Ah, indahnya langit biru, tanpa mega satupun, tanpa kelabu, tanpa mendung, tanpa keluh kesah orang resah, tanpa deru perang, tanpa kemunafikan, tanpa asap bom, tanpa kebakaran hutan, tanpa kebodohan, tanpa, tanpa dan tanpa semua kemuakan. Masihkah ada biru langit dan perawan hijau yang dilalui sungai-sungai jernih bagaikan mata bayi yang polos. Bicara bayi bicara tentang kesucian, ah …malu aku jika bicara tentang kesucian. Dan aku memang nggak tahu menahu tentang kesucian.
“Sebenarnya suci itu apa sih? Kau tahu tidak suci itu apa, setahuku sih suci itu teman sekolahku dulu, kalau suci yang lain lagi sih aku tahu.”
“Eh kamu, dari tadi kutanya suci itu apa? Jawab, dong!”
“Ah keparat kamu, aku serius nanya nih!”
“Lho kok malah kabur!”
Begitulah setiap orang jika menyikapi aku, selalu saja diam, paling banter cuma senyum-senyum lalu kabur begitu saja. Ah, kembali lagi berkhayal. O ya tadi aku sedang berkhayal tentang indahnya langit biru, ya langit biru, indah memang. Sejenak aku keluar dari ruangan kamar yang berukuran 3x3 ini, dimana sudah tiga tahun ini aku bersarang. Dan tiap hari yang kulihat hanya warna putih, putih dan putih. Kadang juga diselipi hitam sedikit, lalu biru ya biru yang selalu kurindu, tak pernah hadir dalam ruangan ini namun hadir dalam ruang benak dan langsung meluncur dalam ruang hati.
Lalu aku pandangi langit biru, oh damai, nikmat menyentuh kalbu. Biru selalu kurindu, biru telah membawaku terbang melintasi samudera biru tanpa batas, dan kulihat beberapa ikan sedang berenang kesana kemari, ikan paus berenang bersama anak ikan hiu, lalu ikan lumba-lumba berpacaran dengan ikan pari, dan ikan teri bercinta dengan anak ikan paus. Semua begitu indah, damai.
Kemudian kulihat sebuah pulau yang semuanya tampak biru dan sepertinya pulau itu bernama pulau biru, pulau yang indah bagai surga manusia bijaksana, hidup penuh dengan kesenangan tak ada salah paham, benar-benar indah memang pulau ini. Di kotanya semua penduduk saling kenal dan bertegur sapa tanpa basa-basi, tak ada polisi yang sok berwibawa, karena penjahat pun tak ada. Pengadilan tak pernah dibuka, karena kriminalitas nggak pernah terjadi di pulau ini, dan kata kriminalitas pun telah hilang dari kamus umum bahasa pulau ini. Yang dibicarakan hanyalah cinta dan cinta, sehingga tak ada keinginan untuk saling menghancurkan.
Pulau ini pulau yang kecil, penghuninya saja tak pernah bertambah dan berkurang, jika ada satu orang lahir maka ada satu orang yang meninggal. Tapi semua itu sudah menjadi hal yang biasa, tak pernah mereka berkeluh kesah. Pemimpin mereka tak pernah congkak. Ada masalah apa saja, pasti dia tahu dan dia pasti bisa menyelesaikan masalah. Semua orang tampak selalu tenang dan damai, mau orang hitam mau orang putih, mau beragama mau atheis mereka tetap damai.
Di ujung pulau ini ada sebuah pelabuhan kecil, dan ada ucapan ‘Selamat Datang di Pulau Biru. Jika Anda Tak Suka Kedamaian Bukan Tempatnya Anda di Sini’, sekilas ucapan itu bagaikan peringatan yang biasa saja, tanpa ada sangsi ataupun larangan. Namun setelah kulihat beberapa orang asing yang bahkan berlabuh pun tak bisa, aku semakin yakin bahwa tempat ini benar-benar tertutup bagi orang luar yang ingin merusak.
Selanjutnya aku kembali menatap langit biru, dan kali ini aku terbang menuju angkasa raya, indah tanpa batas. Segala kepenatan hilang sudah terbalut nuansa biru yang semakin syahdu, bidadari-bidadari terbang kesana kemari, tanpa peduli dengan sekawanan burung yang sedang bermigrasi entah kemana, semuanya tersenyum dan mengajakku bermain bersama. Iringan lagu lembut menggelitik kuping dan meggetarkan jiwaku untuk mengikuti irama yang tercipta, yang tak pernah kudengar sebelumnya. Di atas sini terdapat sebuah pulau terapung yang dialiri sungai-sungai jernih, hutan-hutannya masih tetap hijau, burung-burung masih berkicau malahan ikut bernyanyi bersama.
Aku benar-benar menikmati semua keindahan ini, semua kedamaian ini. Namun tiba-tiba aku merasa tubuhku diguncang-guncang, dan terdengar suara gaduh menusuk kupingku, semuanya berteriak, “Bangun kau orang gila! Di sini tak ada langit biru, jangan bermimpi di sini!”
Dan kurasakan cairan putih hangat yang kental tepat mendarat di mukaku, ya mereka meludahiku. Lalu membawaku masuk ke ruangan putih lagi, semuanya kembali putih, aku benci putih, aku ingin biru, aku berontak, marah.
“Hei, kalian manusia putih! Kembalikan biruku?” teriakku.
“Ha! Biru jangan bermimpi kamu, di sini tak ada lagi biru, di sini semuanya putih!”
“Kalian bilang putih? Percuma saja kalian bohong, yang kulihat kalian itu hitam!”
“Kurang ajar kamu! Orang gila seperti kamu, nggak berhak menilai kami!”
“Persetan dengan kalian biarkan aku mencari biru yang masih tersisa di sini.”
“Percuma saja kamu mencari biru tak ada lagi biru, sudah berapa kali saja aku bilang, di sini tak ada lagi biru.”
“Ada! Di sini masih ada biru!” aku bersikeras.
Tapi tiba-tiba mereka menonjokku, mengikatku dengan tali putih dan menyuntikku sambil terus mengumpat-umpat, “Dasar orang gila! Kerjanya cuma bermimpi saja.”
Pagi ini aku terbangun di ruangan putih ini, dan terus menerus meratapi diri. Kenapa di sini, di tempat orang yang mengaku putih ini, berkhayal saja di larang, kenapa? Kenapa sekedar mencari biru saja aku tak diijinkan, tapi aku yakin di ujung dunia ini biru itu masih ada. Ya, biru masih tetap ada di bumi ini. Semoga!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar