Minggu, 29 Mei 2011

TIPOLOGI MASYARAKAT ARAB KOMTEMPORER

TULISAN ini berusaha meletakkan parameter ideologis-kultural sebagai dasar untuk memahami masyarakat Islam umumnya dan masyarakat Arab khususnya. Penulis akan menyoroti keberadaan dua tipe masyarakat yang berada dalam satu negara yang meliputi dua kriteria sebagai berikut.

Pertama, masyarakat asli (tradisional) yang pada umumnya mempertahankan pola masyarakat Islam, yakni masyarakat yang berpegang teguh pada warisan dan tradisi serta memelihara sejarah. Masyarakat ini berfungsi sebagai penerus pola sosial masa lampau di bawah dominasi kolonialisme.
Kedua, masyarakat modern yang terbentuk di bawah pengaruh dominasi kolonial asing. Mereka berusaha menegakkan modernisasi ala Barat, sehingga pola pemikiran, gaya hidup, dan konsep-konsep Barat mewarnai masyarakat tipe ini.1

Mengapa Menggunakan Pendekatan Ideologis-Kultural?
Sebagian cendekiawan yang terpengaruh metodologi penelitian Barat menganggap bahwa pemakaian pendekatan ideologis-kultural dalam memahami masyarakat Arab-Islam merupakan suatu bias ilmiah. Ini karena konotasi ilmiah dalam tradisi berpikir mereka terbatas pada metode tertentu yang disepakati mereka. Artinya, mereka menganggap metode yang berbeda parameter, konsep, dan contoh historisnya dengan metode Barat sebagai metode yang tidak ilmiah.
Akan tetapi, jika kita menyepakati keabsahan tesis yang menyatakan bahwa corak masyarakat Islam jauh berbeda dengan corak-corak masyarakat yang didefinisikan Eropa, maka tesis ini sejak semula telah menggugurkan klaim keilmiahan metode-metode Barat yang selama ini digunakan untuk menganalisis masyarakat Arab-Islam. Ini karena metode ilmiah tidak alergi terhadap data-data yang meliputi berbagai konsep, parameter, dan pola kemasyarakatan.
Keilmiahan suatu penelitian ditentukan oleh sejauh mana penelitian itu mampu mengungkapkan fakta yang sebenarnya serta sejauh mana ia dapat meletakkan aspek-aspek tertentu pada proporsi yang sebenarnya. Bukan kesesuaiannya berdasarkan metode penelitian tertentu, misalnya metode Barat!
Selain itu, memahami realitas sosial negara Arab berdasarkan prinsip dikotomi antara dua tipe masyarakatnya adalah bertentangan dengan studi-studi pada umumnya, yang telah menganalisis sifat-sifat dasar masyarakat Arab-Islam, sehingga studi ini --yang memandang masyarakat Arab sebagai satu tipe-- akan menjadi studi yang menerapkan analogi-analogi masyarakat modern. Bila demikian, penelitian akan cenderung menafikan eksistensi masyarakat tradisional.
Meskipun benar bahwa masyarakat modern menguasai negara setelah jatuhnya kekuasaan kolonialisme dan berusaha menyatukan masyarakat di atas dasar dominasi dan pola modern, hal itu tidak berarti pihak yang tersisih (masyarakat tradisional --peny.) kehilangan eksistensi sama sekali dan harus tunduk pada garis masyarakat dan negara yang baru, sehingga mereka harus berbicara dengan bahasa modern dan menggunakan ukuran-ukurannya untuk memperoleh keberadaan yang diakui. Maka, lahirlah dualisme hukum dalam kancah ketegangan.
Sebab utama keabsahan penerapan pendekatan ideologis-kultural ini --kendati dipandang terdapat dua tipe masyarakat di negara-negara Arab-- dikembalikan kepada peran besar yang dimainkan oleh Islam dalam membentuk corak masyarakat Arab-Islam; suatu peran yang tidak ada duanya dibandingkan dengan tipe masyarakat manapun. Islam menjadikan bangunan pemikiran ideologis sebagai salah satu syarat kokohnya konstruksi materi dan hubungan sosial. Sebab, seandainya masyarakat Arab-Islam mencoba melepaskan dirinya dari pusat ideologinya (Islam), niscaya ia akan tercerabut dari akar-akarnya, dan pada gilirannya akan mengalami kegoncangan.
Sebagai catatan, tesis mengenai program yang berangkat dari perspektif dualisme masyarakat dunia Islam, seyogianya disandarkan pada sejauh mana pandangan itu dapat diterapkan pada realitas.
Tipologi Pelaku Ekonomi
Bila kita berjalan-jalan di jantung kota-kota di Arab, kita akan menemui pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Kita dapat menyaksikan dua tipe areal yang perbedaannya sangat jauh, bahkan sangat mencolok. Kondisi semacam ini tak urung dapat ditemui juga di negara-negara Islam yang lain.
Dalam satu paket kebijaksanaan pemerintah terdapat dua komunitas pedagang, yaitu komunitas pedagang masyarakat tradisional dan komunitas pedagang masyarakat modern. Pada masing-masing komunitas tersebut, terdapat kelompok pedagang kecil, menengah, dan besar. Ada yang menempati bazar-bazar, pasar-pasar tradisional, gang-gang, dan perkampungan. Ada pula yang menempati kawasan elit.
Maka kita tidak sulit membayangkan dua tipe peradaban dari dua masyarakat yang berbeda di Arab. Termasuk di dalamnya: perbedaan nama, bahasa, cara berbicara, dan perilaku.
Tipologi Intelektual
Masalah ini akan tampak lebih jelas bila kita meneliti masalah pendidikan dan produknya. Terdapat dua tipe intelektual atau akademisi yang sangat kontras. Universitas-universitas yang mendasarkan diri pada sistem sekular mengedepankan corak kultur dan menelurkan alumninya yang tentu saja tidak lepas kaitannya dengan bentuk-bentuk kebudayaan Barat.
Perbedaan mencolok dapat kita lihat pada alumni al-Azhar (Mesir), Zaitunah (Tunisia), Qurawiyyin (Maroko), Qum (Iran), Najf (Irak), dan Fakultas Syariah di Suria dibandingkan dengan lulusan berbagai universitas di Paris, London, Washington, Moskow, atau institusi lokal yang modern. Tampak jelas adanya dua tipe pendidikan dan alumni yang dihasilkannya.
Dua tipe ini semakin terlihat tajam ketika diadakan pengamatan terhadap berbagai organisasi dan pranata kultural sebagai produk kebudayaan dan kalangan intelektual dalam masyarakat. Pada satu sisi, terdapat lembaga-lembaga studi keislaman dan pendidikan kebangsaan, masjid-masjid beserta halaqahnya, serta syekh tarekat dan para muridnya. Dari lembaga-lembaga ini muncullah berbagai pola kebudayaan bangsa yang akhirnya membentuk suatu tipe tersendiri sebagai penyambung corak masyarakat sebelum terjadinya perang dengan bangsa asing dan peradabannya di Arab.
Pada sisi lain, kita dapat melihat adanya lembaga-lembaga pendidikan khusus dan asing di dalam negeri yang melahirkan lapisan intelektual dan politisi yang mempelajari buku-buku terjemahan dari Barat. Perbandingan ini juga dapat dilihat pada karya seni dan sastra yang beraneka ragam. Nilai-nilai seni dan sastra yang satu mengandung ajaran keislaman dan kebangsaan tradisional. Sedangkan nilai-nilai seni dan sastra yang lainnya bermuara pada paradigma Barat.
Perbedaan dua tipe tersebut makin meningkat hingga menyentuh aspek bahasa percakapan, tidak hanya pada tataran isi, melainkan juga pada tataran bahasanya. Kita akan menemui bahasa Arab dengan berbagai dialeknya, bahasa asing, dan bahasa campuran (antara bahasa asing dan Arab).
Mengingat latar belakang objek yang demikian kompleks, studi ini tidak akan mencapai kedalaman sebelum peneliti meyakini pentingnya pendekatan ideologi-pemikiran-kultural sebagai dasar memahami eksistensi dua tipe masyarakat, kebudayaan, dan peradaban. Pembagian kebudayaan menjadi dua tipe atas dasar masyarakat tradisional dan masyarakat modern tidak akan tepat tanpa mengetahui perbedaan di antara kaum intelektual.
Pembagian ini justeru memungkinkan diketahuinya perbedaan-perbedaan di antara berbagai hal yang terdapat di dalam setiap masyarakat. Sesungguhnya perbedaan dan konflik yang terjadi di antara dua tipe kaum intelektual sangat besar. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa sesuatu dengan sendirinya tidaklah dapat diklaim begitu saja sebagai fenomena masyarakat modern, melainkan harus disadari bahwa semua itu merupakan produk dari berbagai aliran, perbedaan, dan konflik yang telah lama ada di suatu wilayah atau negeri.

Tipologi Kalangan Profesional
Penjelasan dualistik di atas juga dapat ditemui pada dunia profesi yang terbagi atas kalangan profesional modern dan pekerja tradisional. Perbedaan ini akan tampak bila kita melihat piramida kelas dari kelompok-kelompok ini. Pada puncak piramida terdapat kelas profesi elit yang didominasi kalangan modern seperti dokter dan teknisi dan ahli hukum yang posisinya lebih rendah daripada teknisi. Pada bagian bawah piramida terdapat masyarakat tradisional yang umumnya berstatus ekonomi lemah. Kelompok kedua ini terdiri atas pekerja tradisional, seperti tukang tembaga dan ahli besi atau kelompok yang telah menggunakan peralatan modern dalam batas-batas tertentu. Mereka pada umumnya masih menghargai dan menjaga kebudayaan, peradaban, dan pola hidup kerakyatan.
Tampak jelas bahwa realitas dua kelompok di atas cukup menyulitkan. Keduanya harus dipahami secara proporsional, sebab merupakan dua fenomena masyarakat yang berada dalam satu kota yang sedang berkembang. Dengan kata lain, mereka telah menginjakkan satu kakinya pada kebudayaan dan peradaban Barat tetapi kaki yang satu lagi masih tertanam pada bumi masyarakat tradisional.
Fenomena kota berkembang semacam ini harus diamati seiring dengan usaha-usaha menjelaskan berbagai kelompok masyarakat, seperti para pedagang, kalangan intelektual, dan lain-lain. Kota-kota tersebut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya membatasi perspektif terhadapnya. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa membatasi dua tipe masyarakatnya terlebih dahulu.
Kaidah Mayoritas
Melalui perspektif kaidah mayoritas --yang terdiri atas para petani, pegawai, pengusaha, fakir miskin, dan kelompok lemah-- akan kita temui bahwa mayoritas di antara mereka berasal dari masyarakat tradisional dan sebagian kecil dari mereka terbagi ke dalam kota-kota berkembang dan masyarakat baru. Sebagian pola kehidupan dan perekonomian kelompok kecil ini mendekati pola baru ala Barat, tetapi pola pikir dan pandangan umumnya masih tetap tradisional.
Tanpa memahami prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam dalam mayoritas masyarakat dari perspektif kebangsaan yang umum, akan terjadi penafsiran yang jauh. Misalnya, kesenjangan antara perspektif kebangsaan dengan para pelopornya yang berasal dari masyarakat modern yang bercorak pikir kebarat-baratan.
Tipologi Wanita
Wanita secara garis besar dapat dipolarisasikan atas dua. Pertama, wanita tradisional yang masih memegang nilai-nilai dan norma-norma serta terikat dengan pandangan umum masyarakatnya, baik dari aspek penampilan maupun tingkah laku. Kedua, wanita modern yang hidup dengan nilai-nilai dan norma-norma Barat. Perbedaan keduanya sangat mencolok.
Persoalan wanita merupakan topik menarik yang diperkenalkan oleh para pakar modern dalam rangka merusak masyarakat tradisional. Bahkan tema-tema kewanitaan telah diperkenalkan sebelum kedatangan para pakar tersebut, melalui diskusi-diskusi "peradaban" yang dilakukan dengan sangat frontal sehingga menimbulkan perdebatan. Masalah yang memicu konflik, misalnya jilbab dan cadar serta wanita karir.
Karena itu, tema-tema kewanitaan dipecahkan terlepas dari perspektif-komprehensif atas konflik ideologi pemikiran-kultural yang merupakan motif penolakan masyarakat tradisional terhadap modernisasi. Eksperimen sejarah telah menolak semua tema yang ditimbulkan dari usaha modernisasi wanita Arab untuk mempertahankan wanita tradisional. Muncul propaganda mengenakan cadar sebagai prolog mengakhiri pakaian minim. Selain itu, lahir pula sikap "keluar" dari masyarakat tradisional sebagai sikap ikut-ikutan dan teralienasi.
Bukti terakhir dapat dilihat pada wanita modern yang mulai menyesuaikan pakaian dan penampilannya dengan mode dari London dan Paris. Lihat apa yang mereka pakai pada setiap musim, bagaimana mereka menata rambut dan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya. Padahal mode pakaian dan rambut yang sekarang mereka gandrungi sebentar lagi akan mereka campakkan dan segera mencari mode terbaru tanpa mempertimbangkan aspek-aspek nilai, etika, kondisi, dan kesanggupan ekonorninya. Adakah praktik perbudakan yang lebih parah dari ini? Apakah masalah ini tidak disimpulkan secara jujur sebagai inti dari modernisasi Barat, bahkan dapat dipertanyakan kembali mana di antara kedua kelompok di atas yang lebih mencerminkan prototipe masyarakat maju, rasional, dan bebas?
Jika ukuran kemajuan dan keterbelakangan ditentukan oleh kebebasan dan sikap imitatif, maka masyarakat tradisional Arab dapat dikatakan lebih mendekati kemajuan dan rasionalitas, sedangkan masyarakat modern justeru menjadi contoh keterbelakangan, kemunduran, dan irasionalitas. Wanita tradisional dapat dipahami sebagai wanita yang maju dan bebas, sementara wanita modern justeru menunjukkan keterbelakangan dan irasionalitas. Demikianlah logika pembalikan dari apa yang dipahami oleh masyarakat modern tentang ukuran kemodernan, keterbelakangan, dan rasionalitas.
Tinjauan dua tipe masyarakat ini sesuai dengan realitas di negeri Arab. Tinjauan yang berdasarkan pemahaman bahwa hanya ada satu tipe masyarakat, tidak sesuai dengan kenyataan. Karena itu, studi-studi ilmiah yang tidak melihat adanya dua tipe masyarakat dalam kelompok sosial, kelas sosial, kaum intelektual, wanita, sistem ekonomi, etika, peradaban, dan kota ini, telah gagal dipandang dari perspektif ilmiah. Dengan kata lain, studi yang tidak mengakui masyarakat tradisional sebagai faktor peradaban yang steril dan tegak di atas jati dirinya adalah studi yang tidak ilmiah.
Penekanan parameter ideologi-kultural dalam memahami dua tipe masyarakat akan membentuk metode yang valid untuk menjelaskan realitas negara Arab dalam era transisi. Akan tetapi, fungsi parameter ini hanya sebagai landasan berpijak untuk menganalisis pranata masyarakat tradisional dan modern, kemudian berusaha membuat batasan-batasan terhadap berbagai aspek masyarakat yang terkait dengan kelompok, keluarga, etnis, iklim, dan nasionalisme yang terdapat di dalam masing-masing masyarakat.
Langkah ini diteruskan dengan membedakan perspektif pemikiran, teori, dan politik pada dua tipe masyarakat tersebut. Termasuk di dalamnya memberikan batasan pada hubungan antara dua tipe masyarakat tersebut serta hubungan keterlibatan masing-masing dalam suatu persoalan mendasar untuk menghadapi dominasi eksternal.
Dengan demikian, suatu pekerjaan yang bersifat metodologis mengenai perbedaan kedua tipe masyarakat telah dimulai dari luar (Barat). Itulah sebabnya, usaha ini perlu diletakkan pada jalan yang benar, yang mengantarkannya pada pemahaman terdalam. Hal ini membutuhkan pemahaman sejak dini bahwa realitas materi dan kehidupan dalam dua tipe masyarakat tersebut menyembunyikan konflik laten antara Islam dan westernisasi. Ini karena Islam berada pada lapisan paling dalam, sedangkan westernisasi menyusup dari luar untuk membelah masyarakat menjadi dua, yakni modern dan tradisional.
Eropa dan Studi-studi Sejarah
Perang Salib terjadi berkali-kali antara bangsa Eropa dengan Arab dan umat Islam. Meskipun perang ini telah membawa keberhasilan Eropa menguasai Dunia Islam selama dua abad (abad ke 12 dan 13 M), dan misi Barbar ini juga telah membantai ratusan ribu kaum muslimin, memporakporandakan negeri dan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi suatu yang tidak dapat dilakukannya adalah menghapuskan pola berpikir ideologi sosiokultural berlabel Islam.
Suatu hal yang menyebabkan dominasi Eropa tetap berada di luar masyarakat Islam meskipun kekuatan persenjataan mereka telah demikian jauh bergerak dalam masyarakat adalah perlawanan umat Islam yang terus menerus sehingga membuat lawan sekuat apapun dianggap tak berarti dan temporal. Perlawanan gigih tersebut dikobarkan karena Islam telah menghunjam di dalam hati dan kehidupan masyarakat.
Perlawanan itu semakin kuat ketika tentara Salib memperoleh kemenangan secara gemilang atas Arab, dilanjutkan oleh kemenangan Tartar dan Mongol. Begitu pula sewaktu Eropa pada abad ke-16 M dan seterusnya membentur pagar-pagar negara Islam selama lebih dari tiga abad, namun tak berhasil menghancurkannya. Hal inilah yang menghalangi Eropa untuk mendominasi dunia. Sebab, tanpa menghancurkan pagar-pagar tersebut, tak mungkin ia mengubah jalan sejarah, apalagi kemanusiaan berada pada masa perbudakan di tangan Eropa.
Kelemahan ini bukan karena faktor militer saja, tetapi terutama karena dilema menghadapi masyarakat Arab-Islam. Inilah yang dialami Napoleon ketika mengadakan ekspansi ke Mesir, ia kesulitan menembus ke bagian dalam wilayah umat Islam. Karena itu, ia memasang strategi berpura-pura masuk Islam sehingga ia memperoleh simpati masyarakat, yang memudahkannya menguasai wilayah tersebut.
Hal ini juga menjelaskan mengapa para imperialis selalu menitikberatkan perhatian pada penghancuran masyarakat tradisional secara berlebihan. Setelah pemusnahan tersebut, mereka menggantinya dengan masyarakat baru di wilayah mereka yang berlindung pada pilar-pilar Islam serta pola kemanusiaan, ekonomi, dan sosial Islam. Meskipun pola tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kemunduran, tradisi-tradisi, dan rasionalitas jahiliah, namun pada saat yang sama, ia tetap membawa prinsip-prinsip dasar Islam.
Dari Perlawanan Senjata ke Perlawanan yang Negatif (Pasif)
Ketika pasukan kolonial berhasil menginjakkan kaki di kawasan pantai negara-negara Islam, mereka segera menghadapi berbagai pemberontakan kebangsaan di bawah panji-panji Islam. Pemberontakan-pemberontakan tersebut melibatkan mereka kedalam pertarungan sengit yang tidak seimbang. Perlawanan tersebut menggelora di Sudan, Mesir, dan seluruh pantai Arab bagian Barat, semenanjung Arab, hak, serta semua negara Arab dan Islam.
Sejarah mencatat sikap heroik para pejuang Islam seperti Abdul Qadir al-Jazairi (Aljazair), Abdul Karim al-Khitabi (Maroko), Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (Libya), Muhammad Ahmad al-Mahdi (Sudan), para tokoh ulama Revolusi Dua Puluh, Ahmad Syahid (India), Sayid Hassan al-Madras (Iran), dan begitu banyak ulama --yang tak dapat ditulis nama mereka semua dalam kesempatan yang terbatas ini-- di Arab, Turki, Iran, Afganistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, Indonesia, dan berbagai wilayah Islam lainnya.2
Posisi Eropa belum juga mantap dengan berbagai peperangan kecuali setelah menenggelamkan masyarakat tradisional ke dalam lautan darah dan menderita karena pembantaian. Walau demikian, kekuatan militer tidak mampu memaksa masyarakat tradisional menyerah, bahkan membuat mereka semakin gigih menahan benturan dari luar dalam rangka memelihara jati diri, kemerdekaan, pola kehidupan, sosiokultural, dan produk-produknya.
Masyarakat tradisional tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma, dan konsep-konsep Islam yang dipahami secara dinamis untuk menolak tuntutan-tuntutan kebudayaan Eropa. Akan tetapi, karena terlalu kuatnya dominasi, reaksi itu menyulut peperangan yang menyeluruh di berbagai bidang. Peperangan yang dilancarkan Eropa kemudian berkembang dalam bentuk propaganda sains dan kemajuan (yang dipahami hanya secara materialistik dan sekularistik --peny.) serta pemikiran-pemikiran yang memuat tujuan imperialisme, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan di negeri-negeri Islam. Hal itu terjadi karena keterbelakangan kita dalam bidang pemikiran dan sosio-Islam.
Penyusupan dari Masyarakat Tradisional
Langkah perdana yang ditempuh Eropa untuk mendominasi masyarakat tradisional adalah dengan melakukan penyusupan yang dilakukan dalam berbagai bentuk. Strategi pertama diterapkan dengan menawarkan berbagai budaya tandingan dari Barat beserta langkah-langkah praktis untuk menerapkannya, sembari mengecilkan makna penting kebudayaan masyarakat tradisional.
Pada umumnya agen-agen modernisasi --sebagai salah satu respon terhadap imperialisme-- memainkan peranan yang sangat penting dalam menghadapi masyarakat tradisional. Peran ini khususnya tampak pada era kemerdekaan, yakni melalui serangan terhadap masyarakat tradisional dengan pemikiran dan kebudayaan. Agen-agen itu mengibarkan panji-panji nasionalisme dan revolusionisme dengan menghidupkan kembali semangat dan pengorbanan nenek moyang (nativisme) ketika berjuang melawan imperialisme.
Perlu diketahui bahwa beban penderitaan dalam perjuangan tersebut merupakan bagian masyarakat tradisional di kota-kota dan desa-desa.
Usaha menggali kembali sebagian kekuatan internal pembaruan ini mempunyai dimensi nasionalisme dan revolusionisme ala Barat. Terkadang upaya tersebut dipaksakan dengan kekuatan, bahkan tampak tak terlepas dari hubungannya dengan imperialisme Barat terhadap Islam dan umatnya. Dengan demikian, fenomena yang muncul adalah saling berhadapannya kelompok modernis dengan masyarakat tradisional. Realitas inilah yang membentuk dua corak respon terhadap kolonialisme, yaitu corak yang berpegang pada inti kemerdekaan yang diformulasikan oleh masyarakat tradisional dan corak yang mengikuti Barat yang dipelopori para modernis
Faktor-faktor Penghambat Proses Kemerdekaan
Pertama, kaum imperialis sejak semula telah membawa program memecah belah negara-negara Islam umumnya dan negara-negara Arab khususnya. Ini disebabkan kesatuan negara-negara ini menghasilkan kekuatan ideologis-kultural yang mantap. Upaya memecahbelahnya akan membuat negara-negara tersebut lemah sehingga mudah ditundukkan agar berkiblat pada jejak imperialis. Kaum imperialis menyadari bahwa memukul masyarakat tradisional di negara-negara Arab adalah tidak mungkin kecuali umat Islam khususnya dan bangsa-bangsa Arab khususnya berada dalam kondisi berpecah belah.
Kedua, para imperialis berusaha keras menghancurkan tanaman-tanaman tradisional, usaha-usaha yang telah ada, sistem pemilikan, pertukaran, produksi, dan pekerjaan umum yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Upaya ini merupakan salah satu strategi menghalangi kemerdekaan yang mengakibatkan negeri-negeri jajahan mengekor pada Barat.
Mereka menuntut agar pribumi berpakaian, makan-minum, membangun rumah, berproduksi, membina anak, dan lain-lainnya dengan cara Barat. Sehingga disulutlah peperangan secara umum di tengah-tengah masyarakat tradisional untuk melawan teknik-teknik pertanian, produksi, bangunan, pola berpakaian, makan, minum, pendidikan, rumah tangga, serta nilai-nilai moral dan sosial.
Kemudian mereka melancarkan perang psikologis untuk menghadapi kelompok pribumi yang menentang Eropa dalam berbagai aspek. Usaha ini dilakukan dengan mengubah konsep-konsep kebudayaan tradisional ke konsep Eropa. Misalnya konsep sains dan kemajuan yang diperkenalkan oleh kelompok modernis di negara-negara Islam. Perubahan ini akhirnya mengakibatkan tumbuhnya pemahaman dan sikap masyarakat yang baru tentang negerinya dan Barat, yaitu Barat identik dengan peradaban maju, kebebasan, dan kebesaran, sedangkan negara Islam sebaliknya.
Demikianlah proses terbentuknya masyarakat modern. Kemudian masyarakat baru ini berusaha memperkokoh eksistensinya di sisi masyarakat tradisional yang berupaya sekuatnya tetap mempertahankan jati diri.
Ketiga, kaum imperialis memfokuskan perhatiannya untuk menghancurkan peranan ilmu-ilmu keislaman dan lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang bercorak kebangsaan dan tradisi. Mereka mengubah pola kehidupan kultural yang dihayati masyarakat tradisional serta melecehkan dan menghinanya secara berlebihan. Kemudian mereka membangun sekolah-sekolah modern dan memberi semangat pada para siswa untuk memasuki universitas-universitas Eropa.
Setiap parameter mereka dijadikan sebagai ukuran yang berlaku pada masyarakat modern, serta para pegawai, pembuat hukum, kalangan profesi, intelektual, pendidik, sastrawan, dan budayawan dijadikan sebagai pelopornya. Padahal ukuran-ukuran baru yang ditawarkan tidak relevan dengan realitas masyarakat tradisional, dan hanya relevan dengan alumni sekolah-sekolah dan universitas-universitas mereka, serta orang-orang yang mengambil program dan metodologinya dalam bidang-bidang tersebut.
Demikianlah, tugas-tugas dan posisi-posisi di dalam negara, tentara, koperasi, bank, dan lembaga-lembaga kebudayaan merupakan bagian dari proyek alumni perguruan tinggi Barat atau hasil modernisasi ala Barat. Sedangkan lapisan terdidik dari kelompok masyarakat tradisional tidak memperoleh kesempatan dalam proyek ini.
Keempat, kaum imperialis sengaja menciptakan intrik terhadap kaum minoritas (non muslim) dan pertentangan mazhab di kalangan masyarakat tradisional, padahal kaum minoritas lebih dekat dengan masyarakat tradisional. Untuk memudahkan proses pembentukan masyarakat modern, usaha tersebut harus mereka lakukan. Sebagai contoh, orang-orang Kristen Arab sebenarnya memiliki akar-akar kesejarahan dan pembentukan jati diri kultural-ideologis (sejarah, tradisi, moral, dan jalan hidup) yang lebih dekat dengan masyarakat tradisional.
Eropa merasa kesulitan ketika ingin memisahkan dua unsur tersebut karena ia harus berhadapan dengan jaringan yang kokoh di dalam negara Arab, akan tetapi, hal itu tidak menghambat keberhasilan Eropa pada kurun waktu belakangan ini, khususnya ketika sebagian pribumi (non muslim) mulai mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah misionaris yang menyebarkan pengaruh modernisasi. Akibatnya, kelompok minoritas ini semakin jauh dari masyarakat tradisional dan semakin dekat dengan masyarakat modern.
Pembahasan ini telah meliputi lingkup dua tipe masyarakat yang berada di Arab.
Lenyapnya Keseimbangan
Dampak peperangan ini memasuki berbagai macam nilai, ukuran, dan moral yang dibangun masyarakat tradisional. Mereka didesak untuk meninggalkan tradisi lama dan melepaskan diri dari nilai-nilai dan parameter-parameternya. Hal ini terjadi ketika nilai-nilai dan ukuran-ukuran baru menggeser nilai-nilai dan ukuran-ukuran lama yang mengakibatkan pertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang selama ini dipegang masyarakat tradisional. Masyarakat menjejakkan kakinya di atas bumi secara tidak mantap, karena kemajuan yang dicapai pada dasarnya bermakna semu dan masyarakat cenderung bersikap dualistik.
Meski demikian, tujuan para imperialis hanya dapat direalisasikan pada sebagian masyarakat saja, bukan keseluruhannya. Masyarakat tradisional masih tetap bertahan, meskipun telah mengalami banyak kerugian dan desakan di sana-sini. Sedangkan dari masyarakat modern, yang semula diharapkan Eropa untuk memantapkan misi pembaruannya, ternyata sebagian justru mengadakan perlawanan terhadap imperialisme dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan negerinya. Kelompok ini banyak bermunculan pada 1930-an, 1940-an, dan 1950-an. Kelompok ini merintis perlawanan lokal terhadap dominasi langsung kekuatan asing dan mendirikan pemerintahan regional yang mandiri.
Masyarakat Modern yang Konsumtif
Realita sosial menunjukkan bahwa racun yang disebarkan kaum imperialis untuk mengubah perjalanan masyarakat menuju modernitas, ternyata membentuk prinsip-prinsip dasar untuk menyempurnakan strategi pembebasan diri dari dominasi asing. Kekuatan nasional yang bergerak menuju terciptanya masyarakat modern tidak memahami dimensi kultural dalam konflik yang terjadi. Mereka dengan bersemangat menghancurkan semua aspek yang telah mapan dalam masyarakat tradisional, yaitu: pertanian, industri, pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan perilaku. Hal ini dilakukan tanpa memperlemah akidah Islam sedikit pun. Artinya, usaha mereka dilakukan tanpa memahami inti penyebab perang secara komprehensif yang menjadi obsesi kaum imperialis dalam memusnahkan masyarakat tradisional dan membangun masyarakat modern ala Barat.
Mereka juga tidak menyadari bahwa imperialisme tidak hanya melakukan dominasi politik langsung dan merampas ekonomi saja, melainkan berdimensi kultural untuk menghancurkan prinsip-prinsip kepribadian. Ketidaksadaran ini akan mengurangi perjuangan melawan imperialisme. Begitu pula perjuangan ekonomi akan melemah jika prinsip-prinsip dasar itu mengendur.
Pada 1960-an dan 1970-an, kondisi masyarakat semakin buruk akibat intervensi asing. Dunia terperosok dalam perangkap rasionalisme destruktif atau tepatnya dalam pola kehidupan gaya Amerika yang merusak. Sesungguhnya rasionalisme masyarakat modern membawa konsesi-konsesi (kerelaan-kerelaan) yang jauh, yaitu menjadikan masyarakat modern semakin berkembang sesudah kemerdekaan, peran wanita lebih dominan dari masa-masa sebelumnya dan memperkokoh dirinya secara tidak proporsional, dan pemasokan peralatan industri besar yang tidak disertai kualitas sumber daya manusia (SDM) sehingga mengakibatkan membengkaknya hutang negara serta menguatnya kelemahan dan ketergantungan dengan dunia maju. Strategi alih teknologi dari Amerika terus dimaksimalkan, yang berakibat menguatnya dominasi asing di kawasan ini, khususnya dalam aspek kebudayaan dan peradaban.
Kesinambungan kehidupan berdasarkan pola modern atau usaha melestarikannya hingga pasca kemerdekaan dan keberhasilan revolusi nasional, mendorong suatu negara untuk mengarah ke sistem asing, meskipun warganya memiliki cita-cita luhur dan perasaan nasionalisme. Selama kita masih membebek pada Barat dalam segala hal, kita tidak dapat terlepas dari kungkungannya. Apakah kita hendak membiarkan mayoritas rakyat pada sikap pembebekan tersebut? Kita ambil contoh sederhana. Sesungguhnya mengenakan busana Eropa sebagai ganti busana tradisional tidak sekadar mengubah bentuk pakaian saja, melainkan diikuti pula oleh perubahan pada sektor lain seperti pertanian, industri, profesi, dan lain-lain yang terkait. Lebih dari itu, perubahan busana akan melahirkan perubahan sikap dan tingkah laku karena si pemakai harus menyesuaikan diri dengan busana yang dikenakannya. Padahal jika kita tetap mempertahankan busana yang sesuai dengan jati diri bangsa dan mengembangkannya berdasarkan prinsip-prinsipnya, tentu pertanian, pasar, dan profesi kita akan semakin berkembang pula. Terobosan ini akan mengurangi tumpukan hutang kita, sehingga kita dapat memecahkan persoalanpersoalan lain.
Jadi, masalah yang kita hadapi adalah intervensi asing di bidang kebudayaan, spiritual, moral, kemerdekaan dan keaslian tradisi, serta ekonomi dan pertumbuhan. Pendek kata, semua aspek peradaban.
Dominasi ekonomi-militer tidak akan berhasil sebelum prinsip-prinsip masyarakat tradisional dihancurkan dan diganti dengan prinsip-prinsip baru yang tergantung pada Barat. Bila proses modernisasi terus ditekankan, maka pembebekan terhadap Barat akan tetap terjadi, sebab ia merupakan mata rantai modernisasi.
Akibat Pemisahan Diri dari Masyarakat Tradisional
Masyarakat modern membentuk patokan-patokan yang menjadi dasar logika sikap kebarat-baratan atau pemisahan diri dari peradaban Arab-Islam, tradisi, dan sejarahnya. Masyarakat yang mengekor pada Barat ini telah diabaikan sebagian bangsanya sehingga mengalami kemunduran, namun menurut persepsinya, mereka sedang mengalami kemajuan. Mereka mengekor, namun merasa telah mandiri. Mereka mengeksploitasi mayoritas masyarakat, namun merasa telah berbakti demi kebaikan masyarakat! Anggapan ini disebabkan oleh pemikiran, metodologi, dan langkah strategi yang diterapkan terlepas dari akar-akar kebangsaan dan kaidah-kaidahnya yang kokoh dan absah secara historis. Pemisahan diri dari masyarakat tradisional berarti melepaskan kita dari patokan revolusi. Padahal masyarakat luas mampu menghadapi kekuatan asing, berjuang untuk meraih kemerdekaan, dan membangun patokan yang tak tergoyahkan oleh pola hidup destruktif.
Pertentangan yang Kompleks
Kita melihat sebab-sebab yang membuat pertarungan peradaban sejak semula telah memicu konflik antara kaum imperialis dan masyarakat tradisional. Kedua kubu ini amat memahami seluk-beluk perang sehingga masing-masing bertempur dalam berbagai aspek, selain politik dan militer. Maka pecahlah perang pemikiran dan moral. Bertemulah kedua paradigma pemikiran ini yang menimbulkan pertentangan yang kompleks. Kelompok modern meletakkan persoalan yang muncul dalam konteks perang melawan keterbelakangan dan kemunduran, bukan pertentangan antara kemerdekaan dan ketergantungan (terhadap bangsa asing dan cara hidupnya). Sedangkan kelompok masyarakat tradisional mengagendakan permasalahan dalam konteks perang melawan kerusakan moral. Mereka menyadari bahwa memerangi kerusakan moral dengan menghancurkan sebab-sebab utamanya juga bermakna perang demi kemerdekaan. Ini karena kerusakan moral dapat melenyapkan prinsip-prinsip masyarakat yang fundamental, yaitu: ideologi, pemikiran, kebudayaan, moralitas, pola hidup, produksi, dan eksistensinya.
Kalangan intelektual nasionalis (kelompok modernis) turut bergabung melawan keterbelakangan dan kemunduran dengan mengupayakan cara-cara membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan dan kemunduran dalam rangka mencapai kemerdekaan nasional. Akan tetapi, kelompok modernis mengadopsi metodologi Barat dalam mencapai kemajuan, sedangkan masyarakat tradisional cukup puas dengan penolakan terhadap hal-hal yang merusak moral dan menghindari keterlibatan dalam politik untuk sementara. Pada periode lain, kelompok tradisional benar-benar menjauhkan diri dari kancah kemerdekaan dan penolakan terhadap sikap meniru Barat. Hal ini mengakibatkan tertutupnya muatan yang lebih luas bagi perang, sebab perang diidentikkan dengan pertempuran fisik. Masyarakat tradisional sangat banyak jumlahnya dan jika mereka berperang, maka tak ada pilihan lain kecuali hidup atau mati. Sejarah yang menyaksikan membanjirnya darah masyarakat dalam perjuangan tanpa memperoleh kemenangan, berulang-ulang mengingatkan kita agar lebih sabar menghadapi masalah dan bekerja secara diam-diam. Akan tetapi, konflik terselubung memang secara potensial berkembang menjadi konflik terbuka dari situasi ke situasi. Masyarakat tradisional telah mengorbankan nyawa untuk memelihara kemurnian dan kemerdekaan melawan berbagai tekanan hebat dari berbagai penjuru.
Catatan Seputar Tipologi Masyarakat
Berdasarkan klasifikasi masyarakat menjadi dua tipe tersebut, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan di bawah ini.
Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional, yang menjadi mayoritas penduduk, sangat teguh memelihara upaya perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan kultural Barat. Sebagai bukti pemeliharaan terhadap prinsip-prinsip dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada pola kehidupan Islami dan tidak meniru Barat.
Sikap ini merupakan landasan yang kokoh bagi perjuangan nasional dan merupakan faktor yang membuat kelompok ini lebih banyak berperan pada fase pembangunan kemerdekaan, persatuan, revolusi, dan pertumbuhan. Meski demikian, perlu diperhatikan beberapa kekurangan masyarakat tradisional yang akan ditengarai di bawah ini.
Pertama, konflik melawan kekuatan yang muncul dari dalam masyarakat tradisional jauh lebih sulit daripada konflik melawan agen-agen masyarakat modern. Acapkali terjadi, suatu pribadi atau kelompok (misalnya sebagian tokoh Asy'ari) cukup berakar di masyarakat dan mampu memicu konflik di dalam tubuh masyarakat tradisional. Suatu waktu mereka dapat menonjolkan semangat etnis dan kelompoknya.
Menurut sebagian peneliti kontemporer, para tokoh sekularis Barat mengutamakan penyelesaian masalah kelemahan masyarakat, ekonomi, dan bangsa atas dasar kelompok, etnis, dan keturunan. Akan tetapi, kelompok dalam masyarakat tradisional ini juga berpandangan bahwa penonjolan Islam akan menyelamatkan rasa fanatisme yang telah pudar ketika berdampingan dengan sekularisme.
Kedua, para pejuang menceritakan peristiwa-peristiwa sedih secara berlebihan, hal-hal yang mengganggu pikiran, dan intimidasi yang sangat keras kepada generasi muda. Faktor ini mewariskan kepada mereka kecenderungan untuk selalu khawatir, menimbulkan sikap negatif, dan menenggelamkannya dalam kejumudan. Selama belum diubah, sikap semacam ini akan menghambat potensi aktif mereka untuk memainkan peran kreatif dan positif dalam menyelesaikan problema sosial.
Kini bukan saatnya lagi kita merasa cukup kembali kepada jati diri, karena kunci kemenangan terletak pada kemampuan menyuguhkan solusi islami yang antisipatif terhadap problematika kontemporer. Apalagi solusi tersebut diberikan pada saat situasi dunia berada dalam krisis panjang dan suasana kehidupan yang mencekam.
Ketiga, masyarakat tradisional menghadapi persoalan dominasi asing atau dominasi masyarakat modern sebagai kendala yang berkesinambungan, khususnya penetrasi nilai-nilai dan modernisasi Barat. Dalam kenyataan, mayoritas masyarakat tidak mampu membendung pengaruh-pengaruhnya, bahkan cenderung menerima nilai-nilai tersebut sebanyak-banyaknya. Memang perlawanan secara perorangan mampu menolak unsur-unsur esensial dari modernisasi Barat, namun lambat laun pertahanan itu akan rapuh.
Fenomena paling berbahaya yang menyerang masyarakat Arab dewasa ini adalah gelombang pasang kekayaan minyak yang berdampak pada tumbuhnya gaya hidup hedonis dan konsumtif. Sangat disayangkan, fenomena tersebut tidak hanya ditemui pada masyarakat Arab modern, tetapi juga masyarakat tradisional. Acara TV yang bersifat destruktif, film video yang mengumbar kekerasan dan seks, dan mode pakaian yang tidak islami dapat ditemui di desa-desa. Perluasan pendidikan sekular melalui metode-metode modern merembesi rumah-rumah.
Fenomena paradoksal tersebut timbul karena tuntutan kehidupan modern ala Barat yang diperkenalkan oleh media massa serta pilihan kebijakan politik pemerintah. Di sisi lain, umat Islam tidak mampu mengedepankan alternatif islami untuk mengantisipasi dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi secara tepat, sehingga paradoks-paradoks tersebut menebarkan bahaya destruktif di negeri Arab.
Menangani konflik melawan penetrasi ini jauh lebih sulit daripada sekadar perang di atas altar kebudayaan, pemikiran, moral, dan tradisi. Masyarakat konsumtif yang sedang kita hadapi merupakan faktor penghambat proses liberalisasi, mengejar ketertinggalan, dan menanamkan prinsip-prinsip kebangkitan Islam yang jauh dari sikap pembebekan terhadap Barat.
Keempat, masyarakat tradisional hidup dalam pertahanan panjang, mereka memagari dan membentengi diri secara kokoh dari berbagai pengaruh negatif. Dalam kondisi demikian, tidak ada yang mampu menembus pertahanan tersebut. Mereka berlebihan dalam mempertahankan dan membentengi diri sehingga berbagai upaya pembaruan dan perubahan masyarakat tradisional membutuhkan perjuangan yang besar dan mungkin dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat tradisional dalam masa transisi menuju masyarakat modern.
Hal ini mengakibatkan terciptanya dinding pembatas yang tinggi di pihak masyarakat tradisional. Dinding pembatas itu secara temporal dianggap penting ketika terjadi keterbukaan antarbudaya yang menyebabkan masyarakat tradisional terseret dalam gaya hidup konsumtif dan pembebekan terhadap Barat yang mengakibatkan jati diri bangsa terancam. Akan tetapi, pada masa ketika masyarakat dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, sikap tersebut menjadi negatif, karena dalam situasi pembangunan, yang dibutuhkan bukan hanya sikap defensif. Sejauh penjagaan dimaknai sebagai upaya melindungi jati diri bangsa dan menangkal dominasi asing, maka hal itu wajar.
Keberhasilan pembangunan akan dicapai bila dibarengi dengan upaya mempertahankan identitas keislaman. Karena itu, salah satu metode yang harus ditempuh untuk meraih kesuksesan Islam di Arab adalah dengan menarik unsur-unsur masyarakat modern semaksimal mungkin, membinanya dengan dakwah, dan tidak membiarkannya terpengaruh cara hidup sekular.
Masyarakat tradisional telah merespon tantangan yang dihadapi dalam bentuk perlawanan dan pertahanan, tetapi mereka belum beranjak pada langkah-langkah yang harus ditempuh setelah meraih kemenangan. Tidak ada alasan untuk mengatakan tidak mampu. Sebaliknya, kesuksesan pertama menunjukkan kemungkinan kesuksesan berikutnya. Usaha yang perlu dilakukan adalah menyodorkan solusi terhadap problematika manusia dewasa ini dan merekonstruksi masyarakat secara positif. Kegagalan pada masa lalu yang mengakibatkan umat Islam semakin membebek terhadap Barat menunjukkan kelemahan kita dalam memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.
Masyarakat Modern
Pertama, bentuk kebudayaan dan peradaban masyarakat modern mengikuti pola kehidupan, cara, ukuran, dan konsep Barat, termasuk teori, partai, perspektif pemikiran ideologis, dan politiknya. Masyarakat modern merupakan cetak biru masyarakat Barat, sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka meninggalkan model masyarakat tradisional, bahkan berlawanan.
Meskipun struktur dan elemen-elemen masyarakat modern lemah dan rapuh dibandingkan dengan masyarakat tradisional, namun mereka mendominasi sektor-sektor terpenting dan strategis. Mereka berkepentingan mewujudkan persatuan dua bentuk masyarakat yang ada dengan mengkondisikan masyarakat tradisional untuk menerima modernisasi. Maka terjadilah kontradiksi-kontradiksi antar keduanya secara mendalam dan esensial.
Masyarakat modern cenderung agresif dan otoriter dalam menghadapi masyarakat tradisional. Mereka menggunakan pendekatan apa saja yang memungkinkan untuk menyodorkan modernisasi kepada masyarakat tradisional. Masyarakat modern lebih mengutamakan alternatif-alternatif Barat daripada kembali ke pandangan hidup masyarakat tradisional. Akan tetapi, sikap tersebut tidak dapat mencegah hal sebaliknva dari masyarakat tradisional dalam keimanan, perasaan nasionalisme, kemerdekaan, dan kehormatan.
Kedua, masyarakat modern mencoba menghapuskan pemikiran masyarakat tradisional dengan jalan membodohi, menyepelekan, atau menganggapnya sebagai pemikiran yang terbelakang dan suram. Mereka mencoba melupakan keberadaan pemikiran pembanding (Islam).
Ketiga, masyarakat modern berusaha melepaskan diri dari negerinya karena model ideal mereka berasal dari luar (Barat), sedangkan masyarakat tradisional yang merupakan mayoritas masih tetap berpegang pada nilai-nilai dan kepribadian nasional. Sehingga perubahan revolusioner sulit diwujudkan, sebab perubahan dapat terjadi bila melibatkan mayoritas masyarakat.
Perubahan kepercayaan, pemikiran, kebudayaan, dan peradaban merupakan prasyarat bagi perubahan ekonomi, politik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, ketika masyarakat modern tak dapat mengakomodasikan apa yang tersedia di lingkungannya, mereka memilih alternatif atau model dari negara imperialis yang menjadi pusat-pusat kekuatan dunia. Secara politis, mereka berlindung pada negara-negara tersebut. Terbukalah kemungkinan konfrontasi antara kekuatan eksternal dengan kekuatan internal (kekuatan Islam) bila Islam hendak ditampilkan sebagai kekuatan nyata.
Keempat, para imperialis membangun sekolah-sekolah dan universitas-universitas untuk menghasilkan lapisan intelektual yang dapat berkolaborasi dan memberikan kontribusi langsung maupun tak langsung dalam bidang akidah dan pemikiran kebudayaan.
Antek-antek imperialis melakukan kezaliman terhadap bangsa dan merendahkannya. Umat merasakan perlakuan itu dan bangkit melawan golongan imperialis.
Sebagian intelektual sekular mencoba memerangi imperialisme secara politik dan ekonomi. Akan tetapi, kacamata politik dan ekonomi yang digunakan berakar pada peradaban Eropa yang membuat mereka semakin jauh dari masyarakat tradisional dan dekat dengan pihak yang sepaham di luar negeri. Kondisi ini menyebabkan mereka membawa benih-benih pertentangan asasi dengan bangsa sendiri dan pengekoran terhadap pihak asing. Kalangan intelektual ini tetap menghadapi kendala liberalisasi dan pentingnya menanggalkan sikap kebarat-baratan yang tidak akan berhasil kecuali melalui perubahan mendasar ke dalam dan memutuskan hubungan dengan pihak luar (Barat).
Kelima, masyarakat modern tidak mempunyai program revolusi, melainkan mempunyai program dominasi kekuasaan. Ini karena masyarakat modern tidak mengambil model perubahan dari bangsanya, tetapi dari Barat. Padahal suatu revolusi tidak akan berhasil kecuali bila berasal dari dalam (bangsa). Dengan kata lain, tidak ada revolusi dalam rangka perubahan positif dan mendasar yang dapat mempersatukan dan membebaskan umat, melenyapkan kezaliman, serta memotivasi orang-orang untuk bekerja, mengajar, dan berkreasi, melainkan yang bersumber pada ajaran Islam.
Revolusi tidak akan terjadi bila didasari pemikiran kebarat-baratan atau di bawah komando para tokoh modernis sekular. Karenanya, para cendekiawan arsitek revolusi yang ingin menyatukan masyarakat, membebaskan negeri, menegakkan demokrasi sebagai ganti kediktatoran, keadilan sebagai ganti kezaliman, dan intelektualitas sebagai ganti sikap peniruan, maka akan sia-sia selama mereka tidak mengubah diri dan kembali ke pangkuan akidah, pemikiran, dan peradaban Islam.
Kesinambungan hidup di atas pola modern yang meniru buta dari model Barat atau usaha mempertahankan kelestariannya setelah era kemerdekaan adalah sebuah tindakan subjektif, meskipun dilandasi niat baik dan perasaan nasionalisme.
Disintegrasi, Integrasi, dan Tipologi Masyarakat
Kita perlu mengingat kembali bahwa salah satu faktor definitif yang membuat masyarakat umum merasa lemah dan menyebabkan masyarakat tradisional berlama-lama menghadapi situasi negatif adalah disintegrasi. Faktor ini mengakibatkan negara-negara Islam, termasuk di Arab, menjadi negara-negara kecil dan lemah.
Disintegrasi merupakan faktor terpenting yang dilancarkan imperialisme untuk mendominasi pemerintahan suatu negara sehingga pembangunan masyarakatnya diorientasikan pada corak Barat. Masyarakat Barat dibangun di atas dasar disintegrasi dan diskriminasi yang menjadi tumpuan rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pola kehidupan Barat. Hal-hal tersebut tidak berarti di hadapan Islam dan masyarakat tradisional yang masih orisinil sebagai rival negara disintegrasi dan aspek-aspek yang bertumpu pada disintegrasi dan diskriminasi (rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pemolaan kehidupan Barat).
Perang ideologi-kultural semakin membara setelah berdirinya masyarakat modern. Maka masyarakat tradisional menegaskan peperangan yang menyeluruh melawan kekuatan imperialisme asing, sebagaimana mereka menegaskan penentangan terhadap kelompok-kelompok lokal yang menjadi eksponen pembaruan versi Barat.
Secara historis, masyarakat modern lahir dalam lingkup disintegrasi, sehingga negerinya pun berwatak disintegratif. Padahal lembaga-lembaga ekonomi dan kebudayaannya merupakan institusi lokal. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat modern merupakan produk undang-undang disintegrasi yang berdampingan dengan agama dan melahirkan disintegrasi dalam berbagai hal.
Sebagai perbandingan, perlu diketahui bahwa masyarakat tradisional lahir, tumbuh, dan mengalami dinamika dalam ayoman integrasi Islam yang lebih luas selama kurang lebih tiga belas abad, kemudian mengalami kemunduran dan dikalahkan oleh masyarakat modern dengan imperialisme dan batasan-batasan disintegrasinya. ltulah sebabnya, masyarakat tradisional merasa tertekan hidup di bawah sistem disintegrasi. Secara historis dan teologis, Islam memang paling tepat bagi mereka.
Bila kita memahami hal tersebut dari sisi hubungan masyarakat modern dengan disintegrasi dan masyarakat tradisional dengan integrasi, maka terlihat bahwa keduanya mempunyai peluang untuk menciptakan hasil-hasil yang luar biasa bagi kekuatan Arab menuju integrasi yang sebenarnya. Hasil terpenting tersebut adalah bahwa kekuatan itu muncul dari komitmen terhadap Islam, akidah, metode, dan sistemnya, serta pemahaman terhadap masyarakat tradisional dalam perspektif yang benar terhadap integrasi. Demikian pula ketulusan bekerja dalam rangka mencapai integrasi Arab mengharuskan kita melepaskan diri dari proses pembaruan yang disintegratif dan berbagai mazhab pemikiran Barat-sekular. Bila kesimpulan ini benar, maka dapat digunakan untuk melihat sebab-sebab yang menjadikan program-program integrasi Arab mengalami kegagalan setiap dicoba di negara dan masyarakat modern.
Integrasi Masyarakat
Sejak semula para imperalis ingin merongrong integrasi masyarakat Arab, memotong jalinan kesejarahan, dan mengubahnya menjadi masyarakat pengekor kebudayaan Barat. Dalam batas-batas tertentu, usaha tersebut telah menampakkan hasilnya. Realitas kontemporer menunjukkan adanya dua kelompok masyarakat yang saling bertentangan di wilayah Arab. Kini, kedua kelompok tersebut terlibat konflik berkepanjangan sehingga lenyaplah kekuatan mereka. Padahal di masa lalu, keduanya bersatu padu. Kondisi tersebut melemahkan posisi Arab di hadapan kekuatan musuh asing yang bersatu.
Integrasi keduanya tidak akan berhasil dengan cara berandai-andai atau membiarkan penyebab utamanya terus berkembang. Masalah ini dapat dicarikan penyelesaiannya melalui pemahaman mendalam dan tepat mengenai realitas masing-masing kelompok masyarakat. Kita tidak mungkin merealisasikan integrasi, mewujudkan revolusi kemajuan, dan pemecahan masalah-masalah besar selama tidak melepaskan diri dari ketergantungan pada Barat dan menolak kesenjangan secara tegas.
Syarat keluar dari kejumudan dan ketertinggalan itu adalah berpijak pada masyarakat tradisional yang bernaung di bawah panji Islam. Kembali kepada Islam merupakan syarat kemajuan yang sebenarnya dan orisinal, serta bagi kebangkitan berbagai lapisan dan kelas masyarakat. Wallahu a'lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Terminologi "modern" atau "modernisme" yang terdapat pada pembahasan ini bermakna kemajuan atau paham kemodernan yang berwatak sekularis-materialis sebagaimana lazimnya paradigma modernisme Barat. Penjelasan ini perlu diberikan untuk menghindari kesalahpahaman yang memandang Islam sebagai agama antikemajuan (antimodern). Pada masa keemasan Islam, peradaban Islam adalah peradaban yang sangat modern, ketika Eropa masih begitu primitif. Bahkan renaisans Eropa berhutang budi pada proses berpikir dan hasil-hasil modemisasi ala Islam. (Penyunting).
2 Abdul Qadir al-Jazairi, Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (tokoh tarekat Sanusiyah), Muhammad Ahmad al-Mahdi, dan Ahmad Syahid (tokoh tarekat Chistiyah dan Naqsyabandiyah) adalah tokoh-tokoh sufi. Di Indonesia, untuk menyebut sedikit contoh, kita mengenal Syekh Yusuf al-Makassari --beliau menguasai lebih dari satu tarekat-- dan Pangeran Diponegoro sebagai sufi-sufi pejuang yang gigih bertempur menentang kolonialisme. Fakta sejarah ini merupakan antitesis terhadap anggapan bahwa tasawuf telah memundurkan umat karena ajarannya yang fatalistik. Bahkan tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna, sejak usia 16 tahun telah berbai'at menjadi anggota tarekat Hasafiyah (Lihat: Ensiklopedia Islam Indonesia, Djambatan, 1992, hlm. 303). (Penyunting)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar