpulkan, apakah ia manifes atau tersembunyi. Lagi pula, “Yang Maha Mengetahui” sebagaimana yang dilekatkan pada Tuhan, pada kenyataanya, tidak memiliki arti selain bahwa Dia memiliki pengetahuan “Yang Mahakuasa” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki kekuasaan “Yang Maha Berkehendak” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki berkehendak. Dengan demikian, melalui pengetahuan lahirlah keteratuaran dan kesempurnaan melalui kekuasaan, segala sesuatu muncul dan berwujud melalui kehendak, lahirlah ketentuan masa, ukuran dan bentuk. Manakala sifat-sifat ini dianggap berasal dari zat, maka sifat-sifat itu tidak dapat dipertimbangkan, kecuali apabila dikatakan bahwa zat tersebut ” hidup” dengan “kehidupan”.

Golongan Asy’ariyah merupakan para pengikut Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, seorang keturunan Abu Musa al-Asy’ari. Abu Hasan mengatakan, bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, berkuasa dengan kekuasaan-Nya, dan melihat dengan penglihatan-Nya. Asy’ariyah berpegangan pada pandangan bahwa setiap maujud dapat dilihat, sebab kemaujudanlah yang membuat sesuatu bisa terlihat. Allah itu maujud. Oleh karena itu, Dia dapat dilihat. Mereka juga mengetahui dari wahyu, bahwa orang-orang yang beriman akan melihat-Nya di hari kemudian sebagaimana firman Allah: “wajah-wajah orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nyalah mereka melihat” Demikian pula, ayat-ayat dan hadis-hadis yang serupa mengenai melihatnya Allah diinterpretasikan dengan tidak memerlukan arah, tempat, bentuk, atau berhadap-hadapan apakah dengan tabrakan sinar atau kesan, semuanya tidak mungkin.

Ada dua pandangan yang diriwayatkan Asy’ariyah perihal sifat dasar dari penglihatan terhadap Allah. Pertama, pandangan ini merupakan sebuah jenis pengetahuan yang istimewa dalam pengertian bahwa ia lebih berkaitan dengan yang eksis daripada yang non eksis kedua, merupakan sebuah persepsi di luar pengetahuan, yang tidak menuntut sebuah efek terhadap benda yang dipersepsikan, tidak pula sebuah efek yang berasal darinya. Asy’ariyah juga mempertahankan bahwa mendengar, melihat adalah dua sifat Allah yang qadim. Tetapi ada juga persepsi yang berada diluar pengetahuan, yang berhubungan dengan objek-objek mereka yang sebenarnya, asal saja objek-objek tersebut eksis.

As’ariyah berpegang bahwa dua tangan dan wajah adalah sifat-sifat yang diberitahukan dari Allah karena, sebagaimana ia jelaskan, wahyu bertutur mengenai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut harus diterima sebagaimana adanya. Asy’ariyah mengikuti umat Islam generasi awal (salaf) yang tidak berusaha menafsirkan sifat-sifat tersebut (tafwid, taslim), meskipun, menurut satu pendapat yang diriwayatkan, mereka memperkenalkan penafsiran. Sebagaimana Ahmad ibn Hanbal, Dawud ibn ‘Ali al-Asfahani yang mengikuti para Muhaddis awal, seperti Malik ibn Anas dan Muqatil ibn Sulaiman. Penerimaan terhadap sifat-sifat Tuhan pada ayat yang ambigu mereka katakan:

“Kami beriman dengan segala apa yang diberitakan di dalam Kitab dan sunnah, dan kami tidak mencoba untuk menafsirkannya, mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak menyerupai mahluk apa pun, dan bahwa semua pencitraan yang kami bentuk mengenai Dia diciptakan oleh-Nya dan dibentuk oleh-Nya. Dan sebaiknya kita katakan sebagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki dasar pengetahuan, “semuanya berasal dari Tuhan kami” kami beriman dengan apa yang difirmankan secara literal dan kami juga beriman dengan maknanya yang tersembunyi, tetapi kami meninggalkan pengetahuan mengenainya kepada Allah kami tidak wajib mengetahui sebab ia bukan salah satu dari syarat iman, juga bukan merupakan salah satu dari unsur-unur dasarnya”.

Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, bahwa perbedaan yang terjadi sebagaimana pemaparan di atas merupakan aplikasi pemahaman yang berbeda terhadap ayat-ayat sifat, sehingga melahirkan firqah-firqah dalam Islam. Sebagaimana penulis gambarkan, terdapat tiga aliran yang sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman terhadap ayat-ayat sifat, yaitu Mu’tazilah yang berbeda dengan Ahlussunnah dan keduanya berbeda pula dengan Musyabbihah. Pemahaman-pemahaman yang diuraikan di atas, merupakan wacana yang berkembang dalam khazanah keislaman yang sangat mungkin dikritisi lebih lanjut, karena percaturan dalam teologi Islam–terutama dalam kajian ayat-ayat tentang sifat Tuhan–mempunyai banyak masalah yang harus dilihat secara objektif.