Manusia Bertanya : Kenapa aku diuji ?
Qur'an Menjawab : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabuut : 2). Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-Ankabuut : 3)
Manusia Bertanya : Kenapa aku tidak diuji saja dengan hal-hal yang baik ?
Qur'an Menjawab : ………. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah : 216)
Manusia Bertanya : Kenapa aku diberi ujian seberat ini?
Qur'an Menjawab : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya………. (Al-Baqarah : 286)
Manusia Bertanya : Bolehkah aku frustrasi ?
Qur'an Menjawab : Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Ali Imraan : 139)
Manusia Bertanya : Bolehkah aku berputus asa ?
Qur'an Menjawab : ………..dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (Yusuf : 87)
Manusia Bertanya : Bagaimana cara menghadapi ujian hidup ini?
Qur'an Menjawab : Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. (Ali Imraan : 200) Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (Al-Baqarah : 45)
Manusia Bertanya : Bagaimana menguatkan hatiku?
Qur'an Menjawab : ….Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal……. (At-Taubah : 129)
Manusia Bertanya : Apa yang kudapat dari semua ujian ini?
Qur'an Menjawab : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka………. (At-Taubah : 111)
Minggu, 25 Desember 2011
Albert Einstein : Bapak Relativitas
Albert Einstein lahir di Ulm Wurttemberg, Jerman, 14 Maret 1879 dari keluarga sederhana. Ayahnya, Hermann, memiliki perusahaan kecil yang membuat alat-alat listrik.
Sebelum dikenal sebagai
Ahli fisika yang mengembangkan teori umum dan khusus relativitas, Einstein ketika kecil tidak memiliki keistimewaan dan bahkan nampak bodoh dan seperti anak yang terlambat perkembangannya.
Hal ini terjadi karena ketika anak seusianya sudah dapat berbicara, ternyata ia belum bisa. Pada saat sekolah di tingkat SD, Einstein sama sekali tidak menampakkan kecemerlangan otaknya. Bahkan, bisa dikategorikan sbagai anak bodoh, sama sepeti Newton atau Thomas Alfa Edison. Ia tidak menyukai disiplin sekolah yang keras. Ia juga tidak menyukai mata pelajaran hapalan seperti sejarah, geografi, dan bahasa. Ia tidak suka menghafalkan fakta dan data. Minatnya hanya pada fisika dan matematika, terutama teori.
Kegemaran utama Einstein adalah membaca, berpikir, dan belajar sendiri. Tak heran jika guru-guru menganggapnya pemalu, bodoh, malas belajar, dan pelanggar tata tertib.
Kelakuannya tidak juga berubah meskipun telah duduk di bangku SMP. Karena hanya mau mempelajari fisika dan matematika, ia tamat SMP tanpa mendapat ijazah. Pada saat yang bersamaan, perusahaan ayahnya bangkrut. Terpaksa ia meninggalkan Jerman dan ikut orangtuanya ke Swiss. Di sana ia melanjutkan sekolah ke SMA dan berhasil lulus.
Namun, ketika akan melanjutkan ke perguruan tinggi, ia harus mengulang sampai dua kali. Akhirnya ia diterima di Institut Politiknik di Zurich, Swiss. Namun, tabiatnya tetap tidak berubah! Ia jarang kuliah. Kalau saja temannya tidak meminjaminya catatan, barangkali ia tidak lulus dari kampus dan menjadi mahasiswa abadi.
Lulus kuliah tidak berarti langsung bekerja. Ia sempat menganggur selama dua tahun.
Kelakuannya tidak juga berubah meskipun telah duduk di bangku SMP. Karena hanya mau mempelajari fisika dan matematika, ia tamat SMP tanpa mendapat ijazah. Pada saat yang bersamaan, perusahaan ayahnya bangkrut. Terpaksa ia meninggalkan Jerman dan ikut orangtuanya ke Swiss. Di sana ia melanjutkan sekolah ke SMA dan berhasil lulus.
\Pada tahun 1921, ia menerima Hadiah Nobel Fisika karena penelitiannya tentang efek fotolistrik. Pada masanya, ia dikenal sebagai ilmuwan kreatif ternama dalam sejarah manusia. Buktinya, selama 15 tahun pertama di abad ke 20, Einstein memberi serangkaian teori penting yang seluruhnya merupakan pemikiran baru tentang ruang angkasa, waktu, dan gravitasi.
. Albert Einstein adalah penemu relativitas, dan menjadi maskot bergengsi untuk kaum "Mega Brain". Dan diketahui juga selama ini bahwa beliau mendapatkan hadiah Nobel tersebut atas kerjanya dibidang relativitas. Di sisi lain, anak-anak sekolah mendapat cerita bahwa beliau ini memiliki nilai pelajaran yang cukup buruk pada masa sekolahnya, dan mempercayai bahwa Einstein pernah gagal dalam sekolah. Beberapa pembicara yang terlalu bersemangat juga mengklaim hal ini, tetapi yang menjadi kenyataan adalah, klaim ini salah besar. Sama salah besarnya dengan klaim tentang hadiah Nobel yang diterima.
Pertama, Einstein tidak memenangkan Nobel pada tahun 1921 di bidang fisika atas kerjanya pada teori relativitas. Mari kita lihat kembali ke tahun 1905, di mana Einstein mengalami masa gemilangnya di masa hidupnya. Beliau menulis 5 paper, yang dibantu oleh istrinya, Mileva, yang menurut Ensiklopedi Britannica dikatakan "selamanya mengubah cara pandang umat manusia terhadap alam semesta". Para ilmuwan, sudah cukup bangga dengan membuat 1 dari paper tersebut, tetapi Alber Einstein menerbitkan 5 paper dalam satu tahun!
Salah satu tulisannya, tentu saja, adalah tentang teori relativitas. Tulisan yang lain adalah tentang keberadaan molekul, berdasarkan kenyataan bahwa kita dapat melihat partikel-partikel kecil yang bergerak cepat pada saat kita melihat setetes air melalui mikroskop. Tulisan ketiga adalah tentang cahaya (Photoelectric Efect), yang menyebutkan bahwa tanaman dan solar sel dapat mengubah cahaya ke energi listrik.
Teori relativitas mungkin menjadi daya pikat yang utama dan lebih terkenal di kalangan para ilmuwan dan dunia, tetapi justru tulisannya yang malah tidak begitu banyak didengar, yaitu tentang Photoelectric Efect lah yang memenangkan hadiah Nobel. Jadi satu dongeng yang salah sudah diluruskan.
Kedua, sebenarnya Einstein tidak pernah gagal dalam sekolahnya. Einstein yang lahir pada tanggal 14 Maret 1879 di Ulm, Jerman, pindah bersama keluarganya ke Munich pada umur 7 tahun , dan sekolah di Munich. Pada umur 9 tahun, beliau masuk ke Luitpold-Gumnasium. Dan pada umur 12 tahun, beliau mulai belajar kalkulus, dimana hal ini sangat menonjol karena pada umumnya para siswa mulai belajar kalkulus pada umur 15 tahun. Beliau sangat pandai di bidang ilmu pengetahuan, tetapi karena pada abad 19 an, sistem pendidikan di Jerman sangat keras dan ketat, beliau tidak benar-benar berkembang di bidang non-matematika (Bidang Sejarah, Bahasa, Musik, dan Geografi). Sebenarnya, ibunda beliau lah yang mendorongnya untuk belajar biola, dan beliau cukupt menguasai hal ini.
Pada tahun 1895, beliau ikut test masuk ke Federal Polytechnic School di Zurich. Waktu itu beliau berumur 16 tahun, 2 tahun lebih muda dari para angkatan test masuk. Beliau mendapatkan nilai bagus pada mata pelajaran fisika dan matematika, tetapi gagal dalam test non-sains, sehingga beliau gagal masuk. Sehingga pada tahun yang sama, beliau meneruskan pendidikan di Canton school, di Aargau (atau Aarau), dan setelah belajar dengan baik sekali, akhirnya diterima di Federal Polytechnic School pada tahun berikutnya.
Juga pada tahun 1896, walaupun umurnya baru 16 tahun, beliau menulis sebuah esai yang brilian yang akan mengarahkannya pada penemuan teori relativitas nantinya.
Jadi beliau tidak juga bisa dikatakan gagal dalam sekolah, Lalu darimana cerita kegagalan sekolah beliau ini muncul?
Gampang. Tahun 1896, pada saat Einstein sekolah di Aargau, tepat setelah Einstein meninggalkan sekolahan ini untuk pindah ke Federal Polytechinc School, sistem sekolah tersebut menggunakan sistem penilaian yang terbalik. Rangking "6", yang sebelumnya disebut sebagai rangking yang paling rendah, sekarang menjadi rangking yang paling tinggi. Sehingga rangking "1" yang sebelumnya merupakan rangking tertinggi, sekarang menjadi rangking yang terendah. Jadi, semua orang yang melihat rapot Einstein, akan mendapatkan bahwa Einstein memiliki banyak sekali rangking "1" - di mana pada kebijaksanaan baru sistem sekolah tersebut, merupakan rangking terendah, atau disebut "fail".
Jadi sebaliknyalah, para anak-anak sekolah tidak seharusnya mengacu pada dongeng yang salah ini untuk bermalas-malasan, melainkan harus tetap belajar dengan keras untuk mencapai rangking tertinggi.
Albert Einstein : Sang Jenius Fisika Pembuka Tabir Rahasia Alam Semesta
Tuhan tidak bermain dadu dengan alam ciptaanya dan segala keajaiban ilmu pengetahuan membuktikan kodrat alam ini... Albert Einstein (1879-1955)
Albert Einstein dilahirkan di Ulm, Kerajaan Wuettemberg, Prusia Raya (sekarang Jerman) pada tanggal 14 Maret 1879. Beliau terlahir sebagai putra sulung dari pasangan Hermann Einstein dan Pauline Koch. Ayahnya berprofesi sebagai pedagang kasur bulu. Pada tahun 1880 bisnis ayahnya mengalami kegagalan. Keluarga Einstein pindah ke Munich. Di kota ini Hermann dan adiknya mendirikan perusahaan instalasi gas dan air.
Di waktu kecilnya Albert Einstein nampak terbelakang karena kemampuan bicaranya amat terlambat. Wataknya pendiam dan suka bermain seorang diri. Bulan November 1981 lahir adik perempuannya yang diberi nama Maja. Sampai usia tujuh tahun Albert Einstein suka marah dan melempar barang, termasuk kepada adiknya.
Minat dan kecintaannya pada bidang ilmu fisika muncul pada usia lima tahun. Ketika sedang terbaring lemah karena sakit, ayahnya menghadiahinya sebuah kompas. Albert kecil terpesona oleh keajaiban kompas tersebut, sehingga ia membulatkan tekadnya untuk membuka tabir misteri yang menyelimuti keagungan dan kebesaran alam.
Meskipun pendiam dan tidak suka bermain dengan teman-temannya, Albert Einstein tetap mampu berprestasi di sekolahnya. Raportnya bagus dan ia menjadi juara kelas. Selain bersekolah dan menggeluti sains, kegiatan Albert hanyalah bermain musik dan berduet dengan ibunya memainkan karya-karya Mozart dan Bethoveen.
Albert menghabiskan masa kuliahnya di ETH (Eidgenoessische Technische Hochscule). Pada usia 21 tahun Albert dinyatakan lulus. Setelah lulus, Albert berusaha melamar pekerjaan sebagai asisten dosen, tetapi ditolak. Akhirnya Albert mendapat pekerjaan sementara sebagai guru di SMA. Kemudian dia mendapat pekerjaan di kantor paten di kota Bern. Selama masa itu Albert tetap mengembangkan ilmu fisikanya.
Tahun 1905 adalah tahun penuh prestasi bagi Albert, karena pada tahun ini ia menghasilkan penemuan-penemuan yang cemerlang. Berikut adalah penemuan-penemuan tersebut:
-. Maret: paper tentang aplikasi ekipartisi pada peristiwa radiasi, tulisan ini merupakan pengantar hipotesa kuantum cahaya dengan berdasarkan pada statistik Boltzmann. Penjelasan efek fotolistrik pada paper inilah yang memberinya hadiah Nobel pada tahun 1922.
-. April : desertasi doktoralnya tentang penentuan baru ukuran-ukuran molekul. Einstein memperoleh gelar PhD-nya dari Universitas Zürich.
-. Mei : papernya tentang gerak Brown.
-. Juni : Papernya yang tersohor, yaitu tentang teori relativitas khusus, dimuat Annalen der Physik dengan judul Zur Elektrodynamik bewegter Körper (Elektrodinamika benda bergerak).
-. September : kelanjutan papernya bulan Juni yang sampai pada kesimpulan rumus termahsyurnya : E = mc2, yaitu bahwa massa sebuah benda (m) adalah ukuran kandungan energinya (E). c adalah laju cahaya di ruang hampa (c >> 300 ribu kilometer per detik). Massa memiliki kesetaraan dengan energi, sebuah fakta yang membuka peluang berkembangnya proyek tenaga nuklir di kemudian hari. Satu gram massa dengan demikian setara dengan energi yang dapat memasok kebutuhan listrik 3000 rumah (berdaya 900 watt) selama setahun penuh, suatu jumlah energi yang luar biasa besarnya.
Tahun 1909, Albert Einstein diangkat sebagai profesor di Universitas Zurich. Tahun 1915, ia menyelesaikan kedua teori relativitasnya. Penghargaan tertinggi atas kerja kerasnya sejak kecil terbayar dengan diraihnya Hadiah Nobel pada tahun 1921 di bidang ilmu fisika. Selain itu Albert juga mengembangkan teori kuantum dan teori medan menyatu.
Pada tahun 1933, Albert beserta keluarganya pindah ke Amerika Serikat karena khawatir kegiatan ilmiahnya - baik sebagai pengajar ataupun sebagai peneliti - terganggu. Tahun 1941, ia mengucapkan sumpah sebagai warga negara Amerika Serikat. Karena ketenaran dan ketulusannya dalam membantu orang lain yang kesulitan, Albert ditawari menjadi presiden Israel yang kedua. Namun jabatan ini ditolaknya karena ia merasa tidak mempunyai kompetensi di bidang itu. Akhirnya pada tanggal 18 April 1955, Albert Einstein meninggal dunia dengan meninggalkan karya besar yang telah mengubah sejarah dunia.
Meskipun demikian, Albert sempat menangis pilu dalam hati karena karya besarnya - teori relativitas umum dan khusus - digunakan sebagai inspirasi untuk membuat bom atom. Bom inilah yang dijatuhkan di atas kota Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II berlangsung. (An)
sejak meninggalnya Albert Einstein (18 April 1955). Peraih sebuah Nobel— ironis, seharusnya sempat kalau ia sadar dan lebih mendalami temuan dan tulisannya sendiri — Nobel fisika untuk sebuah paper yang membahas mengapa logam yang kena pancaran cahaya bisa melontarkan elektron (lebih dikenal dengan photoelectric effect). Paper tersebut diangkat dari hasil temuan Max Planck tentang “light quanta” (lebih dikenal dengan photon) yang masih mengambang statusnya di dunia fisika masa itu.
Coret-moret ringkas ini tidak bermaksud membahas lebih jauh lagi tentang Einstein dan berbagai macam postulat fisika yang pernah dihasilkannya seperti teori relatifitas atau hukum kekekalan (massa) energi. Tidak pula tentang komentarnya “I know not with what weapons World War III will be fought, but World War IV will be fought with sticks and stones” yang mengarah pada penyalahgunaan nuklir sebagai senjata pemusnah masal dalam beberapa tahun sebelum kepergiannya.
Melalui tulisan ini saya hanya bermaksud mengangkat pandangan-pandangan Einstein tentang “Tuhan” dan “jagad raya”. Tuhan dalam pandangan dan tulisan-tulisan Einstein serta beberapa ilmuwan modern lainnya lebih mengarah pada alam semesta dan semua fenomena yang ada didalamnya. That God is Nature. Tak heran jikalau ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah hal yang tak terpisahkan. Sekedar untuk diketahui, Einstein adalah seorang yahudi yang menganut pantheisme dan deisme, tapi _bukan_ judaisme.
Bagaimana dengan alam semesta?. Sebenarnya, fakta alam semesta tidak statis secara teoritis telah ditemukan lebih awal sebelum pada 1929 Edwin Hubble membuat penemuan terbesar dalam sejarah astronomi, yang mana diibaratkan bahwa alam semesta dalah permukaan balon yang sedang ditiup dan terus mengembang.
Saat mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasa, ia menemukan bahwa mereka memancarkan cahaya merah sesuai dengan jaraknya. Hal ini berarti bahwa bintang-bintang ini “bergerak menjauhi” kita. Sebab, menurut hukum fisika yang diketahui, spektrum dari sumber cahaya yang sedang bergerak mendekati pengamat cenderung ke warna ungu, sedangkan yang menjauhi pengamat cenderung ke warna merah.
Jauh sebelumnya, Hubble telah membuat penemuan penting lain. Bintang dan galaksi bergerak tak hanya menjauhi kita, tapi juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya yang dapat disimpulkan dari suatu alam semesta di mana segala sesuatunya bergerak menjauhi satu sama lain adalah bahwa ia terus-menerus “mengembang”. Silahkan lebih jauh melihat sejarah tentang salah satu teori penciptaan alam semesta yang dikenal dengan nama Big Bang.
Albert Einstein, yang diakui sebagai ilmuwan terbesar abad ke-20 dan pernah dinobatkan sebagai “Person of the Century” oleh Times Magazine 1999, berdasarkan perhitungan yang ia buat dalam fisika teori, telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Tetapi, ia mendiamkan penemuannya ini, hanya agar tidak bertentangan dengan model alam semesta statis yang diakui luas waktu itu. Di kemudian hari, Einstein menyadari tindakannya ini sebagai “kesalahan terbesar dalam karirnya”.
Fakta bahwa alam ini diciptakan, yang baru ditemukan fisika modern pada abad ke-20, telah dinyatakan dalam Al-Quran 14 abad lampau: “Dia Pencipta langit dan bumi.” — Q.S. Al-An’aam (6 : 101).
Sebelum dikenal sebagai
Ahli fisika yang mengembangkan teori umum dan khusus relativitas, Einstein ketika kecil tidak memiliki keistimewaan dan bahkan nampak bodoh dan seperti anak yang terlambat perkembangannya.
Hal ini terjadi karena ketika anak seusianya sudah dapat berbicara, ternyata ia belum bisa. Pada saat sekolah di tingkat SD, Einstein sama sekali tidak menampakkan kecemerlangan otaknya. Bahkan, bisa dikategorikan sbagai anak bodoh, sama sepeti Newton atau Thomas Alfa Edison. Ia tidak menyukai disiplin sekolah yang keras. Ia juga tidak menyukai mata pelajaran hapalan seperti sejarah, geografi, dan bahasa. Ia tidak suka menghafalkan fakta dan data. Minatnya hanya pada fisika dan matematika, terutama teori.
Kegemaran utama Einstein adalah membaca, berpikir, dan belajar sendiri. Tak heran jika guru-guru menganggapnya pemalu, bodoh, malas belajar, dan pelanggar tata tertib.
Kelakuannya tidak juga berubah meskipun telah duduk di bangku SMP. Karena hanya mau mempelajari fisika dan matematika, ia tamat SMP tanpa mendapat ijazah. Pada saat yang bersamaan, perusahaan ayahnya bangkrut. Terpaksa ia meninggalkan Jerman dan ikut orangtuanya ke Swiss. Di sana ia melanjutkan sekolah ke SMA dan berhasil lulus.
Namun, ketika akan melanjutkan ke perguruan tinggi, ia harus mengulang sampai dua kali. Akhirnya ia diterima di Institut Politiknik di Zurich, Swiss. Namun, tabiatnya tetap tidak berubah! Ia jarang kuliah. Kalau saja temannya tidak meminjaminya catatan, barangkali ia tidak lulus dari kampus dan menjadi mahasiswa abadi.
Lulus kuliah tidak berarti langsung bekerja. Ia sempat menganggur selama dua tahun.
Kelakuannya tidak juga berubah meskipun telah duduk di bangku SMP. Karena hanya mau mempelajari fisika dan matematika, ia tamat SMP tanpa mendapat ijazah. Pada saat yang bersamaan, perusahaan ayahnya bangkrut. Terpaksa ia meninggalkan Jerman dan ikut orangtuanya ke Swiss. Di sana ia melanjutkan sekolah ke SMA dan berhasil lulus.
\Pada tahun 1921, ia menerima Hadiah Nobel Fisika karena penelitiannya tentang efek fotolistrik. Pada masanya, ia dikenal sebagai ilmuwan kreatif ternama dalam sejarah manusia. Buktinya, selama 15 tahun pertama di abad ke 20, Einstein memberi serangkaian teori penting yang seluruhnya merupakan pemikiran baru tentang ruang angkasa, waktu, dan gravitasi.
. Albert Einstein adalah penemu relativitas, dan menjadi maskot bergengsi untuk kaum "Mega Brain". Dan diketahui juga selama ini bahwa beliau mendapatkan hadiah Nobel tersebut atas kerjanya dibidang relativitas. Di sisi lain, anak-anak sekolah mendapat cerita bahwa beliau ini memiliki nilai pelajaran yang cukup buruk pada masa sekolahnya, dan mempercayai bahwa Einstein pernah gagal dalam sekolah. Beberapa pembicara yang terlalu bersemangat juga mengklaim hal ini, tetapi yang menjadi kenyataan adalah, klaim ini salah besar. Sama salah besarnya dengan klaim tentang hadiah Nobel yang diterima.
Pertama, Einstein tidak memenangkan Nobel pada tahun 1921 di bidang fisika atas kerjanya pada teori relativitas. Mari kita lihat kembali ke tahun 1905, di mana Einstein mengalami masa gemilangnya di masa hidupnya. Beliau menulis 5 paper, yang dibantu oleh istrinya, Mileva, yang menurut Ensiklopedi Britannica dikatakan "selamanya mengubah cara pandang umat manusia terhadap alam semesta". Para ilmuwan, sudah cukup bangga dengan membuat 1 dari paper tersebut, tetapi Alber Einstein menerbitkan 5 paper dalam satu tahun!
Salah satu tulisannya, tentu saja, adalah tentang teori relativitas. Tulisan yang lain adalah tentang keberadaan molekul, berdasarkan kenyataan bahwa kita dapat melihat partikel-partikel kecil yang bergerak cepat pada saat kita melihat setetes air melalui mikroskop. Tulisan ketiga adalah tentang cahaya (Photoelectric Efect), yang menyebutkan bahwa tanaman dan solar sel dapat mengubah cahaya ke energi listrik.
Teori relativitas mungkin menjadi daya pikat yang utama dan lebih terkenal di kalangan para ilmuwan dan dunia, tetapi justru tulisannya yang malah tidak begitu banyak didengar, yaitu tentang Photoelectric Efect lah yang memenangkan hadiah Nobel. Jadi satu dongeng yang salah sudah diluruskan.
Kedua, sebenarnya Einstein tidak pernah gagal dalam sekolahnya. Einstein yang lahir pada tanggal 14 Maret 1879 di Ulm, Jerman, pindah bersama keluarganya ke Munich pada umur 7 tahun , dan sekolah di Munich. Pada umur 9 tahun, beliau masuk ke Luitpold-Gumnasium. Dan pada umur 12 tahun, beliau mulai belajar kalkulus, dimana hal ini sangat menonjol karena pada umumnya para siswa mulai belajar kalkulus pada umur 15 tahun. Beliau sangat pandai di bidang ilmu pengetahuan, tetapi karena pada abad 19 an, sistem pendidikan di Jerman sangat keras dan ketat, beliau tidak benar-benar berkembang di bidang non-matematika (Bidang Sejarah, Bahasa, Musik, dan Geografi). Sebenarnya, ibunda beliau lah yang mendorongnya untuk belajar biola, dan beliau cukupt menguasai hal ini.
Pada tahun 1895, beliau ikut test masuk ke Federal Polytechnic School di Zurich. Waktu itu beliau berumur 16 tahun, 2 tahun lebih muda dari para angkatan test masuk. Beliau mendapatkan nilai bagus pada mata pelajaran fisika dan matematika, tetapi gagal dalam test non-sains, sehingga beliau gagal masuk. Sehingga pada tahun yang sama, beliau meneruskan pendidikan di Canton school, di Aargau (atau Aarau), dan setelah belajar dengan baik sekali, akhirnya diterima di Federal Polytechnic School pada tahun berikutnya.
Juga pada tahun 1896, walaupun umurnya baru 16 tahun, beliau menulis sebuah esai yang brilian yang akan mengarahkannya pada penemuan teori relativitas nantinya.
Jadi beliau tidak juga bisa dikatakan gagal dalam sekolah, Lalu darimana cerita kegagalan sekolah beliau ini muncul?
Gampang. Tahun 1896, pada saat Einstein sekolah di Aargau, tepat setelah Einstein meninggalkan sekolahan ini untuk pindah ke Federal Polytechinc School, sistem sekolah tersebut menggunakan sistem penilaian yang terbalik. Rangking "6", yang sebelumnya disebut sebagai rangking yang paling rendah, sekarang menjadi rangking yang paling tinggi. Sehingga rangking "1" yang sebelumnya merupakan rangking tertinggi, sekarang menjadi rangking yang terendah. Jadi, semua orang yang melihat rapot Einstein, akan mendapatkan bahwa Einstein memiliki banyak sekali rangking "1" - di mana pada kebijaksanaan baru sistem sekolah tersebut, merupakan rangking terendah, atau disebut "fail".
Jadi sebaliknyalah, para anak-anak sekolah tidak seharusnya mengacu pada dongeng yang salah ini untuk bermalas-malasan, melainkan harus tetap belajar dengan keras untuk mencapai rangking tertinggi.
Albert Einstein : Sang Jenius Fisika Pembuka Tabir Rahasia Alam Semesta
Tuhan tidak bermain dadu dengan alam ciptaanya dan segala keajaiban ilmu pengetahuan membuktikan kodrat alam ini... Albert Einstein (1879-1955)
Albert Einstein dilahirkan di Ulm, Kerajaan Wuettemberg, Prusia Raya (sekarang Jerman) pada tanggal 14 Maret 1879. Beliau terlahir sebagai putra sulung dari pasangan Hermann Einstein dan Pauline Koch. Ayahnya berprofesi sebagai pedagang kasur bulu. Pada tahun 1880 bisnis ayahnya mengalami kegagalan. Keluarga Einstein pindah ke Munich. Di kota ini Hermann dan adiknya mendirikan perusahaan instalasi gas dan air.
Di waktu kecilnya Albert Einstein nampak terbelakang karena kemampuan bicaranya amat terlambat. Wataknya pendiam dan suka bermain seorang diri. Bulan November 1981 lahir adik perempuannya yang diberi nama Maja. Sampai usia tujuh tahun Albert Einstein suka marah dan melempar barang, termasuk kepada adiknya.
Minat dan kecintaannya pada bidang ilmu fisika muncul pada usia lima tahun. Ketika sedang terbaring lemah karena sakit, ayahnya menghadiahinya sebuah kompas. Albert kecil terpesona oleh keajaiban kompas tersebut, sehingga ia membulatkan tekadnya untuk membuka tabir misteri yang menyelimuti keagungan dan kebesaran alam.
Meskipun pendiam dan tidak suka bermain dengan teman-temannya, Albert Einstein tetap mampu berprestasi di sekolahnya. Raportnya bagus dan ia menjadi juara kelas. Selain bersekolah dan menggeluti sains, kegiatan Albert hanyalah bermain musik dan berduet dengan ibunya memainkan karya-karya Mozart dan Bethoveen.
Albert menghabiskan masa kuliahnya di ETH (Eidgenoessische Technische Hochscule). Pada usia 21 tahun Albert dinyatakan lulus. Setelah lulus, Albert berusaha melamar pekerjaan sebagai asisten dosen, tetapi ditolak. Akhirnya Albert mendapat pekerjaan sementara sebagai guru di SMA. Kemudian dia mendapat pekerjaan di kantor paten di kota Bern. Selama masa itu Albert tetap mengembangkan ilmu fisikanya.
Tahun 1905 adalah tahun penuh prestasi bagi Albert, karena pada tahun ini ia menghasilkan penemuan-penemuan yang cemerlang. Berikut adalah penemuan-penemuan tersebut:
-. Maret: paper tentang aplikasi ekipartisi pada peristiwa radiasi, tulisan ini merupakan pengantar hipotesa kuantum cahaya dengan berdasarkan pada statistik Boltzmann. Penjelasan efek fotolistrik pada paper inilah yang memberinya hadiah Nobel pada tahun 1922.
-. April : desertasi doktoralnya tentang penentuan baru ukuran-ukuran molekul. Einstein memperoleh gelar PhD-nya dari Universitas Zürich.
-. Mei : papernya tentang gerak Brown.
-. Juni : Papernya yang tersohor, yaitu tentang teori relativitas khusus, dimuat Annalen der Physik dengan judul Zur Elektrodynamik bewegter Körper (Elektrodinamika benda bergerak).
-. September : kelanjutan papernya bulan Juni yang sampai pada kesimpulan rumus termahsyurnya : E = mc2, yaitu bahwa massa sebuah benda (m) adalah ukuran kandungan energinya (E). c adalah laju cahaya di ruang hampa (c >> 300 ribu kilometer per detik). Massa memiliki kesetaraan dengan energi, sebuah fakta yang membuka peluang berkembangnya proyek tenaga nuklir di kemudian hari. Satu gram massa dengan demikian setara dengan energi yang dapat memasok kebutuhan listrik 3000 rumah (berdaya 900 watt) selama setahun penuh, suatu jumlah energi yang luar biasa besarnya.
Tahun 1909, Albert Einstein diangkat sebagai profesor di Universitas Zurich. Tahun 1915, ia menyelesaikan kedua teori relativitasnya. Penghargaan tertinggi atas kerja kerasnya sejak kecil terbayar dengan diraihnya Hadiah Nobel pada tahun 1921 di bidang ilmu fisika. Selain itu Albert juga mengembangkan teori kuantum dan teori medan menyatu.
Pada tahun 1933, Albert beserta keluarganya pindah ke Amerika Serikat karena khawatir kegiatan ilmiahnya - baik sebagai pengajar ataupun sebagai peneliti - terganggu. Tahun 1941, ia mengucapkan sumpah sebagai warga negara Amerika Serikat. Karena ketenaran dan ketulusannya dalam membantu orang lain yang kesulitan, Albert ditawari menjadi presiden Israel yang kedua. Namun jabatan ini ditolaknya karena ia merasa tidak mempunyai kompetensi di bidang itu. Akhirnya pada tanggal 18 April 1955, Albert Einstein meninggal dunia dengan meninggalkan karya besar yang telah mengubah sejarah dunia.
Meskipun demikian, Albert sempat menangis pilu dalam hati karena karya besarnya - teori relativitas umum dan khusus - digunakan sebagai inspirasi untuk membuat bom atom. Bom inilah yang dijatuhkan di atas kota Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II berlangsung. (An)
sejak meninggalnya Albert Einstein (18 April 1955). Peraih sebuah Nobel— ironis, seharusnya sempat kalau ia sadar dan lebih mendalami temuan dan tulisannya sendiri — Nobel fisika untuk sebuah paper yang membahas mengapa logam yang kena pancaran cahaya bisa melontarkan elektron (lebih dikenal dengan photoelectric effect). Paper tersebut diangkat dari hasil temuan Max Planck tentang “light quanta” (lebih dikenal dengan photon) yang masih mengambang statusnya di dunia fisika masa itu.
Coret-moret ringkas ini tidak bermaksud membahas lebih jauh lagi tentang Einstein dan berbagai macam postulat fisika yang pernah dihasilkannya seperti teori relatifitas atau hukum kekekalan (massa) energi. Tidak pula tentang komentarnya “I know not with what weapons World War III will be fought, but World War IV will be fought with sticks and stones” yang mengarah pada penyalahgunaan nuklir sebagai senjata pemusnah masal dalam beberapa tahun sebelum kepergiannya.
Melalui tulisan ini saya hanya bermaksud mengangkat pandangan-pandangan Einstein tentang “Tuhan” dan “jagad raya”. Tuhan dalam pandangan dan tulisan-tulisan Einstein serta beberapa ilmuwan modern lainnya lebih mengarah pada alam semesta dan semua fenomena yang ada didalamnya. That God is Nature. Tak heran jikalau ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah hal yang tak terpisahkan. Sekedar untuk diketahui, Einstein adalah seorang yahudi yang menganut pantheisme dan deisme, tapi _bukan_ judaisme.
Bagaimana dengan alam semesta?. Sebenarnya, fakta alam semesta tidak statis secara teoritis telah ditemukan lebih awal sebelum pada 1929 Edwin Hubble membuat penemuan terbesar dalam sejarah astronomi, yang mana diibaratkan bahwa alam semesta dalah permukaan balon yang sedang ditiup dan terus mengembang.
Saat mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasa, ia menemukan bahwa mereka memancarkan cahaya merah sesuai dengan jaraknya. Hal ini berarti bahwa bintang-bintang ini “bergerak menjauhi” kita. Sebab, menurut hukum fisika yang diketahui, spektrum dari sumber cahaya yang sedang bergerak mendekati pengamat cenderung ke warna ungu, sedangkan yang menjauhi pengamat cenderung ke warna merah.
Jauh sebelumnya, Hubble telah membuat penemuan penting lain. Bintang dan galaksi bergerak tak hanya menjauhi kita, tapi juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya yang dapat disimpulkan dari suatu alam semesta di mana segala sesuatunya bergerak menjauhi satu sama lain adalah bahwa ia terus-menerus “mengembang”. Silahkan lebih jauh melihat sejarah tentang salah satu teori penciptaan alam semesta yang dikenal dengan nama Big Bang.
Albert Einstein, yang diakui sebagai ilmuwan terbesar abad ke-20 dan pernah dinobatkan sebagai “Person of the Century” oleh Times Magazine 1999, berdasarkan perhitungan yang ia buat dalam fisika teori, telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Tetapi, ia mendiamkan penemuannya ini, hanya agar tidak bertentangan dengan model alam semesta statis yang diakui luas waktu itu. Di kemudian hari, Einstein menyadari tindakannya ini sebagai “kesalahan terbesar dalam karirnya”.
Fakta bahwa alam ini diciptakan, yang baru ditemukan fisika modern pada abad ke-20, telah dinyatakan dalam Al-Quran 14 abad lampau: “Dia Pencipta langit dan bumi.” — Q.S. Al-An’aam (6 : 101).
Alam Dan Teknologi
Setiap hari manusia membuat kemajuan di bidang teknologi, yang menghasilkan produk dan desain yang menakjubkan. Umat manusia dapat merancang dan membuat produk baru dengan kemampuan yang Allah berikan kepada mereka. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus; manusia tidak berhak bersikap sombong atau arogan karena semua kemampuan tersebut adalah pemberian Allah.
Alam adalah salah satu bukti anugerah Allah. Orang-orang yang memperhatikan sekelilingnya akan melihat bahwa Allah telah memberi alam keajaiban-keajaiban yang tak terhitung jumlahnya. Di mana pun, setiap makhluk hidup, dari tumbuhan hingga hewan, di darat maupun di laut, diperlengkapi dengan keistimewaan yang menakjubkan. Bab ini akan menghadirkan contoh-contoh makhluk hidup yang boleh dibilang memiliki teknologi. Bab ini bertujuan memperlihatkan bahwa hal-hal yang disangka manusia adalah hasil pencapaian keahlian mereka sebenarnya sudah lama ada di alam, dan untuk mengingatkan bahwa tidak pada tempatnya manusia menyombongkan diri.
Sebagian rancangan yang dibuat manusia sebagai hasil penelitian, kerja keras, dan perkembangan teknologi selama bertahun-tahun, ternyata sudah ada di alam selama berjuta-juta tahun. Para ilmuwan, yang menyadari hal ini, lama mengamati dan belajar dari alam dan menggunakan hasil pengamatan tersebut dalam temuannya. Mereka mulai mengembangkan model baru dengan mengambil contoh dari alam. Mereka menyadari ada perbedaan besar antara teknik yang mereka gunakan dan teknik yang sempurna di alam. Hal ini membawa mereka pada keyakinan adanya Pemilik Kebijaksanaan yang mengatur alam semesta. Mereka memahami bahwa semua kepelikan yang ada di alam tidak mungkin terbentuk secara kebetulan. Pemilik dari kebijaksanaan, yang keberadaannya telah mereka terima melalui ilmu pengetahuan, tak lain adalah Allah, yang Memelihara surga dan bumi. Misalnya, setelah para ilmuwan mempelajari tentang lumba-lumba, tonjolan haluan kapal yang awalnya berbentuk "V" diubah menjadi tonjolan yang disebut "moncong lumba-lumba". Para perancang mengetahui bahwa struktur moncong lumba-lumba sangat ideal untuk menyeruak di air secara hidrodinamis. Tidak diragukan lagi, tak hanya moncong, tetapi seluruh ciri-ciri lumba-lumba adalah ideal karena masing-masing ciri adalah ciptaan Allah, sang "Pencipta" (Surat al-Hasyr: 24) Pada bab ini kita akan meninjau berbagai model, yang dibuat para perancang dengan mencontoh apa yang ada di alam, seperti halnya pada lumba-lumba. Kita akan melihat ciptaan Allah yang sangat menakjubkan. Semua keistimewaan makhluk hidup adalah rancangan yang menakjubkan, dan sangat penting agar kita menyadari kekuasaan Allah. Semua keistimewaan yang diungkapkan pada bagian ini telah ada sejak berjuta-juta tahun, yaitu sejak mereka diciptakan. Manusia baru mampu meniru sebagian keistimewaan tersebut semenjak beberapa abad belakangan ini. Bagi orang-orang yang dapat melihat bukti-bukti kekuasaan Allah, semua yang ada di alam diberkahi dengan keistimewaan tertentu. Seperti dalam ayat:
"...untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah)." (Surat Qaf: 8)
"Dia Pencipta langit dan bumi … Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu." (Surat al-An'am: 101-102)
Alam adalah salah satu bukti anugerah Allah. Orang-orang yang memperhatikan sekelilingnya akan melihat bahwa Allah telah memberi alam keajaiban-keajaiban yang tak terhitung jumlahnya. Di mana pun, setiap makhluk hidup, dari tumbuhan hingga hewan, di darat maupun di laut, diperlengkapi dengan keistimewaan yang menakjubkan. Bab ini akan menghadirkan contoh-contoh makhluk hidup yang boleh dibilang memiliki teknologi. Bab ini bertujuan memperlihatkan bahwa hal-hal yang disangka manusia adalah hasil pencapaian keahlian mereka sebenarnya sudah lama ada di alam, dan untuk mengingatkan bahwa tidak pada tempatnya manusia menyombongkan diri.
Sebagian rancangan yang dibuat manusia sebagai hasil penelitian, kerja keras, dan perkembangan teknologi selama bertahun-tahun, ternyata sudah ada di alam selama berjuta-juta tahun. Para ilmuwan, yang menyadari hal ini, lama mengamati dan belajar dari alam dan menggunakan hasil pengamatan tersebut dalam temuannya. Mereka mulai mengembangkan model baru dengan mengambil contoh dari alam. Mereka menyadari ada perbedaan besar antara teknik yang mereka gunakan dan teknik yang sempurna di alam. Hal ini membawa mereka pada keyakinan adanya Pemilik Kebijaksanaan yang mengatur alam semesta. Mereka memahami bahwa semua kepelikan yang ada di alam tidak mungkin terbentuk secara kebetulan. Pemilik dari kebijaksanaan, yang keberadaannya telah mereka terima melalui ilmu pengetahuan, tak lain adalah Allah, yang Memelihara surga dan bumi. Misalnya, setelah para ilmuwan mempelajari tentang lumba-lumba, tonjolan haluan kapal yang awalnya berbentuk "V" diubah menjadi tonjolan yang disebut "moncong lumba-lumba". Para perancang mengetahui bahwa struktur moncong lumba-lumba sangat ideal untuk menyeruak di air secara hidrodinamis. Tidak diragukan lagi, tak hanya moncong, tetapi seluruh ciri-ciri lumba-lumba adalah ideal karena masing-masing ciri adalah ciptaan Allah, sang "Pencipta" (Surat al-Hasyr: 24) Pada bab ini kita akan meninjau berbagai model, yang dibuat para perancang dengan mencontoh apa yang ada di alam, seperti halnya pada lumba-lumba. Kita akan melihat ciptaan Allah yang sangat menakjubkan. Semua keistimewaan makhluk hidup adalah rancangan yang menakjubkan, dan sangat penting agar kita menyadari kekuasaan Allah. Semua keistimewaan yang diungkapkan pada bagian ini telah ada sejak berjuta-juta tahun, yaitu sejak mereka diciptakan. Manusia baru mampu meniru sebagian keistimewaan tersebut semenjak beberapa abad belakangan ini. Bagi orang-orang yang dapat melihat bukti-bukti kekuasaan Allah, semua yang ada di alam diberkahi dengan keistimewaan tertentu. Seperti dalam ayat:
"...untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah)." (Surat Qaf: 8)
"Dia Pencipta langit dan bumi … Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu." (Surat al-An'am: 101-102)
Nilai Nyawa dalam Pandangan Islam | Pilar Rasa Aman
“ Sesungguhnya, hilangnya dunia di sisi Allah, jauh lebih sederhanadari terbunuhnya seorang musim.”( H.R. Imam Tirmidzi )Dalam pertimbangan hukum apapun, puncak dari seluruh kejahatan sosial adalah pembunuhan. Yakni tindakan menghilangkan nyawa, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apapun dan oleh siapapun.
Menurut Islam, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengerikan. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits mengutuk dan mengecam tindakan pembunuhan. Dalam Al-Quran ditegaskan barangsiapa yang membunuh satu orang, sesungguhnya sama dengan membunuh seluruh manusia
- Kalau saja seseorang dibunuh sudah cukup sebagai tindakan kedzaliman yang berat, Bagaimana dengan pembunuhan disertai perampokan ?! Al-Qur’an menggolongkan hal itu ke dalam kejahatan muharib (perusuh) yang membuat kerusakkan di muka bumi
- Kelak di akhirat nanti, ada satu pintu neraka khusus untuk pembunuh.
Dalam sabda Rasul SAW seperti tertera di atas, betapa dunia dengan segala isinya di laut maupun di darat, termasuk dalam perut bumi tidaklah lebih berharga dari harga satu nyawa manusia. Bila semua itu lenyap, urusannya lebih sederhana dibandingka hilangnya nyawa manusia. Karena nyawa milik Allah dan maka Allah- lah yang paling berhak menghilangkannya, bukan manusia, termasuk dirinya sendiri.
Suatu ketika Rasul SAW marah pada sahabat yang membunuh seseorang yang sempat mengucapkan syahadat sebelum ditebas lehernya. Sahabat menganggap itu hanyalah tameng agar selamat. “Mengapa engkau tidak buka dadanya supaya bisa diketahui apakah ucapan syahadatnya tipuan atau benar-benar ?” Begitu ungkapan kemarahan Rasul SAW saat itu. Lalu bagaimana dengan sekarang ketika jelas-jelas muslim dibunuh layaknya seekor nyamuk atau lalat ??
Betapa langit yang kita tatap, bumi yang kita pijak, tak lagi bisa tersenyum karena bau anyir darah korban-korban pembunuhan yang mengalir tanpa bisa dihentikan. Terlalu banyak kategori kejahatan yang layak di sebut perusuh atau pengacau. Ada kejahatan murni yang dilakukan penjahat, ada juga yang dilakukan demi kepentingan politik lokal maupun international.
Pembunuhan dan perampasan hak-hak kini bisa terjadi karena alasan sederhana. Tetapi bisa juga terjadi karena sengaja diciptakan para petualang kepentingan .Seperti di jalur bisnis, kekuasaan, bahkan di jalur keamanan dengan dalih untuk dan alasan keamanan itu sendiri. Dengan retorika sedemikian rupa, ia dipaksa menjadi sebuah keyakinan bahwa sebuah, ratusan, bahkan ribuan bisa dihilangkan secara sia-sia demi kepentingan.
Tidak ada jaman yang lebih kacau melebihi jaman ketika kematian tidak punya jalur semestinya. Tidak ada masa yang lebih mengerikan melebihi masa ketika orang mudah menghabisi dan merampas hak-hak orang lain. Mudah dalam pengertian caranya, maupun dalam dalam pengertian pola pikir dan alasan yang melatarbelakanginya.
PILAR POHON RASA AMAN
Suatu ketika Rasul SAW marah pada sahabat yang membunuh seseorang yang sempat mengucapkan syahadat sebelum ditebas lehernya. Sahabat menganggap itu hanyalah tameng agar selamat. “Mengapa engkau tidak buka dadanya supaya bisa diketahui apakah ucapan syahadatnya tipuan atau benar-benar ?” Begitu ungkapan kemarahan Rasul SAW saat itu. Lalu bagaimana dengan sekarang ketika jelas-jelas muslim dibunuh layaknya seekor nyamuk atau lalat ??
Betapa langit yang kita tatap, bumi yang kita pijak, tak lagi bisa tersenyum karena bau anyir darah korban-korban pembunuhan yang mengalir tanpa bisa dihentikan. Terlalu banyak kategori kejahatan yang layak di sebut perusuh atau pengacau. Ada kejahatan murni yang dilakukan penjahat, ada juga yang dilakukan demi kepentingan politik lokal maupun international.
Pembunuhan dan perampasan hak-hak kini bisa terjadi karena alasan sederhana. Tetapi bisa juga terjadi karena sengaja diciptakan para petualang kepentingan .Seperti di jalur bisnis, kekuasaan, bahkan di jalur keamanan dengan dalih untuk dan alasan keamanan itu sendiri. Dengan retorika sedemikian rupa, ia dipaksa menjadi sebuah keyakinan bahwa sebuah, ratusan, bahkan ribuan bisa dihilangkan secara sia-sia demi kepentingan.
Tidak ada jaman yang lebih kacau melebihi jaman ketika kematian tidak punya jalur semestinya. Tidak ada masa yang lebih mengerikan melebihi masa ketika orang mudah menghabisi dan merampas hak-hak orang lain. Mudah dalam pengertian caranya, maupun dalam dalam pengertian pola pikir dan alasan yang melatarbelakanginya.
PILAR POHON RASA AMAN
Rasa aman hanyalah buah dari pohon rasa aman itu sendiri. Ia memiliki akar, daun dan rantingnya. Bila pohonnya tumbuh dengan baik maka ia akan melahirkan buah ranum yakni rasa aman . Bila pohonnya tidak ada atau ada tapi tumbuh gersang maka rasa aman hanyalah mimpi belaka. Jadi, Ia hanyalah hasil dari sebuah proses.-
Berikut ini ada beberapa pilar agar buah rasa aman bisa dinikmati antara lain :
1. Kadar keimanan
Kejahatan yang membunuh rasa aman merupakan tindakan yang berawal dari kehendak. Dan kehendak dimulai dari keyakinan. Ada atau tidak adanya, besar kecilnya , kuat atau lemahnya keyakinan memberi pengaruh signifikan terhadap ada tidaknya tindak kejahatan.
Rasa aman adalah potret kadar keimanan . Kejahatan pada setiap jaman dengan segenap atribut peradabannya merupakan penjelasan tentang kadar keimanan pendudukannya. Maraknya kejahatan adalah buah dari krisis keimanan masyarakat.
Keimanan dan keislaman yang baik akan melahirkan tabiat yang baik pula. Dalam hadits “ Sebaik-baiknya tabiat seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan perkataanya dan perbuatannya”3. Hadits lain menyebutkan bahwa sebaik-baik keislaman adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna. Atau hadits lain, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaaat bagi manusia.” Dengan demikian seburuk-buruk manusia adalah yang paling mendatangkan malapetaka bagi manusia yang lain.
Keimanan yang benar akan mendatangkan rasa aman, bagi diri sendiri maupun orang lain.Karena, memang orang-orang yang imanya bersih akan dijamin oleh Allah dengan rasa aman4. Iman itu sendiri ibarat aliran listrik . Bila ia besar ia mampu memberi kekuatan pada sumber listrik yang lain bahkan mampu menyalakan lampu yang beraneka ragam.
2.Jenis Tetangga
Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa orang lain. Oleh karenanya rasa aman seseorang bertumpu pada sikap dan perilaku orang lain. Tetangga adalah orang lain yang paling dekat dan sering berinteraksi dengan kita. Maka, berbicara rasa aman adalah berbicara tentang bagaimana tetangga kita, Disamping tetangga macam apa kita.
Secara sosial, sistem dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kecil antar tetangga memberi konstribusi pada ada tidaknya rasa aman. Masyarakat individualis memiliki resiko tidak aman lebih tinggi ketimbang masyarakat yang hidup bersama tetangga penuh dengan tegur sapa, saling bantu, silaturahim.
Suatu hari Rasul SAW bersabda “ Tidaklah beriman salah seorang kamu sehingga tetangganya merasa aman dari kejahatannya.”
Ibnu Mas’ud yang hadir bertanya,” Apakah kejahatan-kejahatan itu , ya Rasul ?” “Kelaliman dan kezalimannya,” jawab Rasul.
3. Pemimpin dan Hukum
Rasa aman adalah produk dari sistem yang berlaku dalam masyarakat. Disinilah peran pemimpin sebagai pembuat sistem tersebut . Pemimpin berlaku adil dan menunaikan hak-hak rakyatnya, tidak zallim. Sementara rakyat taat pada pemimpin ( selama bukan maksiat kepada Allah). Hubungan timbal balik itulah yang akan memberi rasa aman. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar r.a meminta berhenti dari jabatannya sebagai hakim karena tidak ada pengaduan kepada mahkamah.
Para pemimpin yang dzalim memberi andil besar terhadap hilangnya rasa aman . Sebab sistem dan tatanan hukum bisa dikacaukan mereka. Hukum hanya milik mereka yang punya uang.
Pemimpin yang tidak memberikan rasa aman kepada rakyatnya, mendapat ancaman yang mengerikan. Dari Aisyah ,” Aku mendengar Rasul bersabda, Ya Allah barangsiapa yang diberi sedikit kekuasaan untuk mengurus umatku kemudian dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia. Dan barangsiapa yang diberi kekuasaan untuk mengurus umatku kemudian dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia.”5
Dari hukun lahirlah budaya. Meski budaya bermula lahir dari kebiasaan orang-orang, tetapi hukumlah yang menertibkan kebiasaan personal. Ketika hukum tak mampu mengelola kebiasaan personal di wilayah publik saat itulah kekacauan pribadi akan menjadi wabah kekacauan sosial.
4. Ketercukupan Makanan
Tak ada orang yang bisa bertahan terhadap kelaparan, kecuali dalam batas-batas yang wajar. Dalam surat Al-Quraisy Allah menyebutkan karunia besar bagi kaum Quraisy yaitu rasa aman dan kenyang dari lapar. Dua pilar inilah yang memberi jaminan keberlangsungan hidup orang Quraisy. Hilangnya rasa aman dan maraknya kelaparan akan menjadi sumber kekacauan.
Dalam termonologi sekarang, jaminan terhindarnya rasa lapar meliputi pemerataan kekayaan, pengentasan kaum miskin, jaminan sosial dari negara, iklim kompetisi bisnis yang fair. Sisi lainnya adalah bagaimana sebuah kekayaan itu diperoleh5.
Seringkali seseorang menjadi miskin karena korban sistem yang buruk. Istilahnya, kemiskinan struktural. Bila kemiskinan itu merambah ke tidak tercukupinya kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar, maka alamar rasa aman akan terguncang.
JADILAH AIR DI PADANG GERSANG
Hari ini mencari rasa aman seperti mengejar fatamorgana ditengah terik matahari. Namun, dalam kondisi itu berkonstribusi bagi lahirnya rasa aman adalah keniscayaan. Di tengah hidup yang kian liat, menjadi tempat teduh yang rindang adalah kemuliaan.
Pertama, Sebisa mungkin jangan melakukan kesalahan secara sengaja.
Seperti setetes tinta yang mengotori kain bersih begitu juga sebuah kesalahan. Ia akan mengotori hati yang bersih. Terlebih bila kesalahan itu dikategorikan dosa. Pada kehidupan pribadi kesalahan akan menimbulkan kegundahan, menghilangkan rasa aman, mengacaukan pikiran. Dalam konteks sosial kesalahan ibarat virus yang akan menggangu stabilitas. Pada akhirya akan timbul gejolak dan rasa aman pun terguncang.
Oleh karena itu sebisa mungkin jangan melakukan kesalahan secara sengaja. Karena itu dilakukan dengan sadar, artinya kita telah memutuskan untuk berbuat salah. Bobot dosanya berbeda dengan kesalahan karena kebodohan. Karenanya apresiasi Islam terhadap pertaubatan juga memberi catatan yang berbeda, pada soal sesngaja atau tidaknya sebuah kesalahan dilakukan6.
Dengan menjauhi kesalahan yang disengaja, kita menjadi dahan bagi tempat kita dan orang lain berteduh mencari rasa aman.
Kedua, Berlaku adillah,terlebih terhadap orang-orang dekat.
Berlaku adil terhadap orang-orang yang dicintai merupakan salah satu ujian terbesar kehidupan. Seringkali kedekatan dengan sanak kerabat, menjadikan kita tidak berlaku adil. Dari sanalah lantas kekacauan muncul.
Suraikh, seorang hakim menangani kasus yang melibatkan anakanya. Dengan keadilannya ternyata anaknya dinyatakan bersalah. Padahal bisa saja ia memenangakan anaknya.
Ketiga, Biasakanlah Menunaikan Hak Segera Mungkin.
Dalam batas tertentu, diri kita tempat bergantung rasa aman sesama. Hal ini terlihat dalam penunaian hak-hak orang lain. Ada begitu banyak hak orang lain pada diri kita termasuk hak kita atas orang lain Setiap ada hak yang tidak tertunaikan maka setiap itu pula muncul peluang ketidakamanan.
Allah SWT secara khusus mengingatkan,” sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya7.” Atas nama hak sesama tetangga pula, Abu Hanifah meminta tetangganya yang ditahan agar dibebaskan. Tetangga tersebut tiap malam selalu berbuat kegaduhan sampai menggangu kekhusyuan shalat malam Abu Hanifah. Sampai akhirnya ia ditahan karena perbuatan itu. Setelah bebas Abu Hanifah berkata,” Tidakkah kamu dapati aku ini tetangga yang baik ? “ Tetangganya malu mengiyakan. Sejak saat itu ia tidak lagi membuat kegaduhan.
Keempat, Sebisa mungkin, Luruskan yang Bengkok.
Mengharap rasa aman tidak cukup menjadi baik secara pasif. Harus ada kemauan untuk meluruskan segala yang bengkok. Secara sosial, beban dan tanggung jawab meluruskan kesalahan kembali kepada siapa dan apa peranan kita. Meski, secara keimanan setiap kita punya kewajiban untuk menghilangkannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang harus dengan tangan kekuasaan8. Ada yang dengan lisan. Atau hanya dengan hati dan doa.
Setiap kita punya otoritas tertentu untuk berbuat dan melarang. Maka sesuai dengan kapasitas itu, sebagai apapun, kita harus meluruskan yang salah dan membenarkan yang benar. Landasan moral dari semua itu adalah penegasan Rasul, bahwa setiap kita adalah pemimpin. Lalu setiap kita akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinan kita. Karenanya atas orang yang menjadi amanah kita harus ada sikap dan tindakan yang jelas bila ada kesalahan, hal yang sama juga kita harus lakukan terhadap diri sendiri.
Kelima, Biasakan hidup teratur, setidaknya itu akan meringankan diri sendiri.
Segala yang ada di dunia ini diciptakan dengan teratur. Itu menjadi cermin bahwa manusia pun harus hidup teratur. Rasa aman akan hilang bila orang tidak lagi menjalani hidup dengan teratur.
Di manapun kita berada, perlu ketertiban. Di jalan, di rumah, di tempat kerja, atau di tempat-tempat lainnya. Bahkan pada segala ibadah yang diperintahkan kepada kita, Allah dan Rasul-Nya mengajarkan pentingnya keteraturan. Bila berdiri untuk shalat berjamaah, kita diperintahkan meluruskan shaf dan merapatkan barisan. Celah-celah yang kosong akan diisi syetan dan syetan akan menimbulkan rasa permusuhan. Sedangkan rasa permusuhan itu sendiri adalah sumber utama hilangnya rasa aman. Begitu pun waktu shalat, ia tidak bisa dikerjakan dengan sembarang waktu. Dalam puasa pun ada ketertiban. Kita dilarang makan pada jam tertentu, lalu diwajibkan berbuka pada jam tertentu. Perhatian Islam terhadap hal-hal yang dianggap remeh, menunjukkan bahwa tidak ada yang boleh dianggap kecil dan remeh. Perhatikanlah bagaimana Islam meletakan kebiasaan memotong kuku, merapikan kumis, sebagian dari sunnah fitrah. Bahkan Rasul secara khusus memrintahkan kita untuk menutupi tempat air, mematikan apai, bila waktu tidur telah tiba
Hidup yang teratur dan tertib, secara hukum maupun moral, akan menyelamatkan kita dari berbagai kerugian, di dunia maupun akhirat. Sebaliknya, kekacauan bisa mengubah kekayaan menjadi kemiskinan, lahir maupun batin.
Masalah ini kembali ke soal paradigma dan cara pandang. Dari soal paradigma itu pula, kemudian untung dan rugi di dunia maupun akhirat, bisa menjadi masalah.
KARENA ADA TAKUT MAKA ADA AMAN
Ketakutan adalah karunia. Dengan itu kita merasa perlu akan rasa aman. Dalam peta tauhid, bahkan, rasa takut ( kepada Allah SWT ) merupakan pilar penting. Dari sana lantas kebutuhan akan rasa aman menjadi lahan yang subur bagi segala kebaikan.
Allah SWT berfirman,” Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar9.”
Allah membimbing hambanya, agar rasa takut berbuah rasa aman dengan menjadikan rasa takut itu sebagai takwa, lalu mengiringinya dengan amal shalih. Allah SWT berfirman, “ Maka, barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pu;a bersedih hati10.”
Rasa takut, dalam tataran keimanan melahirkan kebergantungan kepada Allah, meski kita hidup di negeri yang aman sentosa. Kebergantungan itu adalah mesti, di saat lapang maupun sempit. Seperti nasehat Rasul kepada Ibnu Abbas,” Jagalah Allah, niscaya akan engkau dapati ia di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika memoon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.”
Ketergantungan kita kepada Allah dalam urusan keseharian, bisa dalam berbagai bentuk. Bisa keselamatan fisik , kehalalan usaha, keberkahan, dijauhkan dari penipuan, dijauhkan dari yang haram, juga adanya manfaat berkelanjutan dari setiap jerih payah yang kita upayakan. Dalam soal harta, misalnya , kita sangat perlu mengharap rasa aman, agar ia bermanfaat dan kelak, harta tidak menjadi beban di akhirat.
Para salafusshalih dahulu sangat bergati-hati dalam soal itu. Yazid bin Syarik Attaimi, suatu hari ia pergi berdagang ke Basrah. Ia mendapat untung yang sangat besar, dua puluh dirham. Tetapi kemudian berkata,” Aku tidak ingin lagi kembali ke sana. Sebab aku mendengar Abu Dzar berkata,” Sesungguhnya pada hari kiamat nanti, pemilik satu dirham lebih ringan penghisabannya dari pemilik dua dirham.”
Ketergantungan yang benar dalam urusan dunia maupun akhirat merupakan ketergantungan yang jujur dan tulus. Bukan ketergantungan di saat sempit, tapi saat datang kelapangan, seketika ia lupa. Seperti diingatkan Allah. “ Dan apabila manusia di timpa bahaya dia berdo’a kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya darinya, dia kembali ( melalui ) jalan yang sesat seolah-seolah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan10.”
Ada rasa rakut, karenanya kita perlu rasa aman, bergantung kepada Dzat yang merupakan sumber segala rasa aman. Dari sana lantas, kita pun memohon diberi kekuatan untuk menebarkan rasa aman dan kasih sayang kepada sesama. Seperti misi besar kerasulan Nabi kita, bahwa ia diutus sebagai rahmat bagi alam.
Kepada Allah kita memohon rasa aman, kepadanya pula kita memohon bisa menjadi orang-orang yang menyamankan. Semua itu, justru bermula dari rasa takut itu sendiri.
----------------------G@N-------------------
Kejahatan yang membunuh rasa aman merupakan tindakan yang berawal dari kehendak. Dan kehendak dimulai dari keyakinan. Ada atau tidak adanya, besar kecilnya , kuat atau lemahnya keyakinan memberi pengaruh signifikan terhadap ada tidaknya tindak kejahatan.
Rasa aman adalah potret kadar keimanan . Kejahatan pada setiap jaman dengan segenap atribut peradabannya merupakan penjelasan tentang kadar keimanan pendudukannya. Maraknya kejahatan adalah buah dari krisis keimanan masyarakat.
Keimanan dan keislaman yang baik akan melahirkan tabiat yang baik pula. Dalam hadits “ Sebaik-baiknya tabiat seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan perkataanya dan perbuatannya”3. Hadits lain menyebutkan bahwa sebaik-baik keislaman adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna. Atau hadits lain, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaaat bagi manusia.” Dengan demikian seburuk-buruk manusia adalah yang paling mendatangkan malapetaka bagi manusia yang lain.
Keimanan yang benar akan mendatangkan rasa aman, bagi diri sendiri maupun orang lain.Karena, memang orang-orang yang imanya bersih akan dijamin oleh Allah dengan rasa aman4. Iman itu sendiri ibarat aliran listrik . Bila ia besar ia mampu memberi kekuatan pada sumber listrik yang lain bahkan mampu menyalakan lampu yang beraneka ragam.
2.Jenis Tetangga
Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa orang lain. Oleh karenanya rasa aman seseorang bertumpu pada sikap dan perilaku orang lain. Tetangga adalah orang lain yang paling dekat dan sering berinteraksi dengan kita. Maka, berbicara rasa aman adalah berbicara tentang bagaimana tetangga kita, Disamping tetangga macam apa kita.
Secara sosial, sistem dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kecil antar tetangga memberi konstribusi pada ada tidaknya rasa aman. Masyarakat individualis memiliki resiko tidak aman lebih tinggi ketimbang masyarakat yang hidup bersama tetangga penuh dengan tegur sapa, saling bantu, silaturahim.
Suatu hari Rasul SAW bersabda “ Tidaklah beriman salah seorang kamu sehingga tetangganya merasa aman dari kejahatannya.”
Ibnu Mas’ud yang hadir bertanya,” Apakah kejahatan-kejahatan itu , ya Rasul ?” “Kelaliman dan kezalimannya,” jawab Rasul.
3. Pemimpin dan Hukum
Rasa aman adalah produk dari sistem yang berlaku dalam masyarakat. Disinilah peran pemimpin sebagai pembuat sistem tersebut . Pemimpin berlaku adil dan menunaikan hak-hak rakyatnya, tidak zallim. Sementara rakyat taat pada pemimpin ( selama bukan maksiat kepada Allah). Hubungan timbal balik itulah yang akan memberi rasa aman. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar r.a meminta berhenti dari jabatannya sebagai hakim karena tidak ada pengaduan kepada mahkamah.
Para pemimpin yang dzalim memberi andil besar terhadap hilangnya rasa aman . Sebab sistem dan tatanan hukum bisa dikacaukan mereka. Hukum hanya milik mereka yang punya uang.
Pemimpin yang tidak memberikan rasa aman kepada rakyatnya, mendapat ancaman yang mengerikan. Dari Aisyah ,” Aku mendengar Rasul bersabda, Ya Allah barangsiapa yang diberi sedikit kekuasaan untuk mengurus umatku kemudian dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia. Dan barangsiapa yang diberi kekuasaan untuk mengurus umatku kemudian dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia.”5
Dari hukun lahirlah budaya. Meski budaya bermula lahir dari kebiasaan orang-orang, tetapi hukumlah yang menertibkan kebiasaan personal. Ketika hukum tak mampu mengelola kebiasaan personal di wilayah publik saat itulah kekacauan pribadi akan menjadi wabah kekacauan sosial.
4. Ketercukupan Makanan
Tak ada orang yang bisa bertahan terhadap kelaparan, kecuali dalam batas-batas yang wajar. Dalam surat Al-Quraisy Allah menyebutkan karunia besar bagi kaum Quraisy yaitu rasa aman dan kenyang dari lapar. Dua pilar inilah yang memberi jaminan keberlangsungan hidup orang Quraisy. Hilangnya rasa aman dan maraknya kelaparan akan menjadi sumber kekacauan.
Dalam termonologi sekarang, jaminan terhindarnya rasa lapar meliputi pemerataan kekayaan, pengentasan kaum miskin, jaminan sosial dari negara, iklim kompetisi bisnis yang fair. Sisi lainnya adalah bagaimana sebuah kekayaan itu diperoleh5.
Seringkali seseorang menjadi miskin karena korban sistem yang buruk. Istilahnya, kemiskinan struktural. Bila kemiskinan itu merambah ke tidak tercukupinya kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar, maka alamar rasa aman akan terguncang.
JADILAH AIR DI PADANG GERSANG
Hari ini mencari rasa aman seperti mengejar fatamorgana ditengah terik matahari. Namun, dalam kondisi itu berkonstribusi bagi lahirnya rasa aman adalah keniscayaan. Di tengah hidup yang kian liat, menjadi tempat teduh yang rindang adalah kemuliaan.
Pertama, Sebisa mungkin jangan melakukan kesalahan secara sengaja.
Seperti setetes tinta yang mengotori kain bersih begitu juga sebuah kesalahan. Ia akan mengotori hati yang bersih. Terlebih bila kesalahan itu dikategorikan dosa. Pada kehidupan pribadi kesalahan akan menimbulkan kegundahan, menghilangkan rasa aman, mengacaukan pikiran. Dalam konteks sosial kesalahan ibarat virus yang akan menggangu stabilitas. Pada akhirya akan timbul gejolak dan rasa aman pun terguncang.
Oleh karena itu sebisa mungkin jangan melakukan kesalahan secara sengaja. Karena itu dilakukan dengan sadar, artinya kita telah memutuskan untuk berbuat salah. Bobot dosanya berbeda dengan kesalahan karena kebodohan. Karenanya apresiasi Islam terhadap pertaubatan juga memberi catatan yang berbeda, pada soal sesngaja atau tidaknya sebuah kesalahan dilakukan6.
Dengan menjauhi kesalahan yang disengaja, kita menjadi dahan bagi tempat kita dan orang lain berteduh mencari rasa aman.
Kedua, Berlaku adillah,terlebih terhadap orang-orang dekat.
Berlaku adil terhadap orang-orang yang dicintai merupakan salah satu ujian terbesar kehidupan. Seringkali kedekatan dengan sanak kerabat, menjadikan kita tidak berlaku adil. Dari sanalah lantas kekacauan muncul.
Suraikh, seorang hakim menangani kasus yang melibatkan anakanya. Dengan keadilannya ternyata anaknya dinyatakan bersalah. Padahal bisa saja ia memenangakan anaknya.
Ketiga, Biasakanlah Menunaikan Hak Segera Mungkin.
Dalam batas tertentu, diri kita tempat bergantung rasa aman sesama. Hal ini terlihat dalam penunaian hak-hak orang lain. Ada begitu banyak hak orang lain pada diri kita termasuk hak kita atas orang lain Setiap ada hak yang tidak tertunaikan maka setiap itu pula muncul peluang ketidakamanan.
Allah SWT secara khusus mengingatkan,” sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya7.” Atas nama hak sesama tetangga pula, Abu Hanifah meminta tetangganya yang ditahan agar dibebaskan. Tetangga tersebut tiap malam selalu berbuat kegaduhan sampai menggangu kekhusyuan shalat malam Abu Hanifah. Sampai akhirnya ia ditahan karena perbuatan itu. Setelah bebas Abu Hanifah berkata,” Tidakkah kamu dapati aku ini tetangga yang baik ? “ Tetangganya malu mengiyakan. Sejak saat itu ia tidak lagi membuat kegaduhan.
Keempat, Sebisa mungkin, Luruskan yang Bengkok.
Mengharap rasa aman tidak cukup menjadi baik secara pasif. Harus ada kemauan untuk meluruskan segala yang bengkok. Secara sosial, beban dan tanggung jawab meluruskan kesalahan kembali kepada siapa dan apa peranan kita. Meski, secara keimanan setiap kita punya kewajiban untuk menghilangkannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang harus dengan tangan kekuasaan8. Ada yang dengan lisan. Atau hanya dengan hati dan doa.
Setiap kita punya otoritas tertentu untuk berbuat dan melarang. Maka sesuai dengan kapasitas itu, sebagai apapun, kita harus meluruskan yang salah dan membenarkan yang benar. Landasan moral dari semua itu adalah penegasan Rasul, bahwa setiap kita adalah pemimpin. Lalu setiap kita akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinan kita. Karenanya atas orang yang menjadi amanah kita harus ada sikap dan tindakan yang jelas bila ada kesalahan, hal yang sama juga kita harus lakukan terhadap diri sendiri.
Kelima, Biasakan hidup teratur, setidaknya itu akan meringankan diri sendiri.
Segala yang ada di dunia ini diciptakan dengan teratur. Itu menjadi cermin bahwa manusia pun harus hidup teratur. Rasa aman akan hilang bila orang tidak lagi menjalani hidup dengan teratur.
Di manapun kita berada, perlu ketertiban. Di jalan, di rumah, di tempat kerja, atau di tempat-tempat lainnya. Bahkan pada segala ibadah yang diperintahkan kepada kita, Allah dan Rasul-Nya mengajarkan pentingnya keteraturan. Bila berdiri untuk shalat berjamaah, kita diperintahkan meluruskan shaf dan merapatkan barisan. Celah-celah yang kosong akan diisi syetan dan syetan akan menimbulkan rasa permusuhan. Sedangkan rasa permusuhan itu sendiri adalah sumber utama hilangnya rasa aman. Begitu pun waktu shalat, ia tidak bisa dikerjakan dengan sembarang waktu. Dalam puasa pun ada ketertiban. Kita dilarang makan pada jam tertentu, lalu diwajibkan berbuka pada jam tertentu. Perhatian Islam terhadap hal-hal yang dianggap remeh, menunjukkan bahwa tidak ada yang boleh dianggap kecil dan remeh. Perhatikanlah bagaimana Islam meletakan kebiasaan memotong kuku, merapikan kumis, sebagian dari sunnah fitrah. Bahkan Rasul secara khusus memrintahkan kita untuk menutupi tempat air, mematikan apai, bila waktu tidur telah tiba
Hidup yang teratur dan tertib, secara hukum maupun moral, akan menyelamatkan kita dari berbagai kerugian, di dunia maupun akhirat. Sebaliknya, kekacauan bisa mengubah kekayaan menjadi kemiskinan, lahir maupun batin.
Masalah ini kembali ke soal paradigma dan cara pandang. Dari soal paradigma itu pula, kemudian untung dan rugi di dunia maupun akhirat, bisa menjadi masalah.
KARENA ADA TAKUT MAKA ADA AMAN
Ketakutan adalah karunia. Dengan itu kita merasa perlu akan rasa aman. Dalam peta tauhid, bahkan, rasa takut ( kepada Allah SWT ) merupakan pilar penting. Dari sana lantas kebutuhan akan rasa aman menjadi lahan yang subur bagi segala kebaikan.
Allah SWT berfirman,” Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar9.”
Allah membimbing hambanya, agar rasa takut berbuah rasa aman dengan menjadikan rasa takut itu sebagai takwa, lalu mengiringinya dengan amal shalih. Allah SWT berfirman, “ Maka, barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pu;a bersedih hati10.”
Rasa takut, dalam tataran keimanan melahirkan kebergantungan kepada Allah, meski kita hidup di negeri yang aman sentosa. Kebergantungan itu adalah mesti, di saat lapang maupun sempit. Seperti nasehat Rasul kepada Ibnu Abbas,” Jagalah Allah, niscaya akan engkau dapati ia di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika memoon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.”
Ketergantungan kita kepada Allah dalam urusan keseharian, bisa dalam berbagai bentuk. Bisa keselamatan fisik , kehalalan usaha, keberkahan, dijauhkan dari penipuan, dijauhkan dari yang haram, juga adanya manfaat berkelanjutan dari setiap jerih payah yang kita upayakan. Dalam soal harta, misalnya , kita sangat perlu mengharap rasa aman, agar ia bermanfaat dan kelak, harta tidak menjadi beban di akhirat.
Para salafusshalih dahulu sangat bergati-hati dalam soal itu. Yazid bin Syarik Attaimi, suatu hari ia pergi berdagang ke Basrah. Ia mendapat untung yang sangat besar, dua puluh dirham. Tetapi kemudian berkata,” Aku tidak ingin lagi kembali ke sana. Sebab aku mendengar Abu Dzar berkata,” Sesungguhnya pada hari kiamat nanti, pemilik satu dirham lebih ringan penghisabannya dari pemilik dua dirham.”
Ketergantungan yang benar dalam urusan dunia maupun akhirat merupakan ketergantungan yang jujur dan tulus. Bukan ketergantungan di saat sempit, tapi saat datang kelapangan, seketika ia lupa. Seperti diingatkan Allah. “ Dan apabila manusia di timpa bahaya dia berdo’a kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya darinya, dia kembali ( melalui ) jalan yang sesat seolah-seolah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan10.”
Ada rasa rakut, karenanya kita perlu rasa aman, bergantung kepada Dzat yang merupakan sumber segala rasa aman. Dari sana lantas, kita pun memohon diberi kekuatan untuk menebarkan rasa aman dan kasih sayang kepada sesama. Seperti misi besar kerasulan Nabi kita, bahwa ia diutus sebagai rahmat bagi alam.
Kepada Allah kita memohon rasa aman, kepadanya pula kita memohon bisa menjadi orang-orang yang menyamankan. Semua itu, justru bermula dari rasa takut itu sendiri.
----------------------G@N-------------------
Sabtu, 05 November 2011
10 Manfaat nge-Blog
Blog atau dikenal juga dengan sebutan weblog merupakan sebuah situs pribadi yang memuat tulisan-tulisan sebagai konten atau isi pokoknya, di mana tulisan yang sebagai postingan tersebut berisi tentang suatu topik tertentu yang di publikasikan oleh pemiliknya guna mendapatkan reaksi dari pembaca dan diperbaharui secara berkala.
Blog merupakan sebuah media yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mempublikasikan apa saja yang ingin mereka bagikan, baik itu tulisan, foto, film, dsb. Apakah hanya itu saja manfaatnya? Tentu tidak! Masih banyak manfaat yang lainnya.
Setidaknya ada 10 manfaat yang dapat kita temukan.
Yup, pada kali ini kita akan membahas apa sih sebenarnya manfaat yang bisa kita peroleh dari sebuah blog itu? Memang, tanpa mengetahui secara lebih jelas dan gamblang tentang sebuah hal yang kita kerjakan akan cenderung mengurangi motivasi dan semangat kita untuk melakukannya. Jadi, yuk kita lihat bersama-sama apa saja sih manfaat yang kita peroleh dari aktifitas blogging ini.
Blog merupakan sebuah media yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mempublikasikan apa saja yang ingin mereka bagikan, baik itu tulisan, foto, film, dsb. Lalu, apakah hanya itu saja manfaatnya? Ooo,, tentu tidak. Masih banyak manfaat yang lainnya. Setidaknya ada 10 manfaat yang dapat kita temukan, antara lain;
Media aktualisasi diri
Blog merupakan tempatnya berbagi. Apa saja bisa kita bagikan! Tentunya berbagi dalam kebaikan ya..?
Dengan memiliki sebuah blog, kita akan mampu membagikan begitu banyak sekali hal-hal menarik yang bermanfaat. Misalnya tentang pengetahuan komputer terbaru, isu ekonomi terbaru, tren berbusana terbaru, dsb. Nah, dengan kondisi yang demikian tentu akan membuat diri kita memungkinkan untuk mendapat sumber-sumber pengetahuan yang bermanfaat hingga akhirnya proses aktualisasi diri kita pun akan tercapai.
Personal branding
Pernahkah kalian membayangkan tentang tokoh atau sosok pribadi yang berkompeten dalam hal tertentu? Misalnya, siapa sih yang terkenal dalam hal masak-memasak, tulis-menulis, atau otomotif dsb?
Dengan memiliki sebuah blog, tentu semua hal di atas akan menjadi mudah. Bagaimana bisa? Karena dengan kita memiliki sebuah blog dan kita menuangkan keahlian apa yang kita miliki dalam blog tersebut, maka secara otomatis hal itu akan membuat personal branding bagi administratornya.
Masyarakat sebagai pembaca akan mengetahui jika kalian memiliki keahlian atau keterampilan dalam bidang tertentu seperti apa yang tercermin dari konten dalam blog. Sehingga, sepintas pun mereka akan dapat mengambil sebuah kesimpulan, “oo,, ternyata si A ini ahli di bidang ini..”
Lalu, apa manfaat nyatanya? Jika kita populer dengan image keahlian tertentu, maka setiap ada permasalahan dan bagi mereka yang bermasalah dengan hal yang kalian kuasai, maka mereka pun akan menghubungi kalian untuk membantu menyelesaikan permasalahannya. Pernahkah kalian diajak untuk menjadi narasumber dalam sebuah topik yang berkaitan dengan bidang yang kalian kuasai guna berbagi ilmu atau pengetahuan? Nah, itulah salah satu manfaatnya!
Media promosi
Tidak dipungkiri lagi jika blog ini mampu menjadi sarana yang paling ampuh untuk berpromosi. Kalian dapat memasarkan produk barang atau jasa apapun ke dalam sebuah blog. Biasanya, banyak para pengusaha yang membuat sebuah blog guna menjadikannya sebagai media promosi online atas produk usahanya untuk memperluas jaringan pemasaran kepada masyarakat.
Menghasilkan uang
Sebuah blog dapat menghasilkan uang?
Tentu saja bisa! Hal ini dikategorikan ke dalam 2 jenis, yaitu direct income dan indirect income. Direct income merupakan penghasilan uang yang kita peroleh dengan cara membuat sebuah blog yang bagus dari sisi kualitas isinya. Lalu, blog milik kalian dipasangi iklan oleh advertiser yang nantinya akan memberikan uang atas sewa tempat untuk menampilkan iklan mereka dalam blog kalian. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memasarkan produk usaha kalian melalui blog. Tentunya hal ini akan efektif dilakukan setelah kita memiliki sebuah blog yang bagus yang tercermin dengan banyaknya pembaca yang mengunjungi blog tersebut.
Sedangkan indirect income, kita akan mendapatkan penghasilan sejumlah uang dari pembaca yang mengunjungi blog kita. Pembaca datang, melihat dan tertarik dengan blog kita, dan mereka pun akan menghubungi kita untuk membicarakan bisnis selanjutnya.
Media melepas stress
Dalam aktifitas blogging, aktifitas utamanya adalah menulis. Dan berdasarkan sebuah penelitian, ternyata dengan menulis itu dapat meredakan stress! Michele Weldon dalam karyanya write to save your life menuturkan jika menulis jurnal atau buku harian dapat dijadikan sebagai terapi untuk menyembuhkan trauma emosi yang dihadapi. Waow, dari sisi psikologis pun terbukti jika blogging itu sangat bermanfaat bukan?
Dokumentasi online
Blog dapat kita manfaatkan sebagai tempat untuk menuliskan apa saja peristiwa yang berkesan dalam hidup kita. Tujuannya tidak lain adalah sebagai pendokumentasian yang akan bermanfaat untuk kita kenang di masa mendatang. Misalnya saat kita untuk pertama kalinya jatuh cinta. Tentu first love sangat berkesan dan akan selalu terkenang bukan? Nah, tuliskalah hal tersebut dalam blog pribadi kalian agar dapat kalian kenang sebagai suatu hal yang berkesan di masa yang akan datang.
Media berbagi
Inilah fungsi utama dari blog ini. Dengan blog, kita dapat membagikan apa saja yang kita miliki. Bisa dalam bentuk tulisan, foto, video, dsb. Intinya adalah ada begitu banyak manfaat kebaikan yang dapat kita bagikan dari diri kita kepada orang lain, tergantung dari bidang apa yang kalian kuasai. Bagikanlah ide, gagasan, pemikiran, kreatifitas, dan inovasi kalian kepada orang lain agar menjadikan hidup ini menjadi terasa lebih bermanfaat.
Mendapatkan teman baru
Kalian seorang blogger? Apakah kalian sudah mendapatkan banyak teman?
Yup, dengan blogging akan lebih memudahkan kita untuk mencari teman-teman baru yang akan sangat bermanfaat bagi kita. Tentunya kalian sudah tahu sendiri bukan, apa sih manfaatnya kita yang memiliki banyak teman..?
Aktifitas yang menunjukan jika kalian banyak teman adalah banyaknya pengunjung yang membaca blog kalian, saling bertukar link, dan saling menjadi follower. Selain berdampak positif bagi kemajuan blog kita, memiliki banyak teman blogger juga akan membuat jalinan silaturahmi yang kuat dengan teman-teman tersebut yang nantinya akan sangat bermanfaat saat kita menghadapi sebuah kesulitan.
Kebanggaan menjadi seorang blogger
Yup, dengan memiliki sebuah blog tentu akan menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi kita. Meskipun blog kita itu biasa-biasa saja, tidak begitu bagus dari sisi tampilan desain dan isi potingannya, tapi kita akan tetap merasa bangga dalam hati kita. Apa penyebabnya? Kita merasa selangkah lebih maju dalam dunia internet. Kita akan merasakan jika diri kita telah sedikit lebih mahir dan dapat berbuat banyak dalam dunia internet dengan bukti nyata sebuah blog yang kita hasilkan. Hal lainnya yang tak kalah penting adalah adanya kepuasan pribadi di mana kita dapat membagikan segala kebaikan dalam diri kita kepada orang lain. Rasanya seperti ada kepuasan tak terhingga yang muncul bukan saat apa yang kita bagi-bagikan dalam blog ini ditanggapi dengan baik oleh blogger lainnya? Misalnya postingan kita mendapat banyak komentar, blog kita selalu ramai oleh pengunjung, follower kita terus bertambah, dsb.
Ada semacam kepuasan tersendiri dalam hati meski hal tersebut tidak mendatangkan keuntungan materi bagi diri kita.
Home base kita di dunia maya
Sebuah blog yang kita miliki dapat kita jadikan sebagai sebuah home base kita di dunia maya. Entah itu untuk menunjukan eksistensi kita ataupun dengan dengan maksud yang lain, tapi yang jelas dengan kita memiliki sebuah blog akan lebih mudah dalam memberitahukan semua teman kata jika sewaktu-waktu teman-teman tersebut kita ingin mampir ke rumah online yang sejatinya adalah blog kita tersebut.
Menarik bukan?
Banyak sekali manfaat yang dapat kita terima jika kita memiliki sebuah blog. Mulai dari yang bersifat menguntungkan bagi diri pribadi sampai manfaat sosial yang dapat kita berikan kepada orang lain.
Tertarik untuk membuat blog..? ayo buat sekarang!
Insya Allah blog yang telah kalian buat akan sangat bermanfaat bagi diri kalian maupun bagi orang lain.
Mari menebar kebaikan demi kemajuan kita bersama.
Salam Blogger..!!
Blog merupakan sebuah media yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mempublikasikan apa saja yang ingin mereka bagikan, baik itu tulisan, foto, film, dsb. Apakah hanya itu saja manfaatnya? Tentu tidak! Masih banyak manfaat yang lainnya.
Setidaknya ada 10 manfaat yang dapat kita temukan.
Yup, pada kali ini kita akan membahas apa sih sebenarnya manfaat yang bisa kita peroleh dari sebuah blog itu? Memang, tanpa mengetahui secara lebih jelas dan gamblang tentang sebuah hal yang kita kerjakan akan cenderung mengurangi motivasi dan semangat kita untuk melakukannya. Jadi, yuk kita lihat bersama-sama apa saja sih manfaat yang kita peroleh dari aktifitas blogging ini.
Blog merupakan sebuah media yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mempublikasikan apa saja yang ingin mereka bagikan, baik itu tulisan, foto, film, dsb. Lalu, apakah hanya itu saja manfaatnya? Ooo,, tentu tidak. Masih banyak manfaat yang lainnya. Setidaknya ada 10 manfaat yang dapat kita temukan, antara lain;
Media aktualisasi diri
Blog merupakan tempatnya berbagi. Apa saja bisa kita bagikan! Tentunya berbagi dalam kebaikan ya..?
Dengan memiliki sebuah blog, kita akan mampu membagikan begitu banyak sekali hal-hal menarik yang bermanfaat. Misalnya tentang pengetahuan komputer terbaru, isu ekonomi terbaru, tren berbusana terbaru, dsb. Nah, dengan kondisi yang demikian tentu akan membuat diri kita memungkinkan untuk mendapat sumber-sumber pengetahuan yang bermanfaat hingga akhirnya proses aktualisasi diri kita pun akan tercapai.
Personal branding
Pernahkah kalian membayangkan tentang tokoh atau sosok pribadi yang berkompeten dalam hal tertentu? Misalnya, siapa sih yang terkenal dalam hal masak-memasak, tulis-menulis, atau otomotif dsb?
Dengan memiliki sebuah blog, tentu semua hal di atas akan menjadi mudah. Bagaimana bisa? Karena dengan kita memiliki sebuah blog dan kita menuangkan keahlian apa yang kita miliki dalam blog tersebut, maka secara otomatis hal itu akan membuat personal branding bagi administratornya.
Masyarakat sebagai pembaca akan mengetahui jika kalian memiliki keahlian atau keterampilan dalam bidang tertentu seperti apa yang tercermin dari konten dalam blog. Sehingga, sepintas pun mereka akan dapat mengambil sebuah kesimpulan, “oo,, ternyata si A ini ahli di bidang ini..”
Lalu, apa manfaat nyatanya? Jika kita populer dengan image keahlian tertentu, maka setiap ada permasalahan dan bagi mereka yang bermasalah dengan hal yang kalian kuasai, maka mereka pun akan menghubungi kalian untuk membantu menyelesaikan permasalahannya. Pernahkah kalian diajak untuk menjadi narasumber dalam sebuah topik yang berkaitan dengan bidang yang kalian kuasai guna berbagi ilmu atau pengetahuan? Nah, itulah salah satu manfaatnya!
Media promosi
Tidak dipungkiri lagi jika blog ini mampu menjadi sarana yang paling ampuh untuk berpromosi. Kalian dapat memasarkan produk barang atau jasa apapun ke dalam sebuah blog. Biasanya, banyak para pengusaha yang membuat sebuah blog guna menjadikannya sebagai media promosi online atas produk usahanya untuk memperluas jaringan pemasaran kepada masyarakat.
Menghasilkan uang
Sebuah blog dapat menghasilkan uang?
Tentu saja bisa! Hal ini dikategorikan ke dalam 2 jenis, yaitu direct income dan indirect income. Direct income merupakan penghasilan uang yang kita peroleh dengan cara membuat sebuah blog yang bagus dari sisi kualitas isinya. Lalu, blog milik kalian dipasangi iklan oleh advertiser yang nantinya akan memberikan uang atas sewa tempat untuk menampilkan iklan mereka dalam blog kalian. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memasarkan produk usaha kalian melalui blog. Tentunya hal ini akan efektif dilakukan setelah kita memiliki sebuah blog yang bagus yang tercermin dengan banyaknya pembaca yang mengunjungi blog tersebut.
Sedangkan indirect income, kita akan mendapatkan penghasilan sejumlah uang dari pembaca yang mengunjungi blog kita. Pembaca datang, melihat dan tertarik dengan blog kita, dan mereka pun akan menghubungi kita untuk membicarakan bisnis selanjutnya.
Media melepas stress
Dalam aktifitas blogging, aktifitas utamanya adalah menulis. Dan berdasarkan sebuah penelitian, ternyata dengan menulis itu dapat meredakan stress! Michele Weldon dalam karyanya write to save your life menuturkan jika menulis jurnal atau buku harian dapat dijadikan sebagai terapi untuk menyembuhkan trauma emosi yang dihadapi. Waow, dari sisi psikologis pun terbukti jika blogging itu sangat bermanfaat bukan?
Dokumentasi online
Blog dapat kita manfaatkan sebagai tempat untuk menuliskan apa saja peristiwa yang berkesan dalam hidup kita. Tujuannya tidak lain adalah sebagai pendokumentasian yang akan bermanfaat untuk kita kenang di masa mendatang. Misalnya saat kita untuk pertama kalinya jatuh cinta. Tentu first love sangat berkesan dan akan selalu terkenang bukan? Nah, tuliskalah hal tersebut dalam blog pribadi kalian agar dapat kalian kenang sebagai suatu hal yang berkesan di masa yang akan datang.
Media berbagi
Inilah fungsi utama dari blog ini. Dengan blog, kita dapat membagikan apa saja yang kita miliki. Bisa dalam bentuk tulisan, foto, video, dsb. Intinya adalah ada begitu banyak manfaat kebaikan yang dapat kita bagikan dari diri kita kepada orang lain, tergantung dari bidang apa yang kalian kuasai. Bagikanlah ide, gagasan, pemikiran, kreatifitas, dan inovasi kalian kepada orang lain agar menjadikan hidup ini menjadi terasa lebih bermanfaat.
Mendapatkan teman baru
Kalian seorang blogger? Apakah kalian sudah mendapatkan banyak teman?
Yup, dengan blogging akan lebih memudahkan kita untuk mencari teman-teman baru yang akan sangat bermanfaat bagi kita. Tentunya kalian sudah tahu sendiri bukan, apa sih manfaatnya kita yang memiliki banyak teman..?
Aktifitas yang menunjukan jika kalian banyak teman adalah banyaknya pengunjung yang membaca blog kalian, saling bertukar link, dan saling menjadi follower. Selain berdampak positif bagi kemajuan blog kita, memiliki banyak teman blogger juga akan membuat jalinan silaturahmi yang kuat dengan teman-teman tersebut yang nantinya akan sangat bermanfaat saat kita menghadapi sebuah kesulitan.
Kebanggaan menjadi seorang blogger
Yup, dengan memiliki sebuah blog tentu akan menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi kita. Meskipun blog kita itu biasa-biasa saja, tidak begitu bagus dari sisi tampilan desain dan isi potingannya, tapi kita akan tetap merasa bangga dalam hati kita. Apa penyebabnya? Kita merasa selangkah lebih maju dalam dunia internet. Kita akan merasakan jika diri kita telah sedikit lebih mahir dan dapat berbuat banyak dalam dunia internet dengan bukti nyata sebuah blog yang kita hasilkan. Hal lainnya yang tak kalah penting adalah adanya kepuasan pribadi di mana kita dapat membagikan segala kebaikan dalam diri kita kepada orang lain. Rasanya seperti ada kepuasan tak terhingga yang muncul bukan saat apa yang kita bagi-bagikan dalam blog ini ditanggapi dengan baik oleh blogger lainnya? Misalnya postingan kita mendapat banyak komentar, blog kita selalu ramai oleh pengunjung, follower kita terus bertambah, dsb.
Ada semacam kepuasan tersendiri dalam hati meski hal tersebut tidak mendatangkan keuntungan materi bagi diri kita.
Home base kita di dunia maya
Sebuah blog yang kita miliki dapat kita jadikan sebagai sebuah home base kita di dunia maya. Entah itu untuk menunjukan eksistensi kita ataupun dengan dengan maksud yang lain, tapi yang jelas dengan kita memiliki sebuah blog akan lebih mudah dalam memberitahukan semua teman kata jika sewaktu-waktu teman-teman tersebut kita ingin mampir ke rumah online yang sejatinya adalah blog kita tersebut.
Menarik bukan?
Banyak sekali manfaat yang dapat kita terima jika kita memiliki sebuah blog. Mulai dari yang bersifat menguntungkan bagi diri pribadi sampai manfaat sosial yang dapat kita berikan kepada orang lain.
Tertarik untuk membuat blog..? ayo buat sekarang!
Insya Allah blog yang telah kalian buat akan sangat bermanfaat bagi diri kalian maupun bagi orang lain.
Mari menebar kebaikan demi kemajuan kita bersama.
Salam Blogger..!!
Minggu, 29 Mei 2011
TIPOLOGI MASYARAKAT ARAB KOMTEMPORER
TULISAN ini berusaha meletakkan parameter ideologis-kultural sebagai dasar untuk memahami masyarakat Islam umumnya dan masyarakat Arab khususnya. Penulis akan menyoroti keberadaan dua tipe masyarakat yang berada dalam satu negara yang meliputi dua kriteria sebagai berikut.
Pertama, masyarakat asli (tradisional) yang pada umumnya mempertahankan pola masyarakat Islam, yakni masyarakat yang berpegang teguh pada warisan dan tradisi serta memelihara sejarah. Masyarakat ini berfungsi sebagai penerus pola sosial masa lampau di bawah dominasi kolonialisme.
Kedua, masyarakat modern yang terbentuk di bawah pengaruh dominasi kolonial asing. Mereka berusaha menegakkan modernisasi ala Barat, sehingga pola pemikiran, gaya hidup, dan konsep-konsep Barat mewarnai masyarakat tipe ini.1
Mengapa Menggunakan Pendekatan Ideologis-Kultural?
Sebagian cendekiawan yang terpengaruh metodologi penelitian Barat menganggap bahwa pemakaian pendekatan ideologis-kultural dalam memahami masyarakat Arab-Islam merupakan suatu bias ilmiah. Ini karena konotasi ilmiah dalam tradisi berpikir mereka terbatas pada metode tertentu yang disepakati mereka. Artinya, mereka menganggap metode yang berbeda parameter, konsep, dan contoh historisnya dengan metode Barat sebagai metode yang tidak ilmiah.
Akan tetapi, jika kita menyepakati keabsahan tesis yang menyatakan bahwa corak masyarakat Islam jauh berbeda dengan corak-corak masyarakat yang didefinisikan Eropa, maka tesis ini sejak semula telah menggugurkan klaim keilmiahan metode-metode Barat yang selama ini digunakan untuk menganalisis masyarakat Arab-Islam. Ini karena metode ilmiah tidak alergi terhadap data-data yang meliputi berbagai konsep, parameter, dan pola kemasyarakatan.
Keilmiahan suatu penelitian ditentukan oleh sejauh mana penelitian itu mampu mengungkapkan fakta yang sebenarnya serta sejauh mana ia dapat meletakkan aspek-aspek tertentu pada proporsi yang sebenarnya. Bukan kesesuaiannya berdasarkan metode penelitian tertentu, misalnya metode Barat!
Selain itu, memahami realitas sosial negara Arab berdasarkan prinsip dikotomi antara dua tipe masyarakatnya adalah bertentangan dengan studi-studi pada umumnya, yang telah menganalisis sifat-sifat dasar masyarakat Arab-Islam, sehingga studi ini --yang memandang masyarakat Arab sebagai satu tipe-- akan menjadi studi yang menerapkan analogi-analogi masyarakat modern. Bila demikian, penelitian akan cenderung menafikan eksistensi masyarakat tradisional.
Meskipun benar bahwa masyarakat modern menguasai negara setelah jatuhnya kekuasaan kolonialisme dan berusaha menyatukan masyarakat di atas dasar dominasi dan pola modern, hal itu tidak berarti pihak yang tersisih (masyarakat tradisional --peny.) kehilangan eksistensi sama sekali dan harus tunduk pada garis masyarakat dan negara yang baru, sehingga mereka harus berbicara dengan bahasa modern dan menggunakan ukuran-ukurannya untuk memperoleh keberadaan yang diakui. Maka, lahirlah dualisme hukum dalam kancah ketegangan.
Sebab utama keabsahan penerapan pendekatan ideologis-kultural ini --kendati dipandang terdapat dua tipe masyarakat di negara-negara Arab-- dikembalikan kepada peran besar yang dimainkan oleh Islam dalam membentuk corak masyarakat Arab-Islam; suatu peran yang tidak ada duanya dibandingkan dengan tipe masyarakat manapun. Islam menjadikan bangunan pemikiran ideologis sebagai salah satu syarat kokohnya konstruksi materi dan hubungan sosial. Sebab, seandainya masyarakat Arab-Islam mencoba melepaskan dirinya dari pusat ideologinya (Islam), niscaya ia akan tercerabut dari akar-akarnya, dan pada gilirannya akan mengalami kegoncangan.
Sebagai catatan, tesis mengenai program yang berangkat dari perspektif dualisme masyarakat dunia Islam, seyogianya disandarkan pada sejauh mana pandangan itu dapat diterapkan pada realitas.
Tipologi Pelaku Ekonomi
Bila kita berjalan-jalan di jantung kota-kota di Arab, kita akan menemui pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Kita dapat menyaksikan dua tipe areal yang perbedaannya sangat jauh, bahkan sangat mencolok. Kondisi semacam ini tak urung dapat ditemui juga di negara-negara Islam yang lain.
Dalam satu paket kebijaksanaan pemerintah terdapat dua komunitas pedagang, yaitu komunitas pedagang masyarakat tradisional dan komunitas pedagang masyarakat modern. Pada masing-masing komunitas tersebut, terdapat kelompok pedagang kecil, menengah, dan besar. Ada yang menempati bazar-bazar, pasar-pasar tradisional, gang-gang, dan perkampungan. Ada pula yang menempati kawasan elit.
Maka kita tidak sulit membayangkan dua tipe peradaban dari dua masyarakat yang berbeda di Arab. Termasuk di dalamnya: perbedaan nama, bahasa, cara berbicara, dan perilaku.
Tipologi Intelektual
Masalah ini akan tampak lebih jelas bila kita meneliti masalah pendidikan dan produknya. Terdapat dua tipe intelektual atau akademisi yang sangat kontras. Universitas-universitas yang mendasarkan diri pada sistem sekular mengedepankan corak kultur dan menelurkan alumninya yang tentu saja tidak lepas kaitannya dengan bentuk-bentuk kebudayaan Barat.
Perbedaan mencolok dapat kita lihat pada alumni al-Azhar (Mesir), Zaitunah (Tunisia), Qurawiyyin (Maroko), Qum (Iran), Najf (Irak), dan Fakultas Syariah di Suria dibandingkan dengan lulusan berbagai universitas di Paris, London, Washington, Moskow, atau institusi lokal yang modern. Tampak jelas adanya dua tipe pendidikan dan alumni yang dihasilkannya.
Dua tipe ini semakin terlihat tajam ketika diadakan pengamatan terhadap berbagai organisasi dan pranata kultural sebagai produk kebudayaan dan kalangan intelektual dalam masyarakat. Pada satu sisi, terdapat lembaga-lembaga studi keislaman dan pendidikan kebangsaan, masjid-masjid beserta halaqahnya, serta syekh tarekat dan para muridnya. Dari lembaga-lembaga ini muncullah berbagai pola kebudayaan bangsa yang akhirnya membentuk suatu tipe tersendiri sebagai penyambung corak masyarakat sebelum terjadinya perang dengan bangsa asing dan peradabannya di Arab.
Pada sisi lain, kita dapat melihat adanya lembaga-lembaga pendidikan khusus dan asing di dalam negeri yang melahirkan lapisan intelektual dan politisi yang mempelajari buku-buku terjemahan dari Barat. Perbandingan ini juga dapat dilihat pada karya seni dan sastra yang beraneka ragam. Nilai-nilai seni dan sastra yang satu mengandung ajaran keislaman dan kebangsaan tradisional. Sedangkan nilai-nilai seni dan sastra yang lainnya bermuara pada paradigma Barat.
Perbedaan dua tipe tersebut makin meningkat hingga menyentuh aspek bahasa percakapan, tidak hanya pada tataran isi, melainkan juga pada tataran bahasanya. Kita akan menemui bahasa Arab dengan berbagai dialeknya, bahasa asing, dan bahasa campuran (antara bahasa asing dan Arab).
Mengingat latar belakang objek yang demikian kompleks, studi ini tidak akan mencapai kedalaman sebelum peneliti meyakini pentingnya pendekatan ideologi-pemikiran-kultural sebagai dasar memahami eksistensi dua tipe masyarakat, kebudayaan, dan peradaban. Pembagian kebudayaan menjadi dua tipe atas dasar masyarakat tradisional dan masyarakat modern tidak akan tepat tanpa mengetahui perbedaan di antara kaum intelektual.
Pembagian ini justeru memungkinkan diketahuinya perbedaan-perbedaan di antara berbagai hal yang terdapat di dalam setiap masyarakat. Sesungguhnya perbedaan dan konflik yang terjadi di antara dua tipe kaum intelektual sangat besar. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa sesuatu dengan sendirinya tidaklah dapat diklaim begitu saja sebagai fenomena masyarakat modern, melainkan harus disadari bahwa semua itu merupakan produk dari berbagai aliran, perbedaan, dan konflik yang telah lama ada di suatu wilayah atau negeri.
Tipologi Kalangan Profesional
Penjelasan dualistik di atas juga dapat ditemui pada dunia profesi yang terbagi atas kalangan profesional modern dan pekerja tradisional. Perbedaan ini akan tampak bila kita melihat piramida kelas dari kelompok-kelompok ini. Pada puncak piramida terdapat kelas profesi elit yang didominasi kalangan modern seperti dokter dan teknisi dan ahli hukum yang posisinya lebih rendah daripada teknisi. Pada bagian bawah piramida terdapat masyarakat tradisional yang umumnya berstatus ekonomi lemah. Kelompok kedua ini terdiri atas pekerja tradisional, seperti tukang tembaga dan ahli besi atau kelompok yang telah menggunakan peralatan modern dalam batas-batas tertentu. Mereka pada umumnya masih menghargai dan menjaga kebudayaan, peradaban, dan pola hidup kerakyatan.
Tampak jelas bahwa realitas dua kelompok di atas cukup menyulitkan. Keduanya harus dipahami secara proporsional, sebab merupakan dua fenomena masyarakat yang berada dalam satu kota yang sedang berkembang. Dengan kata lain, mereka telah menginjakkan satu kakinya pada kebudayaan dan peradaban Barat tetapi kaki yang satu lagi masih tertanam pada bumi masyarakat tradisional.
Fenomena kota berkembang semacam ini harus diamati seiring dengan usaha-usaha menjelaskan berbagai kelompok masyarakat, seperti para pedagang, kalangan intelektual, dan lain-lain. Kota-kota tersebut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya membatasi perspektif terhadapnya. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa membatasi dua tipe masyarakatnya terlebih dahulu.
Kaidah Mayoritas
Melalui perspektif kaidah mayoritas --yang terdiri atas para petani, pegawai, pengusaha, fakir miskin, dan kelompok lemah-- akan kita temui bahwa mayoritas di antara mereka berasal dari masyarakat tradisional dan sebagian kecil dari mereka terbagi ke dalam kota-kota berkembang dan masyarakat baru. Sebagian pola kehidupan dan perekonomian kelompok kecil ini mendekati pola baru ala Barat, tetapi pola pikir dan pandangan umumnya masih tetap tradisional.
Tanpa memahami prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam dalam mayoritas masyarakat dari perspektif kebangsaan yang umum, akan terjadi penafsiran yang jauh. Misalnya, kesenjangan antara perspektif kebangsaan dengan para pelopornya yang berasal dari masyarakat modern yang bercorak pikir kebarat-baratan.
Tipologi Wanita
Wanita secara garis besar dapat dipolarisasikan atas dua. Pertama, wanita tradisional yang masih memegang nilai-nilai dan norma-norma serta terikat dengan pandangan umum masyarakatnya, baik dari aspek penampilan maupun tingkah laku. Kedua, wanita modern yang hidup dengan nilai-nilai dan norma-norma Barat. Perbedaan keduanya sangat mencolok.
Persoalan wanita merupakan topik menarik yang diperkenalkan oleh para pakar modern dalam rangka merusak masyarakat tradisional. Bahkan tema-tema kewanitaan telah diperkenalkan sebelum kedatangan para pakar tersebut, melalui diskusi-diskusi "peradaban" yang dilakukan dengan sangat frontal sehingga menimbulkan perdebatan. Masalah yang memicu konflik, misalnya jilbab dan cadar serta wanita karir.
Karena itu, tema-tema kewanitaan dipecahkan terlepas dari perspektif-komprehensif atas konflik ideologi pemikiran-kultural yang merupakan motif penolakan masyarakat tradisional terhadap modernisasi. Eksperimen sejarah telah menolak semua tema yang ditimbulkan dari usaha modernisasi wanita Arab untuk mempertahankan wanita tradisional. Muncul propaganda mengenakan cadar sebagai prolog mengakhiri pakaian minim. Selain itu, lahir pula sikap "keluar" dari masyarakat tradisional sebagai sikap ikut-ikutan dan teralienasi.
Bukti terakhir dapat dilihat pada wanita modern yang mulai menyesuaikan pakaian dan penampilannya dengan mode dari London dan Paris. Lihat apa yang mereka pakai pada setiap musim, bagaimana mereka menata rambut dan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya. Padahal mode pakaian dan rambut yang sekarang mereka gandrungi sebentar lagi akan mereka campakkan dan segera mencari mode terbaru tanpa mempertimbangkan aspek-aspek nilai, etika, kondisi, dan kesanggupan ekonorninya. Adakah praktik perbudakan yang lebih parah dari ini? Apakah masalah ini tidak disimpulkan secara jujur sebagai inti dari modernisasi Barat, bahkan dapat dipertanyakan kembali mana di antara kedua kelompok di atas yang lebih mencerminkan prototipe masyarakat maju, rasional, dan bebas?
Jika ukuran kemajuan dan keterbelakangan ditentukan oleh kebebasan dan sikap imitatif, maka masyarakat tradisional Arab dapat dikatakan lebih mendekati kemajuan dan rasionalitas, sedangkan masyarakat modern justeru menjadi contoh keterbelakangan, kemunduran, dan irasionalitas. Wanita tradisional dapat dipahami sebagai wanita yang maju dan bebas, sementara wanita modern justeru menunjukkan keterbelakangan dan irasionalitas. Demikianlah logika pembalikan dari apa yang dipahami oleh masyarakat modern tentang ukuran kemodernan, keterbelakangan, dan rasionalitas.
Tinjauan dua tipe masyarakat ini sesuai dengan realitas di negeri Arab. Tinjauan yang berdasarkan pemahaman bahwa hanya ada satu tipe masyarakat, tidak sesuai dengan kenyataan. Karena itu, studi-studi ilmiah yang tidak melihat adanya dua tipe masyarakat dalam kelompok sosial, kelas sosial, kaum intelektual, wanita, sistem ekonomi, etika, peradaban, dan kota ini, telah gagal dipandang dari perspektif ilmiah. Dengan kata lain, studi yang tidak mengakui masyarakat tradisional sebagai faktor peradaban yang steril dan tegak di atas jati dirinya adalah studi yang tidak ilmiah.
Penekanan parameter ideologi-kultural dalam memahami dua tipe masyarakat akan membentuk metode yang valid untuk menjelaskan realitas negara Arab dalam era transisi. Akan tetapi, fungsi parameter ini hanya sebagai landasan berpijak untuk menganalisis pranata masyarakat tradisional dan modern, kemudian berusaha membuat batasan-batasan terhadap berbagai aspek masyarakat yang terkait dengan kelompok, keluarga, etnis, iklim, dan nasionalisme yang terdapat di dalam masing-masing masyarakat.
Langkah ini diteruskan dengan membedakan perspektif pemikiran, teori, dan politik pada dua tipe masyarakat tersebut. Termasuk di dalamnya memberikan batasan pada hubungan antara dua tipe masyarakat tersebut serta hubungan keterlibatan masing-masing dalam suatu persoalan mendasar untuk menghadapi dominasi eksternal.
Dengan demikian, suatu pekerjaan yang bersifat metodologis mengenai perbedaan kedua tipe masyarakat telah dimulai dari luar (Barat). Itulah sebabnya, usaha ini perlu diletakkan pada jalan yang benar, yang mengantarkannya pada pemahaman terdalam. Hal ini membutuhkan pemahaman sejak dini bahwa realitas materi dan kehidupan dalam dua tipe masyarakat tersebut menyembunyikan konflik laten antara Islam dan westernisasi. Ini karena Islam berada pada lapisan paling dalam, sedangkan westernisasi menyusup dari luar untuk membelah masyarakat menjadi dua, yakni modern dan tradisional.
Eropa dan Studi-studi Sejarah
Perang Salib terjadi berkali-kali antara bangsa Eropa dengan Arab dan umat Islam. Meskipun perang ini telah membawa keberhasilan Eropa menguasai Dunia Islam selama dua abad (abad ke 12 dan 13 M), dan misi Barbar ini juga telah membantai ratusan ribu kaum muslimin, memporakporandakan negeri dan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi suatu yang tidak dapat dilakukannya adalah menghapuskan pola berpikir ideologi sosiokultural berlabel Islam.
Suatu hal yang menyebabkan dominasi Eropa tetap berada di luar masyarakat Islam meskipun kekuatan persenjataan mereka telah demikian jauh bergerak dalam masyarakat adalah perlawanan umat Islam yang terus menerus sehingga membuat lawan sekuat apapun dianggap tak berarti dan temporal. Perlawanan gigih tersebut dikobarkan karena Islam telah menghunjam di dalam hati dan kehidupan masyarakat.
Perlawanan itu semakin kuat ketika tentara Salib memperoleh kemenangan secara gemilang atas Arab, dilanjutkan oleh kemenangan Tartar dan Mongol. Begitu pula sewaktu Eropa pada abad ke-16 M dan seterusnya membentur pagar-pagar negara Islam selama lebih dari tiga abad, namun tak berhasil menghancurkannya. Hal inilah yang menghalangi Eropa untuk mendominasi dunia. Sebab, tanpa menghancurkan pagar-pagar tersebut, tak mungkin ia mengubah jalan sejarah, apalagi kemanusiaan berada pada masa perbudakan di tangan Eropa.
Kelemahan ini bukan karena faktor militer saja, tetapi terutama karena dilema menghadapi masyarakat Arab-Islam. Inilah yang dialami Napoleon ketika mengadakan ekspansi ke Mesir, ia kesulitan menembus ke bagian dalam wilayah umat Islam. Karena itu, ia memasang strategi berpura-pura masuk Islam sehingga ia memperoleh simpati masyarakat, yang memudahkannya menguasai wilayah tersebut.
Hal ini juga menjelaskan mengapa para imperialis selalu menitikberatkan perhatian pada penghancuran masyarakat tradisional secara berlebihan. Setelah pemusnahan tersebut, mereka menggantinya dengan masyarakat baru di wilayah mereka yang berlindung pada pilar-pilar Islam serta pola kemanusiaan, ekonomi, dan sosial Islam. Meskipun pola tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kemunduran, tradisi-tradisi, dan rasionalitas jahiliah, namun pada saat yang sama, ia tetap membawa prinsip-prinsip dasar Islam.
Dari Perlawanan Senjata ke Perlawanan yang Negatif (Pasif)
Ketika pasukan kolonial berhasil menginjakkan kaki di kawasan pantai negara-negara Islam, mereka segera menghadapi berbagai pemberontakan kebangsaan di bawah panji-panji Islam. Pemberontakan-pemberontakan tersebut melibatkan mereka kedalam pertarungan sengit yang tidak seimbang. Perlawanan tersebut menggelora di Sudan, Mesir, dan seluruh pantai Arab bagian Barat, semenanjung Arab, hak, serta semua negara Arab dan Islam.
Sejarah mencatat sikap heroik para pejuang Islam seperti Abdul Qadir al-Jazairi (Aljazair), Abdul Karim al-Khitabi (Maroko), Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (Libya), Muhammad Ahmad al-Mahdi (Sudan), para tokoh ulama Revolusi Dua Puluh, Ahmad Syahid (India), Sayid Hassan al-Madras (Iran), dan begitu banyak ulama --yang tak dapat ditulis nama mereka semua dalam kesempatan yang terbatas ini-- di Arab, Turki, Iran, Afganistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, Indonesia, dan berbagai wilayah Islam lainnya.2
Posisi Eropa belum juga mantap dengan berbagai peperangan kecuali setelah menenggelamkan masyarakat tradisional ke dalam lautan darah dan menderita karena pembantaian. Walau demikian, kekuatan militer tidak mampu memaksa masyarakat tradisional menyerah, bahkan membuat mereka semakin gigih menahan benturan dari luar dalam rangka memelihara jati diri, kemerdekaan, pola kehidupan, sosiokultural, dan produk-produknya.
Masyarakat tradisional tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma, dan konsep-konsep Islam yang dipahami secara dinamis untuk menolak tuntutan-tuntutan kebudayaan Eropa. Akan tetapi, karena terlalu kuatnya dominasi, reaksi itu menyulut peperangan yang menyeluruh di berbagai bidang. Peperangan yang dilancarkan Eropa kemudian berkembang dalam bentuk propaganda sains dan kemajuan (yang dipahami hanya secara materialistik dan sekularistik --peny.) serta pemikiran-pemikiran yang memuat tujuan imperialisme, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan di negeri-negeri Islam. Hal itu terjadi karena keterbelakangan kita dalam bidang pemikiran dan sosio-Islam.
Penyusupan dari Masyarakat Tradisional
Langkah perdana yang ditempuh Eropa untuk mendominasi masyarakat tradisional adalah dengan melakukan penyusupan yang dilakukan dalam berbagai bentuk. Strategi pertama diterapkan dengan menawarkan berbagai budaya tandingan dari Barat beserta langkah-langkah praktis untuk menerapkannya, sembari mengecilkan makna penting kebudayaan masyarakat tradisional.
Pada umumnya agen-agen modernisasi --sebagai salah satu respon terhadap imperialisme-- memainkan peranan yang sangat penting dalam menghadapi masyarakat tradisional. Peran ini khususnya tampak pada era kemerdekaan, yakni melalui serangan terhadap masyarakat tradisional dengan pemikiran dan kebudayaan. Agen-agen itu mengibarkan panji-panji nasionalisme dan revolusionisme dengan menghidupkan kembali semangat dan pengorbanan nenek moyang (nativisme) ketika berjuang melawan imperialisme.
Perlu diketahui bahwa beban penderitaan dalam perjuangan tersebut merupakan bagian masyarakat tradisional di kota-kota dan desa-desa.
Usaha menggali kembali sebagian kekuatan internal pembaruan ini mempunyai dimensi nasionalisme dan revolusionisme ala Barat. Terkadang upaya tersebut dipaksakan dengan kekuatan, bahkan tampak tak terlepas dari hubungannya dengan imperialisme Barat terhadap Islam dan umatnya. Dengan demikian, fenomena yang muncul adalah saling berhadapannya kelompok modernis dengan masyarakat tradisional. Realitas inilah yang membentuk dua corak respon terhadap kolonialisme, yaitu corak yang berpegang pada inti kemerdekaan yang diformulasikan oleh masyarakat tradisional dan corak yang mengikuti Barat yang dipelopori para modernis
Faktor-faktor Penghambat Proses Kemerdekaan
Pertama, kaum imperialis sejak semula telah membawa program memecah belah negara-negara Islam umumnya dan negara-negara Arab khususnya. Ini disebabkan kesatuan negara-negara ini menghasilkan kekuatan ideologis-kultural yang mantap. Upaya memecahbelahnya akan membuat negara-negara tersebut lemah sehingga mudah ditundukkan agar berkiblat pada jejak imperialis. Kaum imperialis menyadari bahwa memukul masyarakat tradisional di negara-negara Arab adalah tidak mungkin kecuali umat Islam khususnya dan bangsa-bangsa Arab khususnya berada dalam kondisi berpecah belah.
Kedua, para imperialis berusaha keras menghancurkan tanaman-tanaman tradisional, usaha-usaha yang telah ada, sistem pemilikan, pertukaran, produksi, dan pekerjaan umum yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Upaya ini merupakan salah satu strategi menghalangi kemerdekaan yang mengakibatkan negeri-negeri jajahan mengekor pada Barat.
Mereka menuntut agar pribumi berpakaian, makan-minum, membangun rumah, berproduksi, membina anak, dan lain-lainnya dengan cara Barat. Sehingga disulutlah peperangan secara umum di tengah-tengah masyarakat tradisional untuk melawan teknik-teknik pertanian, produksi, bangunan, pola berpakaian, makan, minum, pendidikan, rumah tangga, serta nilai-nilai moral dan sosial.
Kemudian mereka melancarkan perang psikologis untuk menghadapi kelompok pribumi yang menentang Eropa dalam berbagai aspek. Usaha ini dilakukan dengan mengubah konsep-konsep kebudayaan tradisional ke konsep Eropa. Misalnya konsep sains dan kemajuan yang diperkenalkan oleh kelompok modernis di negara-negara Islam. Perubahan ini akhirnya mengakibatkan tumbuhnya pemahaman dan sikap masyarakat yang baru tentang negerinya dan Barat, yaitu Barat identik dengan peradaban maju, kebebasan, dan kebesaran, sedangkan negara Islam sebaliknya.
Demikianlah proses terbentuknya masyarakat modern. Kemudian masyarakat baru ini berusaha memperkokoh eksistensinya di sisi masyarakat tradisional yang berupaya sekuatnya tetap mempertahankan jati diri.
Ketiga, kaum imperialis memfokuskan perhatiannya untuk menghancurkan peranan ilmu-ilmu keislaman dan lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang bercorak kebangsaan dan tradisi. Mereka mengubah pola kehidupan kultural yang dihayati masyarakat tradisional serta melecehkan dan menghinanya secara berlebihan. Kemudian mereka membangun sekolah-sekolah modern dan memberi semangat pada para siswa untuk memasuki universitas-universitas Eropa.
Setiap parameter mereka dijadikan sebagai ukuran yang berlaku pada masyarakat modern, serta para pegawai, pembuat hukum, kalangan profesi, intelektual, pendidik, sastrawan, dan budayawan dijadikan sebagai pelopornya. Padahal ukuran-ukuran baru yang ditawarkan tidak relevan dengan realitas masyarakat tradisional, dan hanya relevan dengan alumni sekolah-sekolah dan universitas-universitas mereka, serta orang-orang yang mengambil program dan metodologinya dalam bidang-bidang tersebut.
Demikianlah, tugas-tugas dan posisi-posisi di dalam negara, tentara, koperasi, bank, dan lembaga-lembaga kebudayaan merupakan bagian dari proyek alumni perguruan tinggi Barat atau hasil modernisasi ala Barat. Sedangkan lapisan terdidik dari kelompok masyarakat tradisional tidak memperoleh kesempatan dalam proyek ini.
Keempat, kaum imperialis sengaja menciptakan intrik terhadap kaum minoritas (non muslim) dan pertentangan mazhab di kalangan masyarakat tradisional, padahal kaum minoritas lebih dekat dengan masyarakat tradisional. Untuk memudahkan proses pembentukan masyarakat modern, usaha tersebut harus mereka lakukan. Sebagai contoh, orang-orang Kristen Arab sebenarnya memiliki akar-akar kesejarahan dan pembentukan jati diri kultural-ideologis (sejarah, tradisi, moral, dan jalan hidup) yang lebih dekat dengan masyarakat tradisional.
Eropa merasa kesulitan ketika ingin memisahkan dua unsur tersebut karena ia harus berhadapan dengan jaringan yang kokoh di dalam negara Arab, akan tetapi, hal itu tidak menghambat keberhasilan Eropa pada kurun waktu belakangan ini, khususnya ketika sebagian pribumi (non muslim) mulai mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah misionaris yang menyebarkan pengaruh modernisasi. Akibatnya, kelompok minoritas ini semakin jauh dari masyarakat tradisional dan semakin dekat dengan masyarakat modern.
Pembahasan ini telah meliputi lingkup dua tipe masyarakat yang berada di Arab.
Lenyapnya Keseimbangan
Dampak peperangan ini memasuki berbagai macam nilai, ukuran, dan moral yang dibangun masyarakat tradisional. Mereka didesak untuk meninggalkan tradisi lama dan melepaskan diri dari nilai-nilai dan parameter-parameternya. Hal ini terjadi ketika nilai-nilai dan ukuran-ukuran baru menggeser nilai-nilai dan ukuran-ukuran lama yang mengakibatkan pertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang selama ini dipegang masyarakat tradisional. Masyarakat menjejakkan kakinya di atas bumi secara tidak mantap, karena kemajuan yang dicapai pada dasarnya bermakna semu dan masyarakat cenderung bersikap dualistik.
Meski demikian, tujuan para imperialis hanya dapat direalisasikan pada sebagian masyarakat saja, bukan keseluruhannya. Masyarakat tradisional masih tetap bertahan, meskipun telah mengalami banyak kerugian dan desakan di sana-sini. Sedangkan dari masyarakat modern, yang semula diharapkan Eropa untuk memantapkan misi pembaruannya, ternyata sebagian justru mengadakan perlawanan terhadap imperialisme dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan negerinya. Kelompok ini banyak bermunculan pada 1930-an, 1940-an, dan 1950-an. Kelompok ini merintis perlawanan lokal terhadap dominasi langsung kekuatan asing dan mendirikan pemerintahan regional yang mandiri.
Masyarakat Modern yang Konsumtif
Realita sosial menunjukkan bahwa racun yang disebarkan kaum imperialis untuk mengubah perjalanan masyarakat menuju modernitas, ternyata membentuk prinsip-prinsip dasar untuk menyempurnakan strategi pembebasan diri dari dominasi asing. Kekuatan nasional yang bergerak menuju terciptanya masyarakat modern tidak memahami dimensi kultural dalam konflik yang terjadi. Mereka dengan bersemangat menghancurkan semua aspek yang telah mapan dalam masyarakat tradisional, yaitu: pertanian, industri, pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan perilaku. Hal ini dilakukan tanpa memperlemah akidah Islam sedikit pun. Artinya, usaha mereka dilakukan tanpa memahami inti penyebab perang secara komprehensif yang menjadi obsesi kaum imperialis dalam memusnahkan masyarakat tradisional dan membangun masyarakat modern ala Barat.
Mereka juga tidak menyadari bahwa imperialisme tidak hanya melakukan dominasi politik langsung dan merampas ekonomi saja, melainkan berdimensi kultural untuk menghancurkan prinsip-prinsip kepribadian. Ketidaksadaran ini akan mengurangi perjuangan melawan imperialisme. Begitu pula perjuangan ekonomi akan melemah jika prinsip-prinsip dasar itu mengendur.
Pada 1960-an dan 1970-an, kondisi masyarakat semakin buruk akibat intervensi asing. Dunia terperosok dalam perangkap rasionalisme destruktif atau tepatnya dalam pola kehidupan gaya Amerika yang merusak. Sesungguhnya rasionalisme masyarakat modern membawa konsesi-konsesi (kerelaan-kerelaan) yang jauh, yaitu menjadikan masyarakat modern semakin berkembang sesudah kemerdekaan, peran wanita lebih dominan dari masa-masa sebelumnya dan memperkokoh dirinya secara tidak proporsional, dan pemasokan peralatan industri besar yang tidak disertai kualitas sumber daya manusia (SDM) sehingga mengakibatkan membengkaknya hutang negara serta menguatnya kelemahan dan ketergantungan dengan dunia maju. Strategi alih teknologi dari Amerika terus dimaksimalkan, yang berakibat menguatnya dominasi asing di kawasan ini, khususnya dalam aspek kebudayaan dan peradaban.
Kesinambungan kehidupan berdasarkan pola modern atau usaha melestarikannya hingga pasca kemerdekaan dan keberhasilan revolusi nasional, mendorong suatu negara untuk mengarah ke sistem asing, meskipun warganya memiliki cita-cita luhur dan perasaan nasionalisme. Selama kita masih membebek pada Barat dalam segala hal, kita tidak dapat terlepas dari kungkungannya. Apakah kita hendak membiarkan mayoritas rakyat pada sikap pembebekan tersebut? Kita ambil contoh sederhana. Sesungguhnya mengenakan busana Eropa sebagai ganti busana tradisional tidak sekadar mengubah bentuk pakaian saja, melainkan diikuti pula oleh perubahan pada sektor lain seperti pertanian, industri, profesi, dan lain-lain yang terkait. Lebih dari itu, perubahan busana akan melahirkan perubahan sikap dan tingkah laku karena si pemakai harus menyesuaikan diri dengan busana yang dikenakannya. Padahal jika kita tetap mempertahankan busana yang sesuai dengan jati diri bangsa dan mengembangkannya berdasarkan prinsip-prinsipnya, tentu pertanian, pasar, dan profesi kita akan semakin berkembang pula. Terobosan ini akan mengurangi tumpukan hutang kita, sehingga kita dapat memecahkan persoalanpersoalan lain.
Jadi, masalah yang kita hadapi adalah intervensi asing di bidang kebudayaan, spiritual, moral, kemerdekaan dan keaslian tradisi, serta ekonomi dan pertumbuhan. Pendek kata, semua aspek peradaban.
Dominasi ekonomi-militer tidak akan berhasil sebelum prinsip-prinsip masyarakat tradisional dihancurkan dan diganti dengan prinsip-prinsip baru yang tergantung pada Barat. Bila proses modernisasi terus ditekankan, maka pembebekan terhadap Barat akan tetap terjadi, sebab ia merupakan mata rantai modernisasi.
Akibat Pemisahan Diri dari Masyarakat Tradisional
Masyarakat modern membentuk patokan-patokan yang menjadi dasar logika sikap kebarat-baratan atau pemisahan diri dari peradaban Arab-Islam, tradisi, dan sejarahnya. Masyarakat yang mengekor pada Barat ini telah diabaikan sebagian bangsanya sehingga mengalami kemunduran, namun menurut persepsinya, mereka sedang mengalami kemajuan. Mereka mengekor, namun merasa telah mandiri. Mereka mengeksploitasi mayoritas masyarakat, namun merasa telah berbakti demi kebaikan masyarakat! Anggapan ini disebabkan oleh pemikiran, metodologi, dan langkah strategi yang diterapkan terlepas dari akar-akar kebangsaan dan kaidah-kaidahnya yang kokoh dan absah secara historis. Pemisahan diri dari masyarakat tradisional berarti melepaskan kita dari patokan revolusi. Padahal masyarakat luas mampu menghadapi kekuatan asing, berjuang untuk meraih kemerdekaan, dan membangun patokan yang tak tergoyahkan oleh pola hidup destruktif.
Pertentangan yang Kompleks
Kita melihat sebab-sebab yang membuat pertarungan peradaban sejak semula telah memicu konflik antara kaum imperialis dan masyarakat tradisional. Kedua kubu ini amat memahami seluk-beluk perang sehingga masing-masing bertempur dalam berbagai aspek, selain politik dan militer. Maka pecahlah perang pemikiran dan moral. Bertemulah kedua paradigma pemikiran ini yang menimbulkan pertentangan yang kompleks. Kelompok modern meletakkan persoalan yang muncul dalam konteks perang melawan keterbelakangan dan kemunduran, bukan pertentangan antara kemerdekaan dan ketergantungan (terhadap bangsa asing dan cara hidupnya). Sedangkan kelompok masyarakat tradisional mengagendakan permasalahan dalam konteks perang melawan kerusakan moral. Mereka menyadari bahwa memerangi kerusakan moral dengan menghancurkan sebab-sebab utamanya juga bermakna perang demi kemerdekaan. Ini karena kerusakan moral dapat melenyapkan prinsip-prinsip masyarakat yang fundamental, yaitu: ideologi, pemikiran, kebudayaan, moralitas, pola hidup, produksi, dan eksistensinya.
Kalangan intelektual nasionalis (kelompok modernis) turut bergabung melawan keterbelakangan dan kemunduran dengan mengupayakan cara-cara membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan dan kemunduran dalam rangka mencapai kemerdekaan nasional. Akan tetapi, kelompok modernis mengadopsi metodologi Barat dalam mencapai kemajuan, sedangkan masyarakat tradisional cukup puas dengan penolakan terhadap hal-hal yang merusak moral dan menghindari keterlibatan dalam politik untuk sementara. Pada periode lain, kelompok tradisional benar-benar menjauhkan diri dari kancah kemerdekaan dan penolakan terhadap sikap meniru Barat. Hal ini mengakibatkan tertutupnya muatan yang lebih luas bagi perang, sebab perang diidentikkan dengan pertempuran fisik. Masyarakat tradisional sangat banyak jumlahnya dan jika mereka berperang, maka tak ada pilihan lain kecuali hidup atau mati. Sejarah yang menyaksikan membanjirnya darah masyarakat dalam perjuangan tanpa memperoleh kemenangan, berulang-ulang mengingatkan kita agar lebih sabar menghadapi masalah dan bekerja secara diam-diam. Akan tetapi, konflik terselubung memang secara potensial berkembang menjadi konflik terbuka dari situasi ke situasi. Masyarakat tradisional telah mengorbankan nyawa untuk memelihara kemurnian dan kemerdekaan melawan berbagai tekanan hebat dari berbagai penjuru.
Catatan Seputar Tipologi Masyarakat
Berdasarkan klasifikasi masyarakat menjadi dua tipe tersebut, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan di bawah ini.
Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional, yang menjadi mayoritas penduduk, sangat teguh memelihara upaya perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan kultural Barat. Sebagai bukti pemeliharaan terhadap prinsip-prinsip dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada pola kehidupan Islami dan tidak meniru Barat.
Sikap ini merupakan landasan yang kokoh bagi perjuangan nasional dan merupakan faktor yang membuat kelompok ini lebih banyak berperan pada fase pembangunan kemerdekaan, persatuan, revolusi, dan pertumbuhan. Meski demikian, perlu diperhatikan beberapa kekurangan masyarakat tradisional yang akan ditengarai di bawah ini.
Pertama, konflik melawan kekuatan yang muncul dari dalam masyarakat tradisional jauh lebih sulit daripada konflik melawan agen-agen masyarakat modern. Acapkali terjadi, suatu pribadi atau kelompok (misalnya sebagian tokoh Asy'ari) cukup berakar di masyarakat dan mampu memicu konflik di dalam tubuh masyarakat tradisional. Suatu waktu mereka dapat menonjolkan semangat etnis dan kelompoknya.
Menurut sebagian peneliti kontemporer, para tokoh sekularis Barat mengutamakan penyelesaian masalah kelemahan masyarakat, ekonomi, dan bangsa atas dasar kelompok, etnis, dan keturunan. Akan tetapi, kelompok dalam masyarakat tradisional ini juga berpandangan bahwa penonjolan Islam akan menyelamatkan rasa fanatisme yang telah pudar ketika berdampingan dengan sekularisme.
Kedua, para pejuang menceritakan peristiwa-peristiwa sedih secara berlebihan, hal-hal yang mengganggu pikiran, dan intimidasi yang sangat keras kepada generasi muda. Faktor ini mewariskan kepada mereka kecenderungan untuk selalu khawatir, menimbulkan sikap negatif, dan menenggelamkannya dalam kejumudan. Selama belum diubah, sikap semacam ini akan menghambat potensi aktif mereka untuk memainkan peran kreatif dan positif dalam menyelesaikan problema sosial.
Kini bukan saatnya lagi kita merasa cukup kembali kepada jati diri, karena kunci kemenangan terletak pada kemampuan menyuguhkan solusi islami yang antisipatif terhadap problematika kontemporer. Apalagi solusi tersebut diberikan pada saat situasi dunia berada dalam krisis panjang dan suasana kehidupan yang mencekam.
Ketiga, masyarakat tradisional menghadapi persoalan dominasi asing atau dominasi masyarakat modern sebagai kendala yang berkesinambungan, khususnya penetrasi nilai-nilai dan modernisasi Barat. Dalam kenyataan, mayoritas masyarakat tidak mampu membendung pengaruh-pengaruhnya, bahkan cenderung menerima nilai-nilai tersebut sebanyak-banyaknya. Memang perlawanan secara perorangan mampu menolak unsur-unsur esensial dari modernisasi Barat, namun lambat laun pertahanan itu akan rapuh.
Fenomena paling berbahaya yang menyerang masyarakat Arab dewasa ini adalah gelombang pasang kekayaan minyak yang berdampak pada tumbuhnya gaya hidup hedonis dan konsumtif. Sangat disayangkan, fenomena tersebut tidak hanya ditemui pada masyarakat Arab modern, tetapi juga masyarakat tradisional. Acara TV yang bersifat destruktif, film video yang mengumbar kekerasan dan seks, dan mode pakaian yang tidak islami dapat ditemui di desa-desa. Perluasan pendidikan sekular melalui metode-metode modern merembesi rumah-rumah.
Fenomena paradoksal tersebut timbul karena tuntutan kehidupan modern ala Barat yang diperkenalkan oleh media massa serta pilihan kebijakan politik pemerintah. Di sisi lain, umat Islam tidak mampu mengedepankan alternatif islami untuk mengantisipasi dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi secara tepat, sehingga paradoks-paradoks tersebut menebarkan bahaya destruktif di negeri Arab.
Menangani konflik melawan penetrasi ini jauh lebih sulit daripada sekadar perang di atas altar kebudayaan, pemikiran, moral, dan tradisi. Masyarakat konsumtif yang sedang kita hadapi merupakan faktor penghambat proses liberalisasi, mengejar ketertinggalan, dan menanamkan prinsip-prinsip kebangkitan Islam yang jauh dari sikap pembebekan terhadap Barat.
Keempat, masyarakat tradisional hidup dalam pertahanan panjang, mereka memagari dan membentengi diri secara kokoh dari berbagai pengaruh negatif. Dalam kondisi demikian, tidak ada yang mampu menembus pertahanan tersebut. Mereka berlebihan dalam mempertahankan dan membentengi diri sehingga berbagai upaya pembaruan dan perubahan masyarakat tradisional membutuhkan perjuangan yang besar dan mungkin dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat tradisional dalam masa transisi menuju masyarakat modern.
Hal ini mengakibatkan terciptanya dinding pembatas yang tinggi di pihak masyarakat tradisional. Dinding pembatas itu secara temporal dianggap penting ketika terjadi keterbukaan antarbudaya yang menyebabkan masyarakat tradisional terseret dalam gaya hidup konsumtif dan pembebekan terhadap Barat yang mengakibatkan jati diri bangsa terancam. Akan tetapi, pada masa ketika masyarakat dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, sikap tersebut menjadi negatif, karena dalam situasi pembangunan, yang dibutuhkan bukan hanya sikap defensif. Sejauh penjagaan dimaknai sebagai upaya melindungi jati diri bangsa dan menangkal dominasi asing, maka hal itu wajar.
Keberhasilan pembangunan akan dicapai bila dibarengi dengan upaya mempertahankan identitas keislaman. Karena itu, salah satu metode yang harus ditempuh untuk meraih kesuksesan Islam di Arab adalah dengan menarik unsur-unsur masyarakat modern semaksimal mungkin, membinanya dengan dakwah, dan tidak membiarkannya terpengaruh cara hidup sekular.
Masyarakat tradisional telah merespon tantangan yang dihadapi dalam bentuk perlawanan dan pertahanan, tetapi mereka belum beranjak pada langkah-langkah yang harus ditempuh setelah meraih kemenangan. Tidak ada alasan untuk mengatakan tidak mampu. Sebaliknya, kesuksesan pertama menunjukkan kemungkinan kesuksesan berikutnya. Usaha yang perlu dilakukan adalah menyodorkan solusi terhadap problematika manusia dewasa ini dan merekonstruksi masyarakat secara positif. Kegagalan pada masa lalu yang mengakibatkan umat Islam semakin membebek terhadap Barat menunjukkan kelemahan kita dalam memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.
Masyarakat Modern
Pertama, bentuk kebudayaan dan peradaban masyarakat modern mengikuti pola kehidupan, cara, ukuran, dan konsep Barat, termasuk teori, partai, perspektif pemikiran ideologis, dan politiknya. Masyarakat modern merupakan cetak biru masyarakat Barat, sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka meninggalkan model masyarakat tradisional, bahkan berlawanan.
Meskipun struktur dan elemen-elemen masyarakat modern lemah dan rapuh dibandingkan dengan masyarakat tradisional, namun mereka mendominasi sektor-sektor terpenting dan strategis. Mereka berkepentingan mewujudkan persatuan dua bentuk masyarakat yang ada dengan mengkondisikan masyarakat tradisional untuk menerima modernisasi. Maka terjadilah kontradiksi-kontradiksi antar keduanya secara mendalam dan esensial.
Masyarakat modern cenderung agresif dan otoriter dalam menghadapi masyarakat tradisional. Mereka menggunakan pendekatan apa saja yang memungkinkan untuk menyodorkan modernisasi kepada masyarakat tradisional. Masyarakat modern lebih mengutamakan alternatif-alternatif Barat daripada kembali ke pandangan hidup masyarakat tradisional. Akan tetapi, sikap tersebut tidak dapat mencegah hal sebaliknva dari masyarakat tradisional dalam keimanan, perasaan nasionalisme, kemerdekaan, dan kehormatan.
Kedua, masyarakat modern mencoba menghapuskan pemikiran masyarakat tradisional dengan jalan membodohi, menyepelekan, atau menganggapnya sebagai pemikiran yang terbelakang dan suram. Mereka mencoba melupakan keberadaan pemikiran pembanding (Islam).
Ketiga, masyarakat modern berusaha melepaskan diri dari negerinya karena model ideal mereka berasal dari luar (Barat), sedangkan masyarakat tradisional yang merupakan mayoritas masih tetap berpegang pada nilai-nilai dan kepribadian nasional. Sehingga perubahan revolusioner sulit diwujudkan, sebab perubahan dapat terjadi bila melibatkan mayoritas masyarakat.
Perubahan kepercayaan, pemikiran, kebudayaan, dan peradaban merupakan prasyarat bagi perubahan ekonomi, politik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, ketika masyarakat modern tak dapat mengakomodasikan apa yang tersedia di lingkungannya, mereka memilih alternatif atau model dari negara imperialis yang menjadi pusat-pusat kekuatan dunia. Secara politis, mereka berlindung pada negara-negara tersebut. Terbukalah kemungkinan konfrontasi antara kekuatan eksternal dengan kekuatan internal (kekuatan Islam) bila Islam hendak ditampilkan sebagai kekuatan nyata.
Keempat, para imperialis membangun sekolah-sekolah dan universitas-universitas untuk menghasilkan lapisan intelektual yang dapat berkolaborasi dan memberikan kontribusi langsung maupun tak langsung dalam bidang akidah dan pemikiran kebudayaan.
Antek-antek imperialis melakukan kezaliman terhadap bangsa dan merendahkannya. Umat merasakan perlakuan itu dan bangkit melawan golongan imperialis.
Sebagian intelektual sekular mencoba memerangi imperialisme secara politik dan ekonomi. Akan tetapi, kacamata politik dan ekonomi yang digunakan berakar pada peradaban Eropa yang membuat mereka semakin jauh dari masyarakat tradisional dan dekat dengan pihak yang sepaham di luar negeri. Kondisi ini menyebabkan mereka membawa benih-benih pertentangan asasi dengan bangsa sendiri dan pengekoran terhadap pihak asing. Kalangan intelektual ini tetap menghadapi kendala liberalisasi dan pentingnya menanggalkan sikap kebarat-baratan yang tidak akan berhasil kecuali melalui perubahan mendasar ke dalam dan memutuskan hubungan dengan pihak luar (Barat).
Kelima, masyarakat modern tidak mempunyai program revolusi, melainkan mempunyai program dominasi kekuasaan. Ini karena masyarakat modern tidak mengambil model perubahan dari bangsanya, tetapi dari Barat. Padahal suatu revolusi tidak akan berhasil kecuali bila berasal dari dalam (bangsa). Dengan kata lain, tidak ada revolusi dalam rangka perubahan positif dan mendasar yang dapat mempersatukan dan membebaskan umat, melenyapkan kezaliman, serta memotivasi orang-orang untuk bekerja, mengajar, dan berkreasi, melainkan yang bersumber pada ajaran Islam.
Revolusi tidak akan terjadi bila didasari pemikiran kebarat-baratan atau di bawah komando para tokoh modernis sekular. Karenanya, para cendekiawan arsitek revolusi yang ingin menyatukan masyarakat, membebaskan negeri, menegakkan demokrasi sebagai ganti kediktatoran, keadilan sebagai ganti kezaliman, dan intelektualitas sebagai ganti sikap peniruan, maka akan sia-sia selama mereka tidak mengubah diri dan kembali ke pangkuan akidah, pemikiran, dan peradaban Islam.
Kesinambungan hidup di atas pola modern yang meniru buta dari model Barat atau usaha mempertahankan kelestariannya setelah era kemerdekaan adalah sebuah tindakan subjektif, meskipun dilandasi niat baik dan perasaan nasionalisme.
Disintegrasi, Integrasi, dan Tipologi Masyarakat
Kita perlu mengingat kembali bahwa salah satu faktor definitif yang membuat masyarakat umum merasa lemah dan menyebabkan masyarakat tradisional berlama-lama menghadapi situasi negatif adalah disintegrasi. Faktor ini mengakibatkan negara-negara Islam, termasuk di Arab, menjadi negara-negara kecil dan lemah.
Disintegrasi merupakan faktor terpenting yang dilancarkan imperialisme untuk mendominasi pemerintahan suatu negara sehingga pembangunan masyarakatnya diorientasikan pada corak Barat. Masyarakat Barat dibangun di atas dasar disintegrasi dan diskriminasi yang menjadi tumpuan rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pola kehidupan Barat. Hal-hal tersebut tidak berarti di hadapan Islam dan masyarakat tradisional yang masih orisinil sebagai rival negara disintegrasi dan aspek-aspek yang bertumpu pada disintegrasi dan diskriminasi (rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pemolaan kehidupan Barat).
Perang ideologi-kultural semakin membara setelah berdirinya masyarakat modern. Maka masyarakat tradisional menegaskan peperangan yang menyeluruh melawan kekuatan imperialisme asing, sebagaimana mereka menegaskan penentangan terhadap kelompok-kelompok lokal yang menjadi eksponen pembaruan versi Barat.
Secara historis, masyarakat modern lahir dalam lingkup disintegrasi, sehingga negerinya pun berwatak disintegratif. Padahal lembaga-lembaga ekonomi dan kebudayaannya merupakan institusi lokal. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat modern merupakan produk undang-undang disintegrasi yang berdampingan dengan agama dan melahirkan disintegrasi dalam berbagai hal.
Sebagai perbandingan, perlu diketahui bahwa masyarakat tradisional lahir, tumbuh, dan mengalami dinamika dalam ayoman integrasi Islam yang lebih luas selama kurang lebih tiga belas abad, kemudian mengalami kemunduran dan dikalahkan oleh masyarakat modern dengan imperialisme dan batasan-batasan disintegrasinya. ltulah sebabnya, masyarakat tradisional merasa tertekan hidup di bawah sistem disintegrasi. Secara historis dan teologis, Islam memang paling tepat bagi mereka.
Bila kita memahami hal tersebut dari sisi hubungan masyarakat modern dengan disintegrasi dan masyarakat tradisional dengan integrasi, maka terlihat bahwa keduanya mempunyai peluang untuk menciptakan hasil-hasil yang luar biasa bagi kekuatan Arab menuju integrasi yang sebenarnya. Hasil terpenting tersebut adalah bahwa kekuatan itu muncul dari komitmen terhadap Islam, akidah, metode, dan sistemnya, serta pemahaman terhadap masyarakat tradisional dalam perspektif yang benar terhadap integrasi. Demikian pula ketulusan bekerja dalam rangka mencapai integrasi Arab mengharuskan kita melepaskan diri dari proses pembaruan yang disintegratif dan berbagai mazhab pemikiran Barat-sekular. Bila kesimpulan ini benar, maka dapat digunakan untuk melihat sebab-sebab yang menjadikan program-program integrasi Arab mengalami kegagalan setiap dicoba di negara dan masyarakat modern.
Integrasi Masyarakat
Sejak semula para imperalis ingin merongrong integrasi masyarakat Arab, memotong jalinan kesejarahan, dan mengubahnya menjadi masyarakat pengekor kebudayaan Barat. Dalam batas-batas tertentu, usaha tersebut telah menampakkan hasilnya. Realitas kontemporer menunjukkan adanya dua kelompok masyarakat yang saling bertentangan di wilayah Arab. Kini, kedua kelompok tersebut terlibat konflik berkepanjangan sehingga lenyaplah kekuatan mereka. Padahal di masa lalu, keduanya bersatu padu. Kondisi tersebut melemahkan posisi Arab di hadapan kekuatan musuh asing yang bersatu.
Integrasi keduanya tidak akan berhasil dengan cara berandai-andai atau membiarkan penyebab utamanya terus berkembang. Masalah ini dapat dicarikan penyelesaiannya melalui pemahaman mendalam dan tepat mengenai realitas masing-masing kelompok masyarakat. Kita tidak mungkin merealisasikan integrasi, mewujudkan revolusi kemajuan, dan pemecahan masalah-masalah besar selama tidak melepaskan diri dari ketergantungan pada Barat dan menolak kesenjangan secara tegas.
Syarat keluar dari kejumudan dan ketertinggalan itu adalah berpijak pada masyarakat tradisional yang bernaung di bawah panji Islam. Kembali kepada Islam merupakan syarat kemajuan yang sebenarnya dan orisinal, serta bagi kebangkitan berbagai lapisan dan kelas masyarakat. Wallahu a'lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Terminologi "modern" atau "modernisme" yang terdapat pada pembahasan ini bermakna kemajuan atau paham kemodernan yang berwatak sekularis-materialis sebagaimana lazimnya paradigma modernisme Barat. Penjelasan ini perlu diberikan untuk menghindari kesalahpahaman yang memandang Islam sebagai agama antikemajuan (antimodern). Pada masa keemasan Islam, peradaban Islam adalah peradaban yang sangat modern, ketika Eropa masih begitu primitif. Bahkan renaisans Eropa berhutang budi pada proses berpikir dan hasil-hasil modemisasi ala Islam. (Penyunting).
2 Abdul Qadir al-Jazairi, Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (tokoh tarekat Sanusiyah), Muhammad Ahmad al-Mahdi, dan Ahmad Syahid (tokoh tarekat Chistiyah dan Naqsyabandiyah) adalah tokoh-tokoh sufi. Di Indonesia, untuk menyebut sedikit contoh, kita mengenal Syekh Yusuf al-Makassari --beliau menguasai lebih dari satu tarekat-- dan Pangeran Diponegoro sebagai sufi-sufi pejuang yang gigih bertempur menentang kolonialisme. Fakta sejarah ini merupakan antitesis terhadap anggapan bahwa tasawuf telah memundurkan umat karena ajarannya yang fatalistik. Bahkan tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna, sejak usia 16 tahun telah berbai'at menjadi anggota tarekat Hasafiyah (Lihat: Ensiklopedia Islam Indonesia, Djambatan, 1992, hlm. 303). (Penyunting)
Pertama, masyarakat asli (tradisional) yang pada umumnya mempertahankan pola masyarakat Islam, yakni masyarakat yang berpegang teguh pada warisan dan tradisi serta memelihara sejarah. Masyarakat ini berfungsi sebagai penerus pola sosial masa lampau di bawah dominasi kolonialisme.
Kedua, masyarakat modern yang terbentuk di bawah pengaruh dominasi kolonial asing. Mereka berusaha menegakkan modernisasi ala Barat, sehingga pola pemikiran, gaya hidup, dan konsep-konsep Barat mewarnai masyarakat tipe ini.1
Mengapa Menggunakan Pendekatan Ideologis-Kultural?
Sebagian cendekiawan yang terpengaruh metodologi penelitian Barat menganggap bahwa pemakaian pendekatan ideologis-kultural dalam memahami masyarakat Arab-Islam merupakan suatu bias ilmiah. Ini karena konotasi ilmiah dalam tradisi berpikir mereka terbatas pada metode tertentu yang disepakati mereka. Artinya, mereka menganggap metode yang berbeda parameter, konsep, dan contoh historisnya dengan metode Barat sebagai metode yang tidak ilmiah.
Akan tetapi, jika kita menyepakati keabsahan tesis yang menyatakan bahwa corak masyarakat Islam jauh berbeda dengan corak-corak masyarakat yang didefinisikan Eropa, maka tesis ini sejak semula telah menggugurkan klaim keilmiahan metode-metode Barat yang selama ini digunakan untuk menganalisis masyarakat Arab-Islam. Ini karena metode ilmiah tidak alergi terhadap data-data yang meliputi berbagai konsep, parameter, dan pola kemasyarakatan.
Keilmiahan suatu penelitian ditentukan oleh sejauh mana penelitian itu mampu mengungkapkan fakta yang sebenarnya serta sejauh mana ia dapat meletakkan aspek-aspek tertentu pada proporsi yang sebenarnya. Bukan kesesuaiannya berdasarkan metode penelitian tertentu, misalnya metode Barat!
Selain itu, memahami realitas sosial negara Arab berdasarkan prinsip dikotomi antara dua tipe masyarakatnya adalah bertentangan dengan studi-studi pada umumnya, yang telah menganalisis sifat-sifat dasar masyarakat Arab-Islam, sehingga studi ini --yang memandang masyarakat Arab sebagai satu tipe-- akan menjadi studi yang menerapkan analogi-analogi masyarakat modern. Bila demikian, penelitian akan cenderung menafikan eksistensi masyarakat tradisional.
Meskipun benar bahwa masyarakat modern menguasai negara setelah jatuhnya kekuasaan kolonialisme dan berusaha menyatukan masyarakat di atas dasar dominasi dan pola modern, hal itu tidak berarti pihak yang tersisih (masyarakat tradisional --peny.) kehilangan eksistensi sama sekali dan harus tunduk pada garis masyarakat dan negara yang baru, sehingga mereka harus berbicara dengan bahasa modern dan menggunakan ukuran-ukurannya untuk memperoleh keberadaan yang diakui. Maka, lahirlah dualisme hukum dalam kancah ketegangan.
Sebab utama keabsahan penerapan pendekatan ideologis-kultural ini --kendati dipandang terdapat dua tipe masyarakat di negara-negara Arab-- dikembalikan kepada peran besar yang dimainkan oleh Islam dalam membentuk corak masyarakat Arab-Islam; suatu peran yang tidak ada duanya dibandingkan dengan tipe masyarakat manapun. Islam menjadikan bangunan pemikiran ideologis sebagai salah satu syarat kokohnya konstruksi materi dan hubungan sosial. Sebab, seandainya masyarakat Arab-Islam mencoba melepaskan dirinya dari pusat ideologinya (Islam), niscaya ia akan tercerabut dari akar-akarnya, dan pada gilirannya akan mengalami kegoncangan.
Sebagai catatan, tesis mengenai program yang berangkat dari perspektif dualisme masyarakat dunia Islam, seyogianya disandarkan pada sejauh mana pandangan itu dapat diterapkan pada realitas.
Tipologi Pelaku Ekonomi
Bila kita berjalan-jalan di jantung kota-kota di Arab, kita akan menemui pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Kita dapat menyaksikan dua tipe areal yang perbedaannya sangat jauh, bahkan sangat mencolok. Kondisi semacam ini tak urung dapat ditemui juga di negara-negara Islam yang lain.
Dalam satu paket kebijaksanaan pemerintah terdapat dua komunitas pedagang, yaitu komunitas pedagang masyarakat tradisional dan komunitas pedagang masyarakat modern. Pada masing-masing komunitas tersebut, terdapat kelompok pedagang kecil, menengah, dan besar. Ada yang menempati bazar-bazar, pasar-pasar tradisional, gang-gang, dan perkampungan. Ada pula yang menempati kawasan elit.
Maka kita tidak sulit membayangkan dua tipe peradaban dari dua masyarakat yang berbeda di Arab. Termasuk di dalamnya: perbedaan nama, bahasa, cara berbicara, dan perilaku.
Tipologi Intelektual
Masalah ini akan tampak lebih jelas bila kita meneliti masalah pendidikan dan produknya. Terdapat dua tipe intelektual atau akademisi yang sangat kontras. Universitas-universitas yang mendasarkan diri pada sistem sekular mengedepankan corak kultur dan menelurkan alumninya yang tentu saja tidak lepas kaitannya dengan bentuk-bentuk kebudayaan Barat.
Perbedaan mencolok dapat kita lihat pada alumni al-Azhar (Mesir), Zaitunah (Tunisia), Qurawiyyin (Maroko), Qum (Iran), Najf (Irak), dan Fakultas Syariah di Suria dibandingkan dengan lulusan berbagai universitas di Paris, London, Washington, Moskow, atau institusi lokal yang modern. Tampak jelas adanya dua tipe pendidikan dan alumni yang dihasilkannya.
Dua tipe ini semakin terlihat tajam ketika diadakan pengamatan terhadap berbagai organisasi dan pranata kultural sebagai produk kebudayaan dan kalangan intelektual dalam masyarakat. Pada satu sisi, terdapat lembaga-lembaga studi keislaman dan pendidikan kebangsaan, masjid-masjid beserta halaqahnya, serta syekh tarekat dan para muridnya. Dari lembaga-lembaga ini muncullah berbagai pola kebudayaan bangsa yang akhirnya membentuk suatu tipe tersendiri sebagai penyambung corak masyarakat sebelum terjadinya perang dengan bangsa asing dan peradabannya di Arab.
Pada sisi lain, kita dapat melihat adanya lembaga-lembaga pendidikan khusus dan asing di dalam negeri yang melahirkan lapisan intelektual dan politisi yang mempelajari buku-buku terjemahan dari Barat. Perbandingan ini juga dapat dilihat pada karya seni dan sastra yang beraneka ragam. Nilai-nilai seni dan sastra yang satu mengandung ajaran keislaman dan kebangsaan tradisional. Sedangkan nilai-nilai seni dan sastra yang lainnya bermuara pada paradigma Barat.
Perbedaan dua tipe tersebut makin meningkat hingga menyentuh aspek bahasa percakapan, tidak hanya pada tataran isi, melainkan juga pada tataran bahasanya. Kita akan menemui bahasa Arab dengan berbagai dialeknya, bahasa asing, dan bahasa campuran (antara bahasa asing dan Arab).
Mengingat latar belakang objek yang demikian kompleks, studi ini tidak akan mencapai kedalaman sebelum peneliti meyakini pentingnya pendekatan ideologi-pemikiran-kultural sebagai dasar memahami eksistensi dua tipe masyarakat, kebudayaan, dan peradaban. Pembagian kebudayaan menjadi dua tipe atas dasar masyarakat tradisional dan masyarakat modern tidak akan tepat tanpa mengetahui perbedaan di antara kaum intelektual.
Pembagian ini justeru memungkinkan diketahuinya perbedaan-perbedaan di antara berbagai hal yang terdapat di dalam setiap masyarakat. Sesungguhnya perbedaan dan konflik yang terjadi di antara dua tipe kaum intelektual sangat besar. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa sesuatu dengan sendirinya tidaklah dapat diklaim begitu saja sebagai fenomena masyarakat modern, melainkan harus disadari bahwa semua itu merupakan produk dari berbagai aliran, perbedaan, dan konflik yang telah lama ada di suatu wilayah atau negeri.
Tipologi Kalangan Profesional
Penjelasan dualistik di atas juga dapat ditemui pada dunia profesi yang terbagi atas kalangan profesional modern dan pekerja tradisional. Perbedaan ini akan tampak bila kita melihat piramida kelas dari kelompok-kelompok ini. Pada puncak piramida terdapat kelas profesi elit yang didominasi kalangan modern seperti dokter dan teknisi dan ahli hukum yang posisinya lebih rendah daripada teknisi. Pada bagian bawah piramida terdapat masyarakat tradisional yang umumnya berstatus ekonomi lemah. Kelompok kedua ini terdiri atas pekerja tradisional, seperti tukang tembaga dan ahli besi atau kelompok yang telah menggunakan peralatan modern dalam batas-batas tertentu. Mereka pada umumnya masih menghargai dan menjaga kebudayaan, peradaban, dan pola hidup kerakyatan.
Tampak jelas bahwa realitas dua kelompok di atas cukup menyulitkan. Keduanya harus dipahami secara proporsional, sebab merupakan dua fenomena masyarakat yang berada dalam satu kota yang sedang berkembang. Dengan kata lain, mereka telah menginjakkan satu kakinya pada kebudayaan dan peradaban Barat tetapi kaki yang satu lagi masih tertanam pada bumi masyarakat tradisional.
Fenomena kota berkembang semacam ini harus diamati seiring dengan usaha-usaha menjelaskan berbagai kelompok masyarakat, seperti para pedagang, kalangan intelektual, dan lain-lain. Kota-kota tersebut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya membatasi perspektif terhadapnya. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa membatasi dua tipe masyarakatnya terlebih dahulu.
Kaidah Mayoritas
Melalui perspektif kaidah mayoritas --yang terdiri atas para petani, pegawai, pengusaha, fakir miskin, dan kelompok lemah-- akan kita temui bahwa mayoritas di antara mereka berasal dari masyarakat tradisional dan sebagian kecil dari mereka terbagi ke dalam kota-kota berkembang dan masyarakat baru. Sebagian pola kehidupan dan perekonomian kelompok kecil ini mendekati pola baru ala Barat, tetapi pola pikir dan pandangan umumnya masih tetap tradisional.
Tanpa memahami prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam dalam mayoritas masyarakat dari perspektif kebangsaan yang umum, akan terjadi penafsiran yang jauh. Misalnya, kesenjangan antara perspektif kebangsaan dengan para pelopornya yang berasal dari masyarakat modern yang bercorak pikir kebarat-baratan.
Tipologi Wanita
Wanita secara garis besar dapat dipolarisasikan atas dua. Pertama, wanita tradisional yang masih memegang nilai-nilai dan norma-norma serta terikat dengan pandangan umum masyarakatnya, baik dari aspek penampilan maupun tingkah laku. Kedua, wanita modern yang hidup dengan nilai-nilai dan norma-norma Barat. Perbedaan keduanya sangat mencolok.
Persoalan wanita merupakan topik menarik yang diperkenalkan oleh para pakar modern dalam rangka merusak masyarakat tradisional. Bahkan tema-tema kewanitaan telah diperkenalkan sebelum kedatangan para pakar tersebut, melalui diskusi-diskusi "peradaban" yang dilakukan dengan sangat frontal sehingga menimbulkan perdebatan. Masalah yang memicu konflik, misalnya jilbab dan cadar serta wanita karir.
Karena itu, tema-tema kewanitaan dipecahkan terlepas dari perspektif-komprehensif atas konflik ideologi pemikiran-kultural yang merupakan motif penolakan masyarakat tradisional terhadap modernisasi. Eksperimen sejarah telah menolak semua tema yang ditimbulkan dari usaha modernisasi wanita Arab untuk mempertahankan wanita tradisional. Muncul propaganda mengenakan cadar sebagai prolog mengakhiri pakaian minim. Selain itu, lahir pula sikap "keluar" dari masyarakat tradisional sebagai sikap ikut-ikutan dan teralienasi.
Bukti terakhir dapat dilihat pada wanita modern yang mulai menyesuaikan pakaian dan penampilannya dengan mode dari London dan Paris. Lihat apa yang mereka pakai pada setiap musim, bagaimana mereka menata rambut dan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya. Padahal mode pakaian dan rambut yang sekarang mereka gandrungi sebentar lagi akan mereka campakkan dan segera mencari mode terbaru tanpa mempertimbangkan aspek-aspek nilai, etika, kondisi, dan kesanggupan ekonorninya. Adakah praktik perbudakan yang lebih parah dari ini? Apakah masalah ini tidak disimpulkan secara jujur sebagai inti dari modernisasi Barat, bahkan dapat dipertanyakan kembali mana di antara kedua kelompok di atas yang lebih mencerminkan prototipe masyarakat maju, rasional, dan bebas?
Jika ukuran kemajuan dan keterbelakangan ditentukan oleh kebebasan dan sikap imitatif, maka masyarakat tradisional Arab dapat dikatakan lebih mendekati kemajuan dan rasionalitas, sedangkan masyarakat modern justeru menjadi contoh keterbelakangan, kemunduran, dan irasionalitas. Wanita tradisional dapat dipahami sebagai wanita yang maju dan bebas, sementara wanita modern justeru menunjukkan keterbelakangan dan irasionalitas. Demikianlah logika pembalikan dari apa yang dipahami oleh masyarakat modern tentang ukuran kemodernan, keterbelakangan, dan rasionalitas.
Tinjauan dua tipe masyarakat ini sesuai dengan realitas di negeri Arab. Tinjauan yang berdasarkan pemahaman bahwa hanya ada satu tipe masyarakat, tidak sesuai dengan kenyataan. Karena itu, studi-studi ilmiah yang tidak melihat adanya dua tipe masyarakat dalam kelompok sosial, kelas sosial, kaum intelektual, wanita, sistem ekonomi, etika, peradaban, dan kota ini, telah gagal dipandang dari perspektif ilmiah. Dengan kata lain, studi yang tidak mengakui masyarakat tradisional sebagai faktor peradaban yang steril dan tegak di atas jati dirinya adalah studi yang tidak ilmiah.
Penekanan parameter ideologi-kultural dalam memahami dua tipe masyarakat akan membentuk metode yang valid untuk menjelaskan realitas negara Arab dalam era transisi. Akan tetapi, fungsi parameter ini hanya sebagai landasan berpijak untuk menganalisis pranata masyarakat tradisional dan modern, kemudian berusaha membuat batasan-batasan terhadap berbagai aspek masyarakat yang terkait dengan kelompok, keluarga, etnis, iklim, dan nasionalisme yang terdapat di dalam masing-masing masyarakat.
Langkah ini diteruskan dengan membedakan perspektif pemikiran, teori, dan politik pada dua tipe masyarakat tersebut. Termasuk di dalamnya memberikan batasan pada hubungan antara dua tipe masyarakat tersebut serta hubungan keterlibatan masing-masing dalam suatu persoalan mendasar untuk menghadapi dominasi eksternal.
Dengan demikian, suatu pekerjaan yang bersifat metodologis mengenai perbedaan kedua tipe masyarakat telah dimulai dari luar (Barat). Itulah sebabnya, usaha ini perlu diletakkan pada jalan yang benar, yang mengantarkannya pada pemahaman terdalam. Hal ini membutuhkan pemahaman sejak dini bahwa realitas materi dan kehidupan dalam dua tipe masyarakat tersebut menyembunyikan konflik laten antara Islam dan westernisasi. Ini karena Islam berada pada lapisan paling dalam, sedangkan westernisasi menyusup dari luar untuk membelah masyarakat menjadi dua, yakni modern dan tradisional.
Eropa dan Studi-studi Sejarah
Perang Salib terjadi berkali-kali antara bangsa Eropa dengan Arab dan umat Islam. Meskipun perang ini telah membawa keberhasilan Eropa menguasai Dunia Islam selama dua abad (abad ke 12 dan 13 M), dan misi Barbar ini juga telah membantai ratusan ribu kaum muslimin, memporakporandakan negeri dan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi suatu yang tidak dapat dilakukannya adalah menghapuskan pola berpikir ideologi sosiokultural berlabel Islam.
Suatu hal yang menyebabkan dominasi Eropa tetap berada di luar masyarakat Islam meskipun kekuatan persenjataan mereka telah demikian jauh bergerak dalam masyarakat adalah perlawanan umat Islam yang terus menerus sehingga membuat lawan sekuat apapun dianggap tak berarti dan temporal. Perlawanan gigih tersebut dikobarkan karena Islam telah menghunjam di dalam hati dan kehidupan masyarakat.
Perlawanan itu semakin kuat ketika tentara Salib memperoleh kemenangan secara gemilang atas Arab, dilanjutkan oleh kemenangan Tartar dan Mongol. Begitu pula sewaktu Eropa pada abad ke-16 M dan seterusnya membentur pagar-pagar negara Islam selama lebih dari tiga abad, namun tak berhasil menghancurkannya. Hal inilah yang menghalangi Eropa untuk mendominasi dunia. Sebab, tanpa menghancurkan pagar-pagar tersebut, tak mungkin ia mengubah jalan sejarah, apalagi kemanusiaan berada pada masa perbudakan di tangan Eropa.
Kelemahan ini bukan karena faktor militer saja, tetapi terutama karena dilema menghadapi masyarakat Arab-Islam. Inilah yang dialami Napoleon ketika mengadakan ekspansi ke Mesir, ia kesulitan menembus ke bagian dalam wilayah umat Islam. Karena itu, ia memasang strategi berpura-pura masuk Islam sehingga ia memperoleh simpati masyarakat, yang memudahkannya menguasai wilayah tersebut.
Hal ini juga menjelaskan mengapa para imperialis selalu menitikberatkan perhatian pada penghancuran masyarakat tradisional secara berlebihan. Setelah pemusnahan tersebut, mereka menggantinya dengan masyarakat baru di wilayah mereka yang berlindung pada pilar-pilar Islam serta pola kemanusiaan, ekonomi, dan sosial Islam. Meskipun pola tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kemunduran, tradisi-tradisi, dan rasionalitas jahiliah, namun pada saat yang sama, ia tetap membawa prinsip-prinsip dasar Islam.
Dari Perlawanan Senjata ke Perlawanan yang Negatif (Pasif)
Ketika pasukan kolonial berhasil menginjakkan kaki di kawasan pantai negara-negara Islam, mereka segera menghadapi berbagai pemberontakan kebangsaan di bawah panji-panji Islam. Pemberontakan-pemberontakan tersebut melibatkan mereka kedalam pertarungan sengit yang tidak seimbang. Perlawanan tersebut menggelora di Sudan, Mesir, dan seluruh pantai Arab bagian Barat, semenanjung Arab, hak, serta semua negara Arab dan Islam.
Sejarah mencatat sikap heroik para pejuang Islam seperti Abdul Qadir al-Jazairi (Aljazair), Abdul Karim al-Khitabi (Maroko), Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (Libya), Muhammad Ahmad al-Mahdi (Sudan), para tokoh ulama Revolusi Dua Puluh, Ahmad Syahid (India), Sayid Hassan al-Madras (Iran), dan begitu banyak ulama --yang tak dapat ditulis nama mereka semua dalam kesempatan yang terbatas ini-- di Arab, Turki, Iran, Afganistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, Indonesia, dan berbagai wilayah Islam lainnya.2
Posisi Eropa belum juga mantap dengan berbagai peperangan kecuali setelah menenggelamkan masyarakat tradisional ke dalam lautan darah dan menderita karena pembantaian. Walau demikian, kekuatan militer tidak mampu memaksa masyarakat tradisional menyerah, bahkan membuat mereka semakin gigih menahan benturan dari luar dalam rangka memelihara jati diri, kemerdekaan, pola kehidupan, sosiokultural, dan produk-produknya.
Masyarakat tradisional tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma, dan konsep-konsep Islam yang dipahami secara dinamis untuk menolak tuntutan-tuntutan kebudayaan Eropa. Akan tetapi, karena terlalu kuatnya dominasi, reaksi itu menyulut peperangan yang menyeluruh di berbagai bidang. Peperangan yang dilancarkan Eropa kemudian berkembang dalam bentuk propaganda sains dan kemajuan (yang dipahami hanya secara materialistik dan sekularistik --peny.) serta pemikiran-pemikiran yang memuat tujuan imperialisme, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan di negeri-negeri Islam. Hal itu terjadi karena keterbelakangan kita dalam bidang pemikiran dan sosio-Islam.
Penyusupan dari Masyarakat Tradisional
Langkah perdana yang ditempuh Eropa untuk mendominasi masyarakat tradisional adalah dengan melakukan penyusupan yang dilakukan dalam berbagai bentuk. Strategi pertama diterapkan dengan menawarkan berbagai budaya tandingan dari Barat beserta langkah-langkah praktis untuk menerapkannya, sembari mengecilkan makna penting kebudayaan masyarakat tradisional.
Pada umumnya agen-agen modernisasi --sebagai salah satu respon terhadap imperialisme-- memainkan peranan yang sangat penting dalam menghadapi masyarakat tradisional. Peran ini khususnya tampak pada era kemerdekaan, yakni melalui serangan terhadap masyarakat tradisional dengan pemikiran dan kebudayaan. Agen-agen itu mengibarkan panji-panji nasionalisme dan revolusionisme dengan menghidupkan kembali semangat dan pengorbanan nenek moyang (nativisme) ketika berjuang melawan imperialisme.
Perlu diketahui bahwa beban penderitaan dalam perjuangan tersebut merupakan bagian masyarakat tradisional di kota-kota dan desa-desa.
Usaha menggali kembali sebagian kekuatan internal pembaruan ini mempunyai dimensi nasionalisme dan revolusionisme ala Barat. Terkadang upaya tersebut dipaksakan dengan kekuatan, bahkan tampak tak terlepas dari hubungannya dengan imperialisme Barat terhadap Islam dan umatnya. Dengan demikian, fenomena yang muncul adalah saling berhadapannya kelompok modernis dengan masyarakat tradisional. Realitas inilah yang membentuk dua corak respon terhadap kolonialisme, yaitu corak yang berpegang pada inti kemerdekaan yang diformulasikan oleh masyarakat tradisional dan corak yang mengikuti Barat yang dipelopori para modernis
Faktor-faktor Penghambat Proses Kemerdekaan
Pertama, kaum imperialis sejak semula telah membawa program memecah belah negara-negara Islam umumnya dan negara-negara Arab khususnya. Ini disebabkan kesatuan negara-negara ini menghasilkan kekuatan ideologis-kultural yang mantap. Upaya memecahbelahnya akan membuat negara-negara tersebut lemah sehingga mudah ditundukkan agar berkiblat pada jejak imperialis. Kaum imperialis menyadari bahwa memukul masyarakat tradisional di negara-negara Arab adalah tidak mungkin kecuali umat Islam khususnya dan bangsa-bangsa Arab khususnya berada dalam kondisi berpecah belah.
Kedua, para imperialis berusaha keras menghancurkan tanaman-tanaman tradisional, usaha-usaha yang telah ada, sistem pemilikan, pertukaran, produksi, dan pekerjaan umum yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Upaya ini merupakan salah satu strategi menghalangi kemerdekaan yang mengakibatkan negeri-negeri jajahan mengekor pada Barat.
Mereka menuntut agar pribumi berpakaian, makan-minum, membangun rumah, berproduksi, membina anak, dan lain-lainnya dengan cara Barat. Sehingga disulutlah peperangan secara umum di tengah-tengah masyarakat tradisional untuk melawan teknik-teknik pertanian, produksi, bangunan, pola berpakaian, makan, minum, pendidikan, rumah tangga, serta nilai-nilai moral dan sosial.
Kemudian mereka melancarkan perang psikologis untuk menghadapi kelompok pribumi yang menentang Eropa dalam berbagai aspek. Usaha ini dilakukan dengan mengubah konsep-konsep kebudayaan tradisional ke konsep Eropa. Misalnya konsep sains dan kemajuan yang diperkenalkan oleh kelompok modernis di negara-negara Islam. Perubahan ini akhirnya mengakibatkan tumbuhnya pemahaman dan sikap masyarakat yang baru tentang negerinya dan Barat, yaitu Barat identik dengan peradaban maju, kebebasan, dan kebesaran, sedangkan negara Islam sebaliknya.
Demikianlah proses terbentuknya masyarakat modern. Kemudian masyarakat baru ini berusaha memperkokoh eksistensinya di sisi masyarakat tradisional yang berupaya sekuatnya tetap mempertahankan jati diri.
Ketiga, kaum imperialis memfokuskan perhatiannya untuk menghancurkan peranan ilmu-ilmu keislaman dan lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang bercorak kebangsaan dan tradisi. Mereka mengubah pola kehidupan kultural yang dihayati masyarakat tradisional serta melecehkan dan menghinanya secara berlebihan. Kemudian mereka membangun sekolah-sekolah modern dan memberi semangat pada para siswa untuk memasuki universitas-universitas Eropa.
Setiap parameter mereka dijadikan sebagai ukuran yang berlaku pada masyarakat modern, serta para pegawai, pembuat hukum, kalangan profesi, intelektual, pendidik, sastrawan, dan budayawan dijadikan sebagai pelopornya. Padahal ukuran-ukuran baru yang ditawarkan tidak relevan dengan realitas masyarakat tradisional, dan hanya relevan dengan alumni sekolah-sekolah dan universitas-universitas mereka, serta orang-orang yang mengambil program dan metodologinya dalam bidang-bidang tersebut.
Demikianlah, tugas-tugas dan posisi-posisi di dalam negara, tentara, koperasi, bank, dan lembaga-lembaga kebudayaan merupakan bagian dari proyek alumni perguruan tinggi Barat atau hasil modernisasi ala Barat. Sedangkan lapisan terdidik dari kelompok masyarakat tradisional tidak memperoleh kesempatan dalam proyek ini.
Keempat, kaum imperialis sengaja menciptakan intrik terhadap kaum minoritas (non muslim) dan pertentangan mazhab di kalangan masyarakat tradisional, padahal kaum minoritas lebih dekat dengan masyarakat tradisional. Untuk memudahkan proses pembentukan masyarakat modern, usaha tersebut harus mereka lakukan. Sebagai contoh, orang-orang Kristen Arab sebenarnya memiliki akar-akar kesejarahan dan pembentukan jati diri kultural-ideologis (sejarah, tradisi, moral, dan jalan hidup) yang lebih dekat dengan masyarakat tradisional.
Eropa merasa kesulitan ketika ingin memisahkan dua unsur tersebut karena ia harus berhadapan dengan jaringan yang kokoh di dalam negara Arab, akan tetapi, hal itu tidak menghambat keberhasilan Eropa pada kurun waktu belakangan ini, khususnya ketika sebagian pribumi (non muslim) mulai mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah misionaris yang menyebarkan pengaruh modernisasi. Akibatnya, kelompok minoritas ini semakin jauh dari masyarakat tradisional dan semakin dekat dengan masyarakat modern.
Pembahasan ini telah meliputi lingkup dua tipe masyarakat yang berada di Arab.
Lenyapnya Keseimbangan
Dampak peperangan ini memasuki berbagai macam nilai, ukuran, dan moral yang dibangun masyarakat tradisional. Mereka didesak untuk meninggalkan tradisi lama dan melepaskan diri dari nilai-nilai dan parameter-parameternya. Hal ini terjadi ketika nilai-nilai dan ukuran-ukuran baru menggeser nilai-nilai dan ukuran-ukuran lama yang mengakibatkan pertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang selama ini dipegang masyarakat tradisional. Masyarakat menjejakkan kakinya di atas bumi secara tidak mantap, karena kemajuan yang dicapai pada dasarnya bermakna semu dan masyarakat cenderung bersikap dualistik.
Meski demikian, tujuan para imperialis hanya dapat direalisasikan pada sebagian masyarakat saja, bukan keseluruhannya. Masyarakat tradisional masih tetap bertahan, meskipun telah mengalami banyak kerugian dan desakan di sana-sini. Sedangkan dari masyarakat modern, yang semula diharapkan Eropa untuk memantapkan misi pembaruannya, ternyata sebagian justru mengadakan perlawanan terhadap imperialisme dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan negerinya. Kelompok ini banyak bermunculan pada 1930-an, 1940-an, dan 1950-an. Kelompok ini merintis perlawanan lokal terhadap dominasi langsung kekuatan asing dan mendirikan pemerintahan regional yang mandiri.
Masyarakat Modern yang Konsumtif
Realita sosial menunjukkan bahwa racun yang disebarkan kaum imperialis untuk mengubah perjalanan masyarakat menuju modernitas, ternyata membentuk prinsip-prinsip dasar untuk menyempurnakan strategi pembebasan diri dari dominasi asing. Kekuatan nasional yang bergerak menuju terciptanya masyarakat modern tidak memahami dimensi kultural dalam konflik yang terjadi. Mereka dengan bersemangat menghancurkan semua aspek yang telah mapan dalam masyarakat tradisional, yaitu: pertanian, industri, pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan perilaku. Hal ini dilakukan tanpa memperlemah akidah Islam sedikit pun. Artinya, usaha mereka dilakukan tanpa memahami inti penyebab perang secara komprehensif yang menjadi obsesi kaum imperialis dalam memusnahkan masyarakat tradisional dan membangun masyarakat modern ala Barat.
Mereka juga tidak menyadari bahwa imperialisme tidak hanya melakukan dominasi politik langsung dan merampas ekonomi saja, melainkan berdimensi kultural untuk menghancurkan prinsip-prinsip kepribadian. Ketidaksadaran ini akan mengurangi perjuangan melawan imperialisme. Begitu pula perjuangan ekonomi akan melemah jika prinsip-prinsip dasar itu mengendur.
Pada 1960-an dan 1970-an, kondisi masyarakat semakin buruk akibat intervensi asing. Dunia terperosok dalam perangkap rasionalisme destruktif atau tepatnya dalam pola kehidupan gaya Amerika yang merusak. Sesungguhnya rasionalisme masyarakat modern membawa konsesi-konsesi (kerelaan-kerelaan) yang jauh, yaitu menjadikan masyarakat modern semakin berkembang sesudah kemerdekaan, peran wanita lebih dominan dari masa-masa sebelumnya dan memperkokoh dirinya secara tidak proporsional, dan pemasokan peralatan industri besar yang tidak disertai kualitas sumber daya manusia (SDM) sehingga mengakibatkan membengkaknya hutang negara serta menguatnya kelemahan dan ketergantungan dengan dunia maju. Strategi alih teknologi dari Amerika terus dimaksimalkan, yang berakibat menguatnya dominasi asing di kawasan ini, khususnya dalam aspek kebudayaan dan peradaban.
Kesinambungan kehidupan berdasarkan pola modern atau usaha melestarikannya hingga pasca kemerdekaan dan keberhasilan revolusi nasional, mendorong suatu negara untuk mengarah ke sistem asing, meskipun warganya memiliki cita-cita luhur dan perasaan nasionalisme. Selama kita masih membebek pada Barat dalam segala hal, kita tidak dapat terlepas dari kungkungannya. Apakah kita hendak membiarkan mayoritas rakyat pada sikap pembebekan tersebut? Kita ambil contoh sederhana. Sesungguhnya mengenakan busana Eropa sebagai ganti busana tradisional tidak sekadar mengubah bentuk pakaian saja, melainkan diikuti pula oleh perubahan pada sektor lain seperti pertanian, industri, profesi, dan lain-lain yang terkait. Lebih dari itu, perubahan busana akan melahirkan perubahan sikap dan tingkah laku karena si pemakai harus menyesuaikan diri dengan busana yang dikenakannya. Padahal jika kita tetap mempertahankan busana yang sesuai dengan jati diri bangsa dan mengembangkannya berdasarkan prinsip-prinsipnya, tentu pertanian, pasar, dan profesi kita akan semakin berkembang pula. Terobosan ini akan mengurangi tumpukan hutang kita, sehingga kita dapat memecahkan persoalanpersoalan lain.
Jadi, masalah yang kita hadapi adalah intervensi asing di bidang kebudayaan, spiritual, moral, kemerdekaan dan keaslian tradisi, serta ekonomi dan pertumbuhan. Pendek kata, semua aspek peradaban.
Dominasi ekonomi-militer tidak akan berhasil sebelum prinsip-prinsip masyarakat tradisional dihancurkan dan diganti dengan prinsip-prinsip baru yang tergantung pada Barat. Bila proses modernisasi terus ditekankan, maka pembebekan terhadap Barat akan tetap terjadi, sebab ia merupakan mata rantai modernisasi.
Akibat Pemisahan Diri dari Masyarakat Tradisional
Masyarakat modern membentuk patokan-patokan yang menjadi dasar logika sikap kebarat-baratan atau pemisahan diri dari peradaban Arab-Islam, tradisi, dan sejarahnya. Masyarakat yang mengekor pada Barat ini telah diabaikan sebagian bangsanya sehingga mengalami kemunduran, namun menurut persepsinya, mereka sedang mengalami kemajuan. Mereka mengekor, namun merasa telah mandiri. Mereka mengeksploitasi mayoritas masyarakat, namun merasa telah berbakti demi kebaikan masyarakat! Anggapan ini disebabkan oleh pemikiran, metodologi, dan langkah strategi yang diterapkan terlepas dari akar-akar kebangsaan dan kaidah-kaidahnya yang kokoh dan absah secara historis. Pemisahan diri dari masyarakat tradisional berarti melepaskan kita dari patokan revolusi. Padahal masyarakat luas mampu menghadapi kekuatan asing, berjuang untuk meraih kemerdekaan, dan membangun patokan yang tak tergoyahkan oleh pola hidup destruktif.
Pertentangan yang Kompleks
Kita melihat sebab-sebab yang membuat pertarungan peradaban sejak semula telah memicu konflik antara kaum imperialis dan masyarakat tradisional. Kedua kubu ini amat memahami seluk-beluk perang sehingga masing-masing bertempur dalam berbagai aspek, selain politik dan militer. Maka pecahlah perang pemikiran dan moral. Bertemulah kedua paradigma pemikiran ini yang menimbulkan pertentangan yang kompleks. Kelompok modern meletakkan persoalan yang muncul dalam konteks perang melawan keterbelakangan dan kemunduran, bukan pertentangan antara kemerdekaan dan ketergantungan (terhadap bangsa asing dan cara hidupnya). Sedangkan kelompok masyarakat tradisional mengagendakan permasalahan dalam konteks perang melawan kerusakan moral. Mereka menyadari bahwa memerangi kerusakan moral dengan menghancurkan sebab-sebab utamanya juga bermakna perang demi kemerdekaan. Ini karena kerusakan moral dapat melenyapkan prinsip-prinsip masyarakat yang fundamental, yaitu: ideologi, pemikiran, kebudayaan, moralitas, pola hidup, produksi, dan eksistensinya.
Kalangan intelektual nasionalis (kelompok modernis) turut bergabung melawan keterbelakangan dan kemunduran dengan mengupayakan cara-cara membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan dan kemunduran dalam rangka mencapai kemerdekaan nasional. Akan tetapi, kelompok modernis mengadopsi metodologi Barat dalam mencapai kemajuan, sedangkan masyarakat tradisional cukup puas dengan penolakan terhadap hal-hal yang merusak moral dan menghindari keterlibatan dalam politik untuk sementara. Pada periode lain, kelompok tradisional benar-benar menjauhkan diri dari kancah kemerdekaan dan penolakan terhadap sikap meniru Barat. Hal ini mengakibatkan tertutupnya muatan yang lebih luas bagi perang, sebab perang diidentikkan dengan pertempuran fisik. Masyarakat tradisional sangat banyak jumlahnya dan jika mereka berperang, maka tak ada pilihan lain kecuali hidup atau mati. Sejarah yang menyaksikan membanjirnya darah masyarakat dalam perjuangan tanpa memperoleh kemenangan, berulang-ulang mengingatkan kita agar lebih sabar menghadapi masalah dan bekerja secara diam-diam. Akan tetapi, konflik terselubung memang secara potensial berkembang menjadi konflik terbuka dari situasi ke situasi. Masyarakat tradisional telah mengorbankan nyawa untuk memelihara kemurnian dan kemerdekaan melawan berbagai tekanan hebat dari berbagai penjuru.
Catatan Seputar Tipologi Masyarakat
Berdasarkan klasifikasi masyarakat menjadi dua tipe tersebut, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan di bawah ini.
Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional, yang menjadi mayoritas penduduk, sangat teguh memelihara upaya perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan kultural Barat. Sebagai bukti pemeliharaan terhadap prinsip-prinsip dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada pola kehidupan Islami dan tidak meniru Barat.
Sikap ini merupakan landasan yang kokoh bagi perjuangan nasional dan merupakan faktor yang membuat kelompok ini lebih banyak berperan pada fase pembangunan kemerdekaan, persatuan, revolusi, dan pertumbuhan. Meski demikian, perlu diperhatikan beberapa kekurangan masyarakat tradisional yang akan ditengarai di bawah ini.
Pertama, konflik melawan kekuatan yang muncul dari dalam masyarakat tradisional jauh lebih sulit daripada konflik melawan agen-agen masyarakat modern. Acapkali terjadi, suatu pribadi atau kelompok (misalnya sebagian tokoh Asy'ari) cukup berakar di masyarakat dan mampu memicu konflik di dalam tubuh masyarakat tradisional. Suatu waktu mereka dapat menonjolkan semangat etnis dan kelompoknya.
Menurut sebagian peneliti kontemporer, para tokoh sekularis Barat mengutamakan penyelesaian masalah kelemahan masyarakat, ekonomi, dan bangsa atas dasar kelompok, etnis, dan keturunan. Akan tetapi, kelompok dalam masyarakat tradisional ini juga berpandangan bahwa penonjolan Islam akan menyelamatkan rasa fanatisme yang telah pudar ketika berdampingan dengan sekularisme.
Kedua, para pejuang menceritakan peristiwa-peristiwa sedih secara berlebihan, hal-hal yang mengganggu pikiran, dan intimidasi yang sangat keras kepada generasi muda. Faktor ini mewariskan kepada mereka kecenderungan untuk selalu khawatir, menimbulkan sikap negatif, dan menenggelamkannya dalam kejumudan. Selama belum diubah, sikap semacam ini akan menghambat potensi aktif mereka untuk memainkan peran kreatif dan positif dalam menyelesaikan problema sosial.
Kini bukan saatnya lagi kita merasa cukup kembali kepada jati diri, karena kunci kemenangan terletak pada kemampuan menyuguhkan solusi islami yang antisipatif terhadap problematika kontemporer. Apalagi solusi tersebut diberikan pada saat situasi dunia berada dalam krisis panjang dan suasana kehidupan yang mencekam.
Ketiga, masyarakat tradisional menghadapi persoalan dominasi asing atau dominasi masyarakat modern sebagai kendala yang berkesinambungan, khususnya penetrasi nilai-nilai dan modernisasi Barat. Dalam kenyataan, mayoritas masyarakat tidak mampu membendung pengaruh-pengaruhnya, bahkan cenderung menerima nilai-nilai tersebut sebanyak-banyaknya. Memang perlawanan secara perorangan mampu menolak unsur-unsur esensial dari modernisasi Barat, namun lambat laun pertahanan itu akan rapuh.
Fenomena paling berbahaya yang menyerang masyarakat Arab dewasa ini adalah gelombang pasang kekayaan minyak yang berdampak pada tumbuhnya gaya hidup hedonis dan konsumtif. Sangat disayangkan, fenomena tersebut tidak hanya ditemui pada masyarakat Arab modern, tetapi juga masyarakat tradisional. Acara TV yang bersifat destruktif, film video yang mengumbar kekerasan dan seks, dan mode pakaian yang tidak islami dapat ditemui di desa-desa. Perluasan pendidikan sekular melalui metode-metode modern merembesi rumah-rumah.
Fenomena paradoksal tersebut timbul karena tuntutan kehidupan modern ala Barat yang diperkenalkan oleh media massa serta pilihan kebijakan politik pemerintah. Di sisi lain, umat Islam tidak mampu mengedepankan alternatif islami untuk mengantisipasi dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi secara tepat, sehingga paradoks-paradoks tersebut menebarkan bahaya destruktif di negeri Arab.
Menangani konflik melawan penetrasi ini jauh lebih sulit daripada sekadar perang di atas altar kebudayaan, pemikiran, moral, dan tradisi. Masyarakat konsumtif yang sedang kita hadapi merupakan faktor penghambat proses liberalisasi, mengejar ketertinggalan, dan menanamkan prinsip-prinsip kebangkitan Islam yang jauh dari sikap pembebekan terhadap Barat.
Keempat, masyarakat tradisional hidup dalam pertahanan panjang, mereka memagari dan membentengi diri secara kokoh dari berbagai pengaruh negatif. Dalam kondisi demikian, tidak ada yang mampu menembus pertahanan tersebut. Mereka berlebihan dalam mempertahankan dan membentengi diri sehingga berbagai upaya pembaruan dan perubahan masyarakat tradisional membutuhkan perjuangan yang besar dan mungkin dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat tradisional dalam masa transisi menuju masyarakat modern.
Hal ini mengakibatkan terciptanya dinding pembatas yang tinggi di pihak masyarakat tradisional. Dinding pembatas itu secara temporal dianggap penting ketika terjadi keterbukaan antarbudaya yang menyebabkan masyarakat tradisional terseret dalam gaya hidup konsumtif dan pembebekan terhadap Barat yang mengakibatkan jati diri bangsa terancam. Akan tetapi, pada masa ketika masyarakat dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, sikap tersebut menjadi negatif, karena dalam situasi pembangunan, yang dibutuhkan bukan hanya sikap defensif. Sejauh penjagaan dimaknai sebagai upaya melindungi jati diri bangsa dan menangkal dominasi asing, maka hal itu wajar.
Keberhasilan pembangunan akan dicapai bila dibarengi dengan upaya mempertahankan identitas keislaman. Karena itu, salah satu metode yang harus ditempuh untuk meraih kesuksesan Islam di Arab adalah dengan menarik unsur-unsur masyarakat modern semaksimal mungkin, membinanya dengan dakwah, dan tidak membiarkannya terpengaruh cara hidup sekular.
Masyarakat tradisional telah merespon tantangan yang dihadapi dalam bentuk perlawanan dan pertahanan, tetapi mereka belum beranjak pada langkah-langkah yang harus ditempuh setelah meraih kemenangan. Tidak ada alasan untuk mengatakan tidak mampu. Sebaliknya, kesuksesan pertama menunjukkan kemungkinan kesuksesan berikutnya. Usaha yang perlu dilakukan adalah menyodorkan solusi terhadap problematika manusia dewasa ini dan merekonstruksi masyarakat secara positif. Kegagalan pada masa lalu yang mengakibatkan umat Islam semakin membebek terhadap Barat menunjukkan kelemahan kita dalam memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.
Masyarakat Modern
Pertama, bentuk kebudayaan dan peradaban masyarakat modern mengikuti pola kehidupan, cara, ukuran, dan konsep Barat, termasuk teori, partai, perspektif pemikiran ideologis, dan politiknya. Masyarakat modern merupakan cetak biru masyarakat Barat, sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka meninggalkan model masyarakat tradisional, bahkan berlawanan.
Meskipun struktur dan elemen-elemen masyarakat modern lemah dan rapuh dibandingkan dengan masyarakat tradisional, namun mereka mendominasi sektor-sektor terpenting dan strategis. Mereka berkepentingan mewujudkan persatuan dua bentuk masyarakat yang ada dengan mengkondisikan masyarakat tradisional untuk menerima modernisasi. Maka terjadilah kontradiksi-kontradiksi antar keduanya secara mendalam dan esensial.
Masyarakat modern cenderung agresif dan otoriter dalam menghadapi masyarakat tradisional. Mereka menggunakan pendekatan apa saja yang memungkinkan untuk menyodorkan modernisasi kepada masyarakat tradisional. Masyarakat modern lebih mengutamakan alternatif-alternatif Barat daripada kembali ke pandangan hidup masyarakat tradisional. Akan tetapi, sikap tersebut tidak dapat mencegah hal sebaliknva dari masyarakat tradisional dalam keimanan, perasaan nasionalisme, kemerdekaan, dan kehormatan.
Kedua, masyarakat modern mencoba menghapuskan pemikiran masyarakat tradisional dengan jalan membodohi, menyepelekan, atau menganggapnya sebagai pemikiran yang terbelakang dan suram. Mereka mencoba melupakan keberadaan pemikiran pembanding (Islam).
Ketiga, masyarakat modern berusaha melepaskan diri dari negerinya karena model ideal mereka berasal dari luar (Barat), sedangkan masyarakat tradisional yang merupakan mayoritas masih tetap berpegang pada nilai-nilai dan kepribadian nasional. Sehingga perubahan revolusioner sulit diwujudkan, sebab perubahan dapat terjadi bila melibatkan mayoritas masyarakat.
Perubahan kepercayaan, pemikiran, kebudayaan, dan peradaban merupakan prasyarat bagi perubahan ekonomi, politik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, ketika masyarakat modern tak dapat mengakomodasikan apa yang tersedia di lingkungannya, mereka memilih alternatif atau model dari negara imperialis yang menjadi pusat-pusat kekuatan dunia. Secara politis, mereka berlindung pada negara-negara tersebut. Terbukalah kemungkinan konfrontasi antara kekuatan eksternal dengan kekuatan internal (kekuatan Islam) bila Islam hendak ditampilkan sebagai kekuatan nyata.
Keempat, para imperialis membangun sekolah-sekolah dan universitas-universitas untuk menghasilkan lapisan intelektual yang dapat berkolaborasi dan memberikan kontribusi langsung maupun tak langsung dalam bidang akidah dan pemikiran kebudayaan.
Antek-antek imperialis melakukan kezaliman terhadap bangsa dan merendahkannya. Umat merasakan perlakuan itu dan bangkit melawan golongan imperialis.
Sebagian intelektual sekular mencoba memerangi imperialisme secara politik dan ekonomi. Akan tetapi, kacamata politik dan ekonomi yang digunakan berakar pada peradaban Eropa yang membuat mereka semakin jauh dari masyarakat tradisional dan dekat dengan pihak yang sepaham di luar negeri. Kondisi ini menyebabkan mereka membawa benih-benih pertentangan asasi dengan bangsa sendiri dan pengekoran terhadap pihak asing. Kalangan intelektual ini tetap menghadapi kendala liberalisasi dan pentingnya menanggalkan sikap kebarat-baratan yang tidak akan berhasil kecuali melalui perubahan mendasar ke dalam dan memutuskan hubungan dengan pihak luar (Barat).
Kelima, masyarakat modern tidak mempunyai program revolusi, melainkan mempunyai program dominasi kekuasaan. Ini karena masyarakat modern tidak mengambil model perubahan dari bangsanya, tetapi dari Barat. Padahal suatu revolusi tidak akan berhasil kecuali bila berasal dari dalam (bangsa). Dengan kata lain, tidak ada revolusi dalam rangka perubahan positif dan mendasar yang dapat mempersatukan dan membebaskan umat, melenyapkan kezaliman, serta memotivasi orang-orang untuk bekerja, mengajar, dan berkreasi, melainkan yang bersumber pada ajaran Islam.
Revolusi tidak akan terjadi bila didasari pemikiran kebarat-baratan atau di bawah komando para tokoh modernis sekular. Karenanya, para cendekiawan arsitek revolusi yang ingin menyatukan masyarakat, membebaskan negeri, menegakkan demokrasi sebagai ganti kediktatoran, keadilan sebagai ganti kezaliman, dan intelektualitas sebagai ganti sikap peniruan, maka akan sia-sia selama mereka tidak mengubah diri dan kembali ke pangkuan akidah, pemikiran, dan peradaban Islam.
Kesinambungan hidup di atas pola modern yang meniru buta dari model Barat atau usaha mempertahankan kelestariannya setelah era kemerdekaan adalah sebuah tindakan subjektif, meskipun dilandasi niat baik dan perasaan nasionalisme.
Disintegrasi, Integrasi, dan Tipologi Masyarakat
Kita perlu mengingat kembali bahwa salah satu faktor definitif yang membuat masyarakat umum merasa lemah dan menyebabkan masyarakat tradisional berlama-lama menghadapi situasi negatif adalah disintegrasi. Faktor ini mengakibatkan negara-negara Islam, termasuk di Arab, menjadi negara-negara kecil dan lemah.
Disintegrasi merupakan faktor terpenting yang dilancarkan imperialisme untuk mendominasi pemerintahan suatu negara sehingga pembangunan masyarakatnya diorientasikan pada corak Barat. Masyarakat Barat dibangun di atas dasar disintegrasi dan diskriminasi yang menjadi tumpuan rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pola kehidupan Barat. Hal-hal tersebut tidak berarti di hadapan Islam dan masyarakat tradisional yang masih orisinil sebagai rival negara disintegrasi dan aspek-aspek yang bertumpu pada disintegrasi dan diskriminasi (rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pemolaan kehidupan Barat).
Perang ideologi-kultural semakin membara setelah berdirinya masyarakat modern. Maka masyarakat tradisional menegaskan peperangan yang menyeluruh melawan kekuatan imperialisme asing, sebagaimana mereka menegaskan penentangan terhadap kelompok-kelompok lokal yang menjadi eksponen pembaruan versi Barat.
Secara historis, masyarakat modern lahir dalam lingkup disintegrasi, sehingga negerinya pun berwatak disintegratif. Padahal lembaga-lembaga ekonomi dan kebudayaannya merupakan institusi lokal. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat modern merupakan produk undang-undang disintegrasi yang berdampingan dengan agama dan melahirkan disintegrasi dalam berbagai hal.
Sebagai perbandingan, perlu diketahui bahwa masyarakat tradisional lahir, tumbuh, dan mengalami dinamika dalam ayoman integrasi Islam yang lebih luas selama kurang lebih tiga belas abad, kemudian mengalami kemunduran dan dikalahkan oleh masyarakat modern dengan imperialisme dan batasan-batasan disintegrasinya. ltulah sebabnya, masyarakat tradisional merasa tertekan hidup di bawah sistem disintegrasi. Secara historis dan teologis, Islam memang paling tepat bagi mereka.
Bila kita memahami hal tersebut dari sisi hubungan masyarakat modern dengan disintegrasi dan masyarakat tradisional dengan integrasi, maka terlihat bahwa keduanya mempunyai peluang untuk menciptakan hasil-hasil yang luar biasa bagi kekuatan Arab menuju integrasi yang sebenarnya. Hasil terpenting tersebut adalah bahwa kekuatan itu muncul dari komitmen terhadap Islam, akidah, metode, dan sistemnya, serta pemahaman terhadap masyarakat tradisional dalam perspektif yang benar terhadap integrasi. Demikian pula ketulusan bekerja dalam rangka mencapai integrasi Arab mengharuskan kita melepaskan diri dari proses pembaruan yang disintegratif dan berbagai mazhab pemikiran Barat-sekular. Bila kesimpulan ini benar, maka dapat digunakan untuk melihat sebab-sebab yang menjadikan program-program integrasi Arab mengalami kegagalan setiap dicoba di negara dan masyarakat modern.
Integrasi Masyarakat
Sejak semula para imperalis ingin merongrong integrasi masyarakat Arab, memotong jalinan kesejarahan, dan mengubahnya menjadi masyarakat pengekor kebudayaan Barat. Dalam batas-batas tertentu, usaha tersebut telah menampakkan hasilnya. Realitas kontemporer menunjukkan adanya dua kelompok masyarakat yang saling bertentangan di wilayah Arab. Kini, kedua kelompok tersebut terlibat konflik berkepanjangan sehingga lenyaplah kekuatan mereka. Padahal di masa lalu, keduanya bersatu padu. Kondisi tersebut melemahkan posisi Arab di hadapan kekuatan musuh asing yang bersatu.
Integrasi keduanya tidak akan berhasil dengan cara berandai-andai atau membiarkan penyebab utamanya terus berkembang. Masalah ini dapat dicarikan penyelesaiannya melalui pemahaman mendalam dan tepat mengenai realitas masing-masing kelompok masyarakat. Kita tidak mungkin merealisasikan integrasi, mewujudkan revolusi kemajuan, dan pemecahan masalah-masalah besar selama tidak melepaskan diri dari ketergantungan pada Barat dan menolak kesenjangan secara tegas.
Syarat keluar dari kejumudan dan ketertinggalan itu adalah berpijak pada masyarakat tradisional yang bernaung di bawah panji Islam. Kembali kepada Islam merupakan syarat kemajuan yang sebenarnya dan orisinal, serta bagi kebangkitan berbagai lapisan dan kelas masyarakat. Wallahu a'lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Terminologi "modern" atau "modernisme" yang terdapat pada pembahasan ini bermakna kemajuan atau paham kemodernan yang berwatak sekularis-materialis sebagaimana lazimnya paradigma modernisme Barat. Penjelasan ini perlu diberikan untuk menghindari kesalahpahaman yang memandang Islam sebagai agama antikemajuan (antimodern). Pada masa keemasan Islam, peradaban Islam adalah peradaban yang sangat modern, ketika Eropa masih begitu primitif. Bahkan renaisans Eropa berhutang budi pada proses berpikir dan hasil-hasil modemisasi ala Islam. (Penyunting).
2 Abdul Qadir al-Jazairi, Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (tokoh tarekat Sanusiyah), Muhammad Ahmad al-Mahdi, dan Ahmad Syahid (tokoh tarekat Chistiyah dan Naqsyabandiyah) adalah tokoh-tokoh sufi. Di Indonesia, untuk menyebut sedikit contoh, kita mengenal Syekh Yusuf al-Makassari --beliau menguasai lebih dari satu tarekat-- dan Pangeran Diponegoro sebagai sufi-sufi pejuang yang gigih bertempur menentang kolonialisme. Fakta sejarah ini merupakan antitesis terhadap anggapan bahwa tasawuf telah memundurkan umat karena ajarannya yang fatalistik. Bahkan tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna, sejak usia 16 tahun telah berbai'at menjadi anggota tarekat Hasafiyah (Lihat: Ensiklopedia Islam Indonesia, Djambatan, 1992, hlm. 303). (Penyunting)
Kamis, 26 Mei 2011
Kalimat dan Kata-kata Motivasi Kebijaksanaan
Pada postingan kali ini ditulis sederhana Kalimat dan Kata-kata Motivasi Kebijaksanaan.
- Tak seorang pun sempurna.
- Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak.
- Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti salah
- Bila kita mengisi hati kita dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan,kita tak memiliki hari ini untuk kita syukuri.
- Pikiran yang terbuka dan mulut yang tertutup, merupakan suatu kombinasi kebahagiaan.
- Semakin banyak Anda berbicara tentang diri sendiri,
- semakin banyak pula kemungkinan untuk Anda berbohong.
- Jika Anda tidak bisa menjadi orang pandai, jadilah orang yang baik.
- Iri hati yang ditunjukan kepada seseorang akan melukai diri sendiri.
- Anda cuma bisa hidup sekali saja di dunia ini,
- tetapi jika anda hidup dengan benar,sekali saja sudah cukup.
- Kenangan indah masa lalu hanya untuk dikenang, bukan untuk diingat-ingat.
- Rasa takut bukanlah untuk dinikmati,tetapi untuk dihadapi.
- Orang bijaksana selalu melengkapi kehidupannya dengan banyak persahabatan.
- Buka mata kita lebar-lebar sebelum menikah,
- dan biarkan mata kita setengah terpejam sesudahnya
- Persahabatan sejati layaknya kesehatan, nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya
- Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran.
- Dialah hiasan dikala kita senang dan perisai diwaktu kita susah
- Namun kita tidak akan pernah memiliki seorang teman,
- jika kita mengharapkan seseorang tanpa kesalahan.
- Karena semua manusia itu baik kalau kita bisa melihat kebaikannya
- dan menyenangkan kalau kita bisa melihat keunikannya
- tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan
- kalau kita tidak bisa melihat keduanya.
- Semulia-mulia manusia ialah siapa yang mempunyai adab,
- merendahkan diri ketika berkedudukan tinggi,
- memaafkan ketika berdaya membalas dan bersikap adil ketika kuat.
- Sesungguhnya sebagian perkataan itu ada
- yang lebih keras dari batu,lebih tajam dari tusukan jarum,
- lebihpahit daripada jadam dan lebih panas daripada bara.
- Sesungguhnya hati adalah ladang,
- maka tanamkanlah ia dengan perkataan yang baik
- karena jika tidak tumbuh semuanya (perkataan yang tidak baik)
- niscaya tumbuh sebagiannya
- Tidak ada simpanan yang lebih berguna
- daripada ilmu.
- Tidak ada sesuatu yang lebih beruntung daripada adab.
- Tidak ada kawan yang lebih bagus daripada akal.
- Tidak ada benda ghaib yang lebih dekat daripada maut.
Langganan:
Postingan (Atom)